SMART

Kecerdasan itu sublim.

CREATIVITY

Menyelinap dan menggetarkan.

INSTRUMENTATION

Efisiensi dan akselarasi.

IDEA

Serba tak terduga.

SOMETHING DIFFERENT AND NEW

Kiat untuk menarik perhatian.

Sunday, August 10, 2008

Kartun Indonesia, Komoditas Sumber Daya yang Belum Terurus

Oleh Darminto M Sudarmo

SAMPAI tahun 1994 dalam perkiraan kasar di Indonesia terdapat tak kurang 1.300 kartunis. Mereka tersebar dari Sumatera, Jawa, Bali hingga Sulawesi. Memang harus diakui, secara kualitatif, mungkin hanya 30-40 persen di antara jumlah itu yang layak diperhitungkan secara serius. Namun, potensi kreativitas dan produktivitas mereka tak kalah bila dibandingkan dengan kartunis dari beberapa negara lain.
Saat ini, bila di Indonesia ada sebuah biro atau lembaga yang sempat menyelenggarakan angket tentang jumlah kartunis Indonesia sampai dengan akhir tahun 2007, tentu kita akan mendapatkan gambaran agak jelas mengenai reputasi/prestasi, penghasilan, usia, dan jenis kelamin mereka.
Sebuah survei yang dilakukan majalah kartun dunia WittyWorld terbitan Amerika Serikat tahun 1991-1992, diikuti oleh 245 kartunis dari 46 negara, tersusun peringkat menarik. Terdapat 25 daftar kartunis kenamaan dunia. Tercantum nama Mikhail Zlatkovsky, Rusia, urutan pertama; Thomas Lionar, Indonesia, urutan kesepuluh; dan Victor Bogorad, Rusia, urutan terakhir. Kriteria survei itu merujuk pada aspek artistik, ide, dan pengakuan sesama kartunis dalam skala nasional maupun internasional.
Mengapa ini menarik? Thomas Lionar (almarhum), yang lebih dijuluki kartunis meteor (begitu cepat membara, cepat pula lenyap, meninggal dalam usia muda) kendati di bawah Jeff Macnelly, Guilermo Mordillo, Bill Watterson, dan Pat Oliphant, namun posisi urutannya bahkan berada di atas Gary Larson, Ranan Lurie maupun Herge.
Indikasi ini, meskipun hanya satu versi di antara sekian versi yang mungkin ada, namun tetap layak dijadikan asumsi, bahwa kartunis Indonesia telah mampu tampil secara wajar dalam barisan kartunis dunia. Apalagi, bila diperkukuh dengan kehadiran GM Sudarta, Dwi Koendoro, Pramono, Prijanto Sunarto, T. Sutanto, Jaya Suprana, Jitet Koestana dan didukung banyak kartunis muda lain yang acapkali merebut berbagai kejuaraan dalam lomba kartun internasional yang diselenggarakan di berbagai negara.

Refleksi Komoditi
Kartun, meski peran keseniannya tak bisa diragukan lagi, namun sebagai perangkat lunak, ia merefleksi ke sektor komoditi yang luar biasa luasnya. Sejumlah sindikasi di Amerika Serikat, Jepang, Inggris dan lain-lain, mengolah kartun sebagai software yang memiliki nilai jual tinggi. Baik dalam bentuk cerita lepas bergambar, yang dikonsumsi media massa di seluruh dunia; sebagai buku bacaan, yang diterjemahkan ke puluhan bahasa di dunia; maupun sebagai sinema animasi (film dan iklan) yang ditayangkan baik di televisi maupun layar lebar di berbagai penjuru dunia. Bahkan, trend mutakhir sinema di Amerika serikat yang menduduki peringkat atas saat itu (1994), adalah trend film-film kartun.
Mengapa Indonesia tidak mengolah peluang ini? Mengapa televisi kita, baik yang negeri maupun swasta, sebagian besar (kalau tak boleh disebut seluruhnya) menayangkan film kartun animasi impor? Mungkin hanya satu dua biro iklan yang mau mempercayakan visual bergaya kartun. Pernah terlontar pertanyaan, bagaimana kalau kartun animasi kita produksi sendiri? Pasti akan muncul jawaban klasik, memproduksi sendiri kartun animasi, tak mungkin. Biayanya mahal. Tak ada produser yang mau ambil risiko. Tak sepadan antara ongkos produksi dan nilai jual perangkat itu ketika dipasarkan ke beberapa stasiun televisi.
Benarkah sedemikian risaunya peluang investasi di bidang komoditi kartun? Kalau sejumlah negara di Asia, seperti Jepang, Korea, dan Taiwan juga berhasil menggarap kartun menjadi ladang komoditi yang marak dan penuh gairah, apakah di negeri-negeri itu biaya produksinya murah? Hemat saya, kasus kartun di negeri kita terlalu cepat dihakimi dalam format yang sepihak dan kurang mengoptimalkan dialog. Pendapat investor, produser, praktisi, kartunis, wakil konsumen, pemerintah (via departemen terkait), dan masyarakat awam, perlu diagendakan sebagai data yang layak dirujuk validitasnya.
Keterburuan sejumlah animator kita untuk “menyerah” karena alasan modal uang, mungkin persoalan kasuistik. Meski demikian, masih ada sejumlah animator lain, tetap menampakkan semangat juangnya. Ada dua paket yang telah digarapnya, yakni Satria Indonesia dan Doyok. Paket ini, semula disiapkan untuk ditayangkan di TPI secara periodik, namun ada pula yang akhirnya deal di televisi lain. Beberapa tahun yang lalu, serial animasi Huma juga pernah digarap PFN, sayang tak bertahan lama. Sementara pada waktu itu (1994) Citra Audivistama, sebuah rumah produksi milik kartunis Dwi Koendoro, juga menyiapkan serial animasi Bobo yang juga untuk ditayangkan di televisi swasta.
Sementara itu dari sisi lain, kartun juga dapat menjadi salah satu elemen inti bisnis cinderamata seperti T-shirt, mug, tas, boneka dan lain-lain. Perannya bukan saja sebagai ilustrasi andalan, namun juga dapat menjadi ciri lain dari sebuah jejak budaya. Taruhlah seperti Dagadu, yang mengeksplorasi Yogyakarta secara unik dan tiada duanya. Di Bali, Tony Tantra pernah menyentuh Bali lewat T-shirt secara berani, sehingga menyeretnya berurusan dengan rezim yang berkuasa pada saat itu (Orde Baru); di Bali juga ada nama Joger, Bog-Bog, Jangkrik dan lain-lain yang kini tampak semarak dalam kompetisi maupun upaya eksplorasinya. Sementara di Bandung, ada memang produk T-shirt C59 yang pernah cukup kesohor; tapi siapa tak kenal Red Rocket dan lain-lainnya? Produk desain kartun atau animasi dalam bentuk yang lebih intensif dan sudah menjelajah ke sektor-sektor yang sangat serius. Maksudnya, sangat jelas, urusan bisnisnya.
Artinya, kabar ini jelas menggembirakan. Apalagi sejumlah biro iklan atau biro jasa animasi, dengan dukungan komputer dan perangkat eksternal, makin sibuk melayani permintaan klien yang kian meningkat cita rasanya. Sejumlah produk animasi, baik berupa tampilan logo di beberapa televisi dan tayangan iklan, digarap oleh bangsa kita dengan hasil cukup lumayan. Ini juga bukti lain, bahwa animator kita cukup terampil untuk berkarya baik secara manual maupun digital.

Refleksi Profesi
Kartunis, baik sebagai figur di belakang kreativitas maupun elemen inti sebuah produksi software makin dituntut peranannya. Artinya, ia akan menentukan sikap sebagai “institusi” profesional atau masuk dalam salah satu sistem institusi sebuah perusahaan. Dari sejumlah sindikasi kartun yang maju, kedua pilihan itu tetap ada.
Pola kerja kartunis profesional, mengkontribusi sejumlah produk, baik yang dipesan sindikasi atau yang ditawarkan atas inisiatif kartunis sendiri.
Lepas dari aturan main yang ada, bila kegairahan sejumlah institusi atau perusahaan untuk mulai menentukan ladang komoditi di kartun; bidang yang sangat tipikal dan memiliki fleksibilitas unik ini; maka kian jelas implikasinya, yakni munculnya sebuah terminologi profesi baru dalam tradisi keprofesian kita. Selama ini, seorang karikaturis/kartunis yang bekerja di media massa, selalu “numpang” golongan ke dalam profesi wartawan, padahal kartunis, adalah jalur profesi yang juga sah hadir dalam peta terminologi profesi di negeri ini. Lebih-lebih di mancanegara.
Masih merujuk WittyWorld, edisi nomor 14, Summer/Autumn 1992, dimuat peta penghasilan kartunis dunia. Dari Australia, Bangladesh, Bulgaria, Brazil, Chile, Cekoslowakia, Denmark, Mesir, Jerman, Hongkong, India, Indonesia, Jepang, Meksiko, Nigeria, Peru, Filipina, Polandia, Rumania, Turki, Amerika Serikat hingga Rusia. Peringkat pertama adalah Amerika Serikat; rata-rata penghasilan tiap kartunis sebesar 88.069 dollar AS (kurs saat itu kira-kira 187.675.039 rupiah) per tahun. Dengan perbandingan, penghasilan tertinggi 1.400.000 dan terendah 500 dollar AS.
Peringkat penghasilan kartunis Amerika Serikat ini, mungkin masih merupakan kontroversi. Dalam sebuah wawancara sebelumnya antara WittyWorld (edisi nomor 13) dengan kartunis Charles M. Schulz, lahir 26 November 1922, meninggal 12 Februasi 2000, terungkap data penghasilannya mencapai 24.000.000 dollar AS per tahun. Kartunis pencipta tokoh Peanuts ini memang dikenal berpenghasilan “Megadollar”, bahkan lebih besar dari sejumlah aktor dan aktris top Amerika. Salah seorang kritikus humor yang tak mau disebutkan namanya dan suka bercanda mengatakan, “Schuzl itu memang gila! Sebagai orang mati pun kini pengahsilannya tetap lebih tinggi dari kartunis-kartunis lain yang masih hidup!”
Peringkat terakhir, Polandia, rata-rata hanya 180 dollar AS per tahun. Perbandingannya; tertinggi 240 dan terendah 100 dollar AS. Indonesia masuk peringkat 12 dari sejumlah negara yang disebutkan itu, namun masih di bawah Filipina, Meksiko, Brazil, bahkan Nigeria. Penghasilan kartunis Indonesia per-tahun menurut peringkat itu, rata-rata baru mencapai 1.012 dollar AS. Perbandingannya; tertinggi 2.000 dan terendah 265 dollar AS.
Data penghasilan kartunis Indonesia ini, juga masih kontroversial. Khususnya untuk penghasilan tertinggi. Kemungkinan besar, nama-nama seperti GM Sudarta, Jaya Suprana, Dwi Koendoro, Pramono, dan Prijanto Sunarto, pasti termasuk kartunis yang tidak mengisi angket yang disebarkan WittyWorld itu.
Demikianlah, tulisan ini semata untuk memberi gambaran maraknya peta komoditi kartun di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Logika sederhananya, bila sebuah sindikasi mampu membayar seorang kartunis hingga puluhan milyar rupiah per-tahunnya, betapa gemuruhnya peta omset sindikasi itu. Bukan saja ini berhubungan dengan aspek kualitatif sebuah software, namun juga menggambarkan betapa jagonya sindikasi itu mengolah seluruh sistem manajemennya sehingga mampu menjual produk yang hanya bernama kartun, dengan omset dan keuntungan yang gila-gilaan!

Darminto M Sudarmo adalah penulis dan pengamat humor.

Friday, August 08, 2008

Dari Ideologi Estetika ke Arus Apresiasi

Museum Kartun Indonesia Bali


Oleh Darminto M Sudarmo

Seni kartun di Indonesia, sejujurnya, tetap belum dapat melepaskan dirinya dari seni grafis. Kalaupun dalam proses perjalanannya sesekali ia punya upaya geliat diri lewat eksperimentasi dan eksplorasi, faktanya upaya itu hanya merupakan riak-riak kecil yang tak menerbitkan gaung signifikan bagi para kartunis Indonesia maupun apresian pada umumnya.
Ada sederetan wacana tentang kartun tiga dimensi, kartun instalasi, kartun kontemporer, dan lain-lain, namun faktanya ia hanya muncul sesaat, sesudah itu lalu menguap begitu saja. Apalagi wacana-wacana yang muncul itu pada tingkat obrolan warung kopi. Belum pernah ada seminar serius bertema sebagaimana disebutkan di atas dan mengundang pembicara-pembicara ahli yang memiliki kompentensi memadai tentang hal tersebut.
Pada akhirnya, arus yang kemudian dianggap dominan mendapatkan tempat dan apresiasi adalah kartun opini (baca: editorial cartoon, political cartoon) dan hanya sedikit apresiasi untuk kartun-kartun lelucon (sosial-budaya) yang notabene secara teknis digambar secara “kodian” dan miskin detail. Dari aspek gagasan yang ditawarkan pun tidak melewati perenungan mendalam, sehingga sebagian besar kartunis lelucon (gag cartoonist) “dituduh” hanya mengolah tema atau topik secara permukaan dengan muatan pesan berkutat dari itu ke itu saja.
Sejujurnya, secara implisit kegenitan seperti itu terasa dari semangat penyajian materi dari Museum Kartun Indonesia Bali yang soft opening-nya dilakukan pertengahan Maret 2008 lalu. Spirit itu seakan ingin mendeklarasikan “ideologi estetika” bahwa kartun yang tidak digambar dengan “indah” dan memuat pesan politis yang “heboh”, maka ia bukan kartun yang layak diperhitungkan dalam peta sejarah kartun di Indonesia. Dengan demikian jika suatu karya kartun tidak mendapatkan apresiasi para pemegang otoritas Museum Kartun Indonesia Bali, maka sudah dengan sendirinya para kartunisnya juga kurang mendapatkan perhatian, apalagi dalam percaturan dan pemetaan apa-siapa kartunis Indonesia.
Melalui kesempatan menulis sebagian dari isi katalog museum kartun tersebut, saya sebagai pihak yang melihat dari sisi “luar”, mencoba menyajikan data dan fakta atau informasi sekilas tentang kartun dan kartunis Indonesia, sejauh yang dapat saya akses, sebagaimana tertuang di bawah ini.

Pertama, dalam periode awal ini telah berhasil dikumpulkan kartun-kartun karya kartunis dari seluruh Indonesia yang memiliki nilai dan momentum tersendiri. Nilai, artinya kartun tersebut punya bobot dan makna pada waktu karya-karya tersebut dimuat di media cetak Indonesia. Momentum, artinya kartun tersebut pernah memiliki riwayat atau track record baik itu terkait karena menang di ajang kompetisi nasional maupun internasional; atau dapat pula, karena kartun itu pernah terkait dengan masalah-masalah kontroversial: misalnya pernah ditolak untuk dimuat oleh redaksi sehingga si kartunisnya jadi uring-uringan atau patah arang. Ada pula riwayat kartun yang disomasi (dituntut) oleh pihak lain, sehingga jantung si kartunisnya jadi berdebar seribu degub: mungkin si kartunis beruntung kalau si penuntut nau lewat jalur hukum, kalau main hakim sendiri, gawat, kan? Pendek kata, kartun itu menjadi istimewa karena persoalan heritage-nya tadi.

Kedua, dari ratusan, bahkan ribuan koleksi museum yang telah didata, terjaring sejumlah karya master piece dari sejumlah maestro kartunis Indonesia: sebagian di antaranya bahkan, masih hidup dan sehat wal afiat, masih giat berkarya atau mengartun. Mereka antara lain: GM Sudarta (Harian Kompas); Pramono R. Pramoedjo (Harian Sinar Harapan), Dwi Koendoro (Panji Koming, Kompas); Pri S (Majalah Tempo), T. Sutanto (Harian Pikiran Rakyat, Harian Jakarta Post), dan Augustin Sibarani dengan inisial Srani (d/h Kisah, Aneka, Bintang Timur, Pantau dan kini Majalah Tapian). Para kartunis seangkatan Sibarani yang juga menonjol namanya saat itu (antara tahun 1950-1957) adalah: Ramelan (Suluh Indonesia) dan S. Soeharto (Indonesia Raya). Dan yang paling mencengangkan kita semua adalah seorang kartunis yang bernama Thomas Lionar. Kartunis asal Sungailiat, Bangka, ini bergabung dengan Harian Suara Pembaruan dalam rentang waktu yang sangat singkat: pertengahan 1987 hingga 1990 (meninggal dunia). Ya, meninggal dalam usia muda. Meskipun demikian, meskipun Thomas berkarya dalam waktu sangat singkat namun popularitas dan tawaran gagasannya sebagai karikaturis sangat membekas dalam benak masyarakat. Ada yang memberinya julukan “Si Kartunis Meteor”. Sekali muncul langsung bersinar kemudian lenyap menjadi debu. Beruntung kartunis Pramono yang notabene menjadi “kakak asuh” Thomas Lionar berkesempatan menyelamatkan sebagian dari karya-karya terbaik Thomas Lionar, sehingga pengunjung museum juga dapat ikut menikmatinya.

Ketiga, pengelola museum sedang terus berupaya meningkatkan koleksinya dengan memburu kartun-kartun yang pernah terbit tahun-tahun antara 1940 – 1950-an. Disebutkan pada tahun-tahun itu ada seorang kartunis bernama samaran Sumini, yang di kemudian hari orang baru sadar, ternyata Sumini itu adalah Ir. Soekarno alias Bung Karno. Banyak pula orang dibuat cingak oleh sejarah. Sebutlah nama Abdulsalam. Pada masanya ia hanya dikenal sebagai pelukis yang karyanya mendapat tempat tersendiri di hati para penggemarnya, tetapi orang jarang yang menyadari kalau ternyata saat itu Abdulsalam juga berkiprah sebagai seorang kartunis yang andal dan diperhitungkan. Fakta ini nyaris seperti kabut yang menyelimuti perjalanan karier seorang manusia bernama Harmoko. Pemahaman masyarakat saat ini tentang Harmoko adalah seorang figur yang pernah menjadi Ketua MPR RI, Ketua Umum Partai Golkar, dan Menteri Penerangan RI pada masa Orde Baru. Mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa Harmoko itu pernah menjadi kartunis di Harian Merdeka dengan inisialnya yang sangat khas: Mok. Ada seorang kartunis hebat asal Bali yang karyanya tergolong fenomenal dan memiliki teknik yang jauh mendahului waktu, namanya Tony Tantra. Sebagai kartunis, lepas dari berbagai persoalan “teknis” yang terkait atau dikait-kaitkan dengan dirinya, Tony sebenarnya sudah berada dalam tataran lapis atas. Entah mengapa ia memilih jalan untuk tidak masuk dalam lingkaran “pergaulan” para kartunis pada umumnya; bahkan sikap itu dia berlakukan kepada sesama kartunis Bali sekalipun. Sayang sekali, Tony Tantra dengan potensi instirinsikk yang sangat besar dan bergelora, kini sulit ditemukan jejaknya. Apalagi sosok dirinya. Bagaimanapun masyarakat tak dapat melupakan ketika tahun 1980-an LHI (Lembaga Humor Indonesia) punya hajat dan mengadakan pameran humor di TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta, Tony Tantra menampilkan karya karikatur (benar-benar deformasi dan distorsi wajah) Menteri Perminyakan Soebroto digambarkan sebagai penjual minyak yang sedang memikul dagangannya, Menteri Pendidikan Daud Joesoef bergigi buku dan lain-lain tokoh, dengan teknik cat semprot yang sangat halus dan sempurna. Bahkan pilihan sudut bidik, komposisi dan gagasan karikaturnya sendiri sungguh luar biasa. Nyaris, semua media cetak di Jakarta saat itu memuat karikatur Tony di halaman depan dan berwarna. Debut itu sungguh sangat memorable dan sulit untuk dilupakan. Ibarat kata, pameran humor saat itu hanya milik Tony, karena ia benar-benar menjadi bintang dan fokus perbincangan para kritikus maupun masyarakat ramai. Tetapi mengapa harus jalan sunyi dan sendiri yang kini dipilih oleh kartunis misterius ini?

Keempat, tahun 1970-an ke atas dapat dikatakan sebagai tahun ladang persemaian yang subur bagi tumbuhnya “tradisi” kartun lelucon. Kalau kartun-kartun yang disebutkan di atas tadi lebih mengerucut pada pengertian kartun opini (editorial cartoon atau political cartoon), maka kartun yang tumbuh mekar pada tahun 1970-an adalah kartun lelucon bertema sosial, situasi sehari-hari atau bahkan yang penting kartun lucu dan menghibur. Pada tahun-tahun 70-an ke atas, Indonesia, khususnya Jakarta, diramaikan terbitnya majalah-majalah Selecta Group; seperti: Selecta, D&R (Detektip & Romantika), Stop (Humor) dan lain-lain. Di halaman majalah-majalah tersebut dimuat secara bertebaran maupun sebagai stopper, kartun-kartun karya Johnny Hidayat, Subro, Oet, FX S Har, Zen, Harry Pede, dan lain-lainnya. Dua nama yang dianggap paling ngetop untuk kartun lelucon (gag cartoon) pada masa itu adalah Johnny Hidayat dan Subro. Nyaris setiap terbit tiada halaman tanpa kartun mereka. Media yang termasuk longgar memuat kartun sejenis adalah Majalah Variasi, Intisari, Varia, Yunior dan Warnasari. Karena kartun-kartun lelucon itu bersifat kontributif, maka banyak kartunis baru atau yang masih tahap belajar berpartisipasi mengirimkan kartun ke media-media tersebut dengan harapan dapat dimuat dan mendapatkan honor yang cukup memadai. Satu hal yang sangat penting untuk dicatat kaitannya dengan fenomena tersebut adalah tumbuhnya keberanian di kalangan pemula untuk mencoba menjadi kartunis dan tersedia wadah untuk menguji kebisaan mereka.

Kelima, bibit-bibit kartunis baru pun akhirnya bermunculan. Tahun 1980-an, kartunis yang dulunya belajar secara otodidak lewat kartun-kartun lelucon yang dimuat di berbagai media cetak, kini telah tumbuh menjadi sosok yang beda dan tak ragu menyebut diri sebagai kartunis. Tolok ukurnya apa? Tentu saja karena kartun-kartun karya mereka juga telah terbukti ikut meramaikan dunia penerbitan di Jakarta maupun kota-kota lain (daerah) yang menyediakan lahan untuk diisi kartun-kartun lelucon. Maka pada periode ini pula muncul semangat untuk tergabung dalam paguyuban atau komunitas. Itu terjadi lantaran secara faktual, jumlah mereka lumayan banyak, dan semangat mereka juga tinggi. Diawali oleh sekelompok kartunis Yogyakarta: Bagong Soebardjo (Inan), Gunawan R, Gunawan P, Gessi Goran, Anwar Rosyid, T. Nurjito, Wachid Elba Beach, Ashady dan lain-lain bertekad mengikat dalam sebuah komunitas yang dinamakan Pakyo (Paguyuban Kartunis Yogyakarta). Deklarasi pendirian Pakyo ini ditandai dengan mengadakan pameran kartun bersama di Galeri Seni Sono, Yogyakarta. Seperti gayung bersambut, pemberitaan mengenai Pakyo ini mengusik dua kartunis Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah; yaitu Odios (Darminto M Sudarmo) dan Itos (Boedy Santosa). Tanpa banyak buang waktu, keduanya lalu bersepakat mendirikan Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu). Tanpa banyak buang waktu pula, keduanya lalu mengadakan pameran kartun bersama di Pendopo Kawedanan Kaliwungu (1982). Situasi menjadi semakin menarik ketika orang menggunjingkan lahirnya Kokkang karena kemunculan Pakyo; sepertinya peristiwa itu terjadi karena pengaruh teori efek domino saja. Tetapi, ada pula yang menyanggahnya. Pakyo lahir karena memang harus lahir. Kokkang lahir karena memang sudah waktunya lahir. Rasanya tak perlu menghubung-hubungkan gejala itu sebagai akibat dari teori efek domino segala. Intinya, kalau itu bisa terjadi karena kebetulan semata. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Pameran kartun Odios dan Itos yang saat itu dihadiri Jaya Suprana dan para kartunis Semarang, benar-benar membuktikan bahwa teori efek domino itu tak dapat dikecilkan artinya; karena kurang dari seminggu setelah mereka mengunjungi pameran di Kaliwungu, kartunis-kartunis Semarang lalu mendeklarasikan berdirinya Secac (Semarang Cartoon Club). Sekelompok kartunis Semarang lainnya yang punya prinsip beda mendirikan Wak Semar (Wadah Kartunis Semarang). Begitulah jejak yang tertinggal. Jejak yang masih dapat dilacak. Bila sesudah itu masyarakat menyaksikan suburnya pendirian paguyuban atau kelompok kartunis lain yang tak kunjung putus tak kunjung rampung, maka tak sulit untuk menarik benang merah korelasi, bahwa itu semua terjadi karena pengaruh virus latah atau trend atau efek domino tadi. Jangan heran kalau Anda kemudian menjumpai nama-nama komunitas kartunis seperti ini: Terkatung (Terminal Kartunis Ungaran), Pakarso (Paguyuban Kartunis Solo), Pecahban (Pecandu Kartunis Bandung), Pokal (Persatuan Kartunis Tegal), Perkara (Persatuan Kartunis Rawamangun), Ikan Asin (Ikatan Kartunis Banjarmasin) dan masih banyak lagi lainnya.

Keenam, paguyuban-paguyuban atau kelompok kartunis yang marak dan bertebaran di berbagai titik lokasi di Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi itu sedikitnya membuahkan hasil berupa kompetisi sehat dan adu kuat dalam survival kelompok atau individu melawan gerusan waktu. Hasilnya lumayan. Alam menyeleksi lewat kebajikannya. Akhirnya muncul nama-nama yang pada saat naskah ini ditulis, mereka masuk kategori second grade. Siap mengintip singgasana maestro yang sebetulnya juga milik mereka sendiri. Siapapun boleh setuju atau tidak setuju, tetapi keputusan menyebut sebagian nama mereka semata-mata karena pertimbangan: prestasi, penilaian kritikus dan pengakuan publik (dalam atau luar negeri). Nama-nama itu misalnya: Jitet Koestana, M. Najib, Jango Pramartha, Thomdean, Benny dan Mice, Tyok, Gessi Goran, Non-O S. Purwono, Gunawan Pranyoto (Goen), Mukhid Rahmat, M. Syaifudin, M. Nasir, Hanung Kuncoro, Koesnan Hoesie, Muslih, Wiednyana, Gun Gun, Gus Martin, Den Dede, Deny Adil, dan banyak lagi yang tak dapat ditulis di sini karena keterbatasan halaman. Bahkan kartunis Pri S (Priyanto Sunarto) yang telah meraih doktor dengan disertasi “Metafora Visual Kartun Editorial pada Surat Kabar Jakarta 1950-1957”, di depan para peminat kartun mengatakan, bahwa Jitet Koestana itu sebenarnya sudah layak dimasukkan ke dalam kategori salah seorang maestro kartunis Indonesia. Pendapat itu sah. Namun proses pengakuan publik, juga memerlukan waktu. Apakah sistem nilai di negeri kita sudah dapat melihat masalah dengan kaca mata adil dan bijak? Misalnya wacana tentang Jitet apakah perlu harus menunggu dia berumur lanjut lebih dulu, kenyataannya, kendati secara usia dia masih tergolong muda namun kualitas karyanya tidak terlalu jauh dari para maestro yang ada saat ini.

Ketujuh, mengingat keterbatasan tempat pajang, akan sangat bijak bila pengelola museum dapat mengakomodasi kartun-kartun bagus yang belum berkesempatan dipajang untuk diolah dalam format digital; baik itu yang berkaitan dengan karya berwujud visual, audio, maupun audio visual. Pelayanan ini berkemungkinan menjembatani kehausan pengunjung agar dapat mengakses informasi seputar kartun (dwimatra maupun trimatra) dan segala bentuk informasi yang berkaitan dengan kartun Indonesia dalam pengertian yang seluas-luasnya. Tengara bahwa Museum Kartun Indonesia Bali memang benar sebagai museum kartun pertama di Asia Tenggara, ia bukan hanya sebuah kebanggaan, tetapi juga sebuah pekerjaan rumah yang cukup panjang dan menantang.***

Darminto M Sudarmo adalah penulis dan pengamat humor.
Tulisan berikut merupakan sebagian dari bahan katalog yang diterbitkan oleh Museum Kartun Indonesia Bali dan telah dilakukan penyuntingan/penulisan ulang oleh penulisnya sendiri.

Religiusitas Pelawak Apa Mungkin?

Oleh: Darminto M. Sudarmo

Ya, namanya juga pelawak. Orang maklum saja kalau posisinya sering dikait-kaitkan dengan hal yang aneh-aneh. Aneh di sini, tentu saja hal yang oleh masyarakat umum dianggap beda. Tidak lazim.
Lalu apanya yang beda dan tidak lazim itu? Tentu saja kehidupan dan cara kerjanya. Kehidupan pelawak, seperti halnya seniman lain, sebagian besar waktunya diisi oleh kegelisahan yang tak kunjung berhenti. Gelisah karena hari-harinya diisi oleh kekhawatiran kalau dirinya sampai kehabisan gagasan lucu. Gelisah dan khawatir kalau tampil di pertunjukan tidak sanggup membuat orang lain tertawa.
Maka gampangnya ngomong, kalau sampai pelawak tidak dapat melucu lagi, berarti ia sudah habis. Mati, dalam keadaan masih hidup. Jika pelawak sudah “mati” seperti itu, ia dianggap tidak ada lagi. Lewat dari percaturan publik dan orang pun lalu melupakannya.

Modal Daya Cipta
Padahal, kegelisahan atau kekuatan negatif semacam ini hampir “menimpa” dan dimiliki semua seniman kreatif. Menurut penyair J. Keats, justru kegelisahan semacam itulah yang menjadi modal suburnya daya cipta bagi sang seniman. Pelawak yang tak pernah khawatir bila penampilannya tidak lucu, justru mengundang tanda tanya publik, apakah dia sudah mandeg atau sudah masuk kategori bebal tanggung jawab ke-“seni”-annya.
Meskipun demikian, ada juga pertanyaan rada-rada jahil, apa benar, kegelisahan pelawak terjadi karena melulu tanggung jawab kreativitas dan daya cipta? Tak adakah penyebab lain yang justru jauh dari konteks itu? Bagaimanapun, karena pelawak juga manusia, yang di dalam dirinya memiliki tipikalisasi yang juga rada rumit -- setidaknya ia adalah agen dari berbagai kepentingan -- bukan tak mungkin kegelisahan terjadi karena alasan-alasan di luar konteks kreativitas dan daya cipta.
Salah satu yang agak dekat dengan kenyataan, misalnya: sindrom kejayaan masa lalu; paranoia oleh kecenderungan yang berubah begitu cepat, dan lain-lain. Dan “kondisi” seperti itu tampaknya lebih cocok bila kejahilan dialamatkan pada sosok sementara pelawak masa kini – khususnya yang mengalami masa booming lawak sebagai industri budaya, sehingga fokus perhatiannya lebih tertumpu pada survival tidaknya mejeng di televisi, sering tidaknya panggilan job untuk pentas di ranah off air.. Kekecualian jelas ada, pada sosok semacam Bing Slamet, S. Bagyo, Benyamin S, Johnny Gudel, Basiyo, Kang Ibing dan beberapa pelawak senior yang intensitas dan dedikasi berkeseniannya tak diragukan lagi.
Di Jepang pernah ada grup komedian yang tergabung dalam “Kato Ken Show” dan sangat digemari pemirsa dari segmen keluarga (ayah, ibu, anak dan pembantu). Sebuah segmen kategori “emas” karena cakupan pemirsanya tergolong luas baik dari segi usia, pendidikan, ekonomi, wawasan dan citarasa (daya tangkap). Grup ini bertahan menghibur pemirsa di televisi hingga tak kurang dari 32 tahun. Dapat dihitung sendiri berapa episode bila dalam seminggu setidaknya mereka tampil dua kali. Tetapi karena mereka menyadari secara usia (fisik) makin uzur, maka dengan penuh rasa sesal mereka meminta maaf pada pemirsa untuk diizinkan mengundurkan diri dari acara tersebut. Mereka ingin istirahat dan menikmati hari tua tanpa stres/gelisah (berpikir tentang kreasi dan isi) karena tuntutan curiosity dan surprising dalam produk humor secara umum memang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Ini sungguh kontras dengan kenyataan yang ada dengan pelawak kita, dengan televisi kita. Beberapa pelawak yang dulu pernah mengalami masa emas, masa puncak popularitas tapi kini jarang muncul di televisi, kendati secara usia masuk golongan “sangat senior”, tetap bersemangat mengincar bahwa tampil di sebuah acara televisi merupakan tolok ukur eksistensi kendati kecenderungan selera broadcast kita sudah sangat berbeda. Sementara padatnya job di ranah off air dianggap sebagai tolok ukur ekonomi. Padahal bila para pelawak sangat senior dan senior dibantu para yunior mau menyibukkan diri dalam konteks kesenian atau dedikasi budaya yang bermanfaat bagi banyak orang, tentu itu sebuah kabar yang sangat simpatik dan dapat meninggalkan jejak sejarah yang gaungnya akan melintasi ruang dan waktu. Melampaui tahun dan abad di masa mendatang.

Ritual Seni Humor
Salah satu gagasan yang sederhana, misalnya, setahun sekali mengadakan “ritual” seni berupa persembahan pelawak untuk Indonesia. Para pelawak Indonesia dari yang biasa-biasa hingga yang sangat popular bergabung kemudian mempersembahkan performance berbasis humor (baca: seni humor), di mana pertunjukan mengakomodasi berbagai bentuk kreasi humor dalam pengertian sekreatif-kreatifnya. Dari eksperimentasi hingga yang “revolusioner” sekalipun; yang jelas, sangat berbeda dari sekadar performance di televisi yang penuh penjara rating dan klaim-klaim bisnis semata.
Dalam konteks pertunjukan seni humor di atas, bukankah para pelawak dapat bekerjasama dengan unsur-unsur kreatif dari luar. Baik itu kaitannya dengan konsep pertunjukan, skenario, penyutradaraan hingga ke teknis pemanggungan, pencahayaan, property dan lain-lain. Akan semakin seru lagi, bila dapat mencapai kondisi “humor total dan total humor”, seperti yang seringkali diidamkan almarhum Arwah Setiawan namun hingga kini, belum pernah sekalipun insan humor kita mampu mewujudkannya.
Pengertian humor total dan total humor bukan berarti ramai atau kolosalnya peserta pertunjukan, melainkan sebuah konsep pertunjukan yang seluruh elemennya (multimedia) dapat berkomunikasi secara kocak dengan penontonnya. Dari pemain, musik, pencahayaan, property, setting, penonton hingga segala aspek yang berkemungkinan digarap.
Salah satu contoh, misalnya ada seorang penonton begitu duduk di kursi yang tersedia, kursi yang diduduki itu lalu berteriak, “Aduuuuuuuuuh sakiiiiiit!!!” tentu saja sensasi lucu akan segera terbangun di ruangan itu. Kejutan-kejutan lain, sebelum pertunjukan berlangsung dapat dieksplorasi untuk membangun kondisi “total” yang memang diharapkan bersama. Bahkan kalau perlu sampai di titik akhir setelah pertunjukan, yaitu ketika para penonton bergegas ke tempat parkir, kejutan-kejutan kocak masih mungkin digarap sehingga penonton benar-benar memperoleh kesan mendalam atas pertunjukan dan persembahan para pelawak pada seni humor tersebut. Semakin mendalam lagi, jika event semacam ini dilakukan secara periodic, misalnya setahun sekali. Bukankah persoalan biaya akan tercover dengan sendirinya jika bentuk acaranya memang punya selling point memadai. Para sponsor tentu akan bersemangat berpartisipasi karena alasan-alasan yang memang logis tadi: menarik dan sensasional.
Gagasan lain yang juga memerlukan campur tangan para pelawak sendiri dan dapat menjadi agenda jangka panjang adalah: pendirian museum lawak Indonesia, penerbitan buku semacam “Apa Siapa Pelawak Indonesia”, pembuatan film dokumenter tentang profil dan proses kreatif pelawak Indonesia dan lain-lain aktivitas yang dapat memberikan peninggalan serta jejak bagi sejarah perlawakan Indonesia.
Apakah semua itu akan dimulai dan diorganisasi oleh PASKI (Persatuan Seniman Komedi Indonesia) atau oleh pihak manapun tidak menjadi penting benar; hal yang paling penting justru visi semacam itu seyogianya datang dan dimulai dari individu yang bernama pelawak. Atau setidaknya para pelawak perlu melibatkan diri dalam pemikiran dan pelaksanaan aktivitas terse but, yang pada akhirnya juga menyangkut kepentingan pelawak dan seni lawak Indonesia dalam pengertian seluas-luasnya.

Inspirasi Ronaldinho dan Bill Gates
Tentang kemakmuran yang dicapai sebagian besar pelawak Indonesia karena situasi booming industri budaya semacam itu, sudah banyak diketahui masyarakat; tetapi langkah “balas budi” pelawak kita kepada masyarakatnya tampak belum serius benar. Jangankan “berderma” untuk pihak lain, untuk merealisasi produk-produk yang terkait dengan kepentingan seni lawak Indonesia sendiri juga kurang menggugah rasa kesadaran mereka akan pentingnya dokumentasi, pendidikan dan sejenisnya.
Sebut saja misalnya: pembuatan: buku “Apa Siapa Pelawak Indonesia”, Profil Pelawak Indonesia dalam paket audio-video, persembahan pertunjukan kreatif setiap tahun sekali, pendirian sekolah atau semacam college bidang perlawakan dan lain-lain gerakan yang sifatnya menggugah terwujudnya rekaman jejak sejarah dan regenrasi bagi kelangsungan seni lawak di masa-masa mendatang.
Saya yakin kita semua pernah mendengar apa yang dilakukan pemain bola asal Brazil, Ronaldhino, yang menyisihkan sebagian “harta”-nya untuk mendirikan sekolah bola gratis bagi anak-anak miskin di negara tersebut. Sekolah itu untuk mengantisipasi agar reputasi Brazil sebagai negara yang memiliki kredibilitas tinggi di dunia, tetap terjaga; selain menciptakan peluang yang adil bagi siapa saja; khususnya anak-anak miskin yang gampang tersisih karena pendidikan umum yang ada lebih memihak pada mereka yang orang tuanya berduit.
Langkah Ronaldinho dapat dikatakan sebagai langkah religius. Pemikiran itu muncul karena Ronaldinho menyadari bahwa seni bola di Brazil bukan milik dia pribadi, bukan selesai pada pencapaian dirinya saja; tetapi masih sangat panjang, bahkan tak dapat diukur dengan konteks ruang dan waktu.
Di luar dugaan, Bill Gates, bos Microsoft yang pada awalnya dijustifikasi sebagai sosok yang sangat ketat dalam mempraktikkan “hukum” kapitalisme lewat penjualan software-software-nya, kini setelah mencapai tahapan religiusitasnya, justru menjadi salah satu tokoh yang paling gencar melakukan gerakan sosial berupa pemberian bantuan kepada dunia pendidikan dalam pengertian seluas-luasnya. Dalam bahasa yang sederhana, dia merasa berkwajiban untuk membalas budi kepada masyarakat, karena karya dan kerjanya tak akan berarti apa-apa tanpa apresiasi dan partisipasi masyarakat.
Sebagai bukti dari komitmennya ia memulai dari memotong penghasilannya sendiri yang diperoleh dari perusahaan Microsoft; bila tak salah kutip sekitar: 80 hingga 90%. yang dianggarkan untuk bidang pendidikan.
Pertanyaannya, ada relasi konteks apa antara Ronaldinho, Bill Gates dan Pelawak Indonesia? Tentu saja ada. Bahkan Anda sendiri sudah dapat menerkanya; terutama ketika sebuah sosok sukses atau pernah sukses yang berlumur kemakmuran dan popularitas, pada akhirnya akan berada di situasi yang sangat menggelisahkan. Kegelisahan yang seperti gangguan, dan obatnya tak ada lain selain masuk ke gerbang religiusitas.
Di gerbang itulah, para insan gelisah itu: termasuk para pelawak Indonesia yang sukses dan makmur dapat membasuh “dosa sukses”-nya dengan cara melakukan tindakan sederhana berupa berbagi kebahagiaan dan kesempatan. Berbagi kemungkinan bagi bakat-bakat baru yang mustahil dapat muncul bila tanpa campur tangan donasi sosok-sosok yang telah atau sedang sukses dan makmur, seperti Ronaldinho dan Bill Gates, misalnya. Bukankah gerakan mereka cukup menyentuh dan inspiratif bagi para pelawak Indonesia (termasuk kia) di tengah negeri ini dilanda prahara kemaruknya sementara pejabat gemblung yang berlomba menjarah harta negara demi kemakmuran dan kemulyaan semu diri sendiri. Tanpa rasa malu lagi. Sungguh, sangat menggemaskan!


Darminto M. Sudarmo, penulis dan pemerhati humor.

Karantina Generasi

Oleh Darminto M. Sudarmo

Pada pagi tanggal 22 Juli kemarin saya mendapat telepon dari Presiden Republik Mimpi. Bunyi telepon itu kurang lebih meminta waktu saya menghadap beliau pada pagi itu juga; padahal Anda tahu saya sedang enak-enaknya menyantap koran pagi dan menyeruput kopi hangat yang membuat sekujur tubuh terasa segar. Telepon Presiden kemarin adalah yang kelima kalinya. Sekian lama itu pula saya selalu beralasan sedang sangat sibuk sehingga belum dapat menghadap beliau.
Tampaknya Presiden tidak putus asa; hari kemarin adalah puncak kegigihannya. Terus terang saya benar-benar tidak tega; sebagai warga negara yang baik saya merasa berkewajiban menghadap Presiden; siapa tahu beliau memang sedang butuh teman curhat atau paling tidak teman diskusi.
Nah begitu saya sampai di ruang dalam Istana Kepresidenan, saya telah disambut hidangan di atas meja. Sarapan pagi ala Istana. Bukan hanya hidangan lezat yang menyambut, Presiden sendiri juga menyambut dengan tergopoh-gopoh; mungkin khawatir saya balik lagi ke rumah, kalau setibanya di dalam istana lalu merasa menjadi Mr. Nobody. Maklum, ruangan yang megah dan berarsitektur kuno dengan kepungan penjagaan yang cukup ketat, bisa-bisa membuat tamu jadi kikuk dan kurang nyaman.
“Sebenarnya, ada hal apa yang membuat Bapak Presiden begitu semangat mengundang saya; padahal semua orang tahu, saya ini tidak punya apa-apa; tidak punya ilmu simpanan apa-apa; lalu apa manfaatnya mengundang saya di tempat yang sangat terhormat ini?” Tanya saya berterus-terang.
“Itulah persoalannya. Semua rakyat Republik Mimpi sudah tahu, bahwa negeri ini sedang berada di bibir jurang. Lengah sedikit, kita semua kecemplung di dalamnya.” Tukas Presiden sambil memperbaiki tempat duduknya.
“Lha hubungannya dengan saya?”
“Ada. Bahkan penting sekali. Sudah begitu banyak analisa dari para pemikir dan cendekiawan yang muncul deras di kolom-kolom surat kabar dan majalah. Bahkan dalam dialog interaktif di TV, tetapi semua hanya menyentuh perkara yang abstrak dan agak sulit dirunut konklusinya. Terus terang perkara korupsi, yang bahkan sudah menjalar-jalar dari Sadang sampai Merak Oke, perkara profesionalisme pelayanan publik yang kedodoran, dosa birokrasi, kriminalitas, pelanggaran HAM, dan lain-lain yang membuat bangsa kita sangat rendah citranya di mata negeri-negeri lain, mana bisa diselamatkan kalau dari 10 orang ahli, 9 di antaranya hanya menjadi pengamat. Menjadi analis….”
“Maunya Anda Tuan Presiden, eh, Bapak Presiden?”
“Mari berbuat. Seperti iklannya anak muda yang jadi ketua umum partai politik itu lho. Jadi, saya melihat Anda punya kans untuk berbuat dalam konteks yang berbeda dan tidak sama dengan semua analisa yang bertebaran itu.”
“Konkretnya?”
“Tolong saya diberi masukan. Masukan yang beda dan baru. Mungkin agak gila, ngaco atau semacamnya. Itu tidak masalah. Yang penting, gagasan itu dapat menciptakan perspektif yang baru. Yang lebih penting lagi, Anda perlu memberikan argumen yang masuk akal di pikiran saya. Mengapa begini, mengapa begitu…”
Saya mengambil sepotong pisang goreng, mengunyahnya sesaat. Lalu menyeruput kopi panas yang rasanya, jujur hati, lebih huenak dan sedap daripada kopi saya di rumah.
“Fakta bahwa banyak birokrasi yang bekerja tidak sesuai dengan fungsinya adalah soal kuno. Itu artinya, pejabat disumpah, bahkan dengan kitab suci, tak ada artinya apa-apa. Hukum dan undang-undang terus ditelurkan, tidak juga ada pengaruhnya pada perilaku kita semua. Pertanyaannya, mengapa kita suka ngomong yang tinggi-tinggi, tapi kelakuannya begitu rendah? Jawabannya ada di budaya kita sendiri: budaya tidak punya rasa malu. Janji pertemuan jam 12 datang jam 13 atau 14, tidak masalah. Tidak ada sanksi moral, tidak ada sanksi sosial. Orang pun menganggap kesepakatan dan komitment hanya penghias bibir. Janji mau jadi pimpinan yang oke punya, eh, yang terjadi justru sebaliknya. Janji tidak akan korupsi eh, malah nguras uang negara sebanyak-banyaknya. Bagaimana tidak? Lha wong nyuri duit milyaran dan jutaan hukumannya sama, maka lebih baik nyuri yang banyak sekalian.
“Intinya, antara omongan dan kelakuan kita boleh tidak sama. Boleh tidak malu. Boleh menganggap angin lalu dan tak lama lagi toh masyarakat segera melupakannya. Kalau anak-anak, calon generasi kita menonton kenyataan seperti itu, bagaimana mereka tidak bingung membedakan mana yang salah, mana yang benar. Saran Romo Mudji sepertinya mudah sekali, bereskan dulu birokrasi dan ganti dengan anak-anak muda yang idealis supaya keadaan segera berubah. Didik anak-anak sejak dini agar dapat membedakan mana yang benar mana yang salah. Tidak salah. Tapi mereka akan kembali menyaksikan orang tua mereka yang tak bisa jadi teladan. Tak dapat dipercaya omongannya. Sehingga, bukan mustahil bila mantan mahasiswa pun setelah jadi pejabat toh lama-lama, setelah tahu nikmatnya duit, kegoda juga.”
“Lalu, apa kita harus skeptis dan membiarkan bangsa ini terperosok ke dalam jurang keterpurukan?”
“Ya, tidak dong, Pak. Saran saya, pilih salah satu pulau dari negeri kita yang dinilai aman dan terlindung. Isi pulau itu dengan anak-anak dari usia balita hingga lulus perguruan tinggi. Tutup semua akses, terutama dari media Republik Mimpi. Maksudnya, agar anak-anak itu tidak pernah menyaksikan berita atau tayangan orang-orang tua mereka yang di rumah alim dan berwibawa, ternyata ketangkep basah oleh komisi anti korupsi lalu digelandang seperti penjahat jalanan.
“Harus dilakukan sebuah revolusi, anak-anak tidak boleh berhubungan dengan orang tua atau saudaranya. Semua. Mereka berangkat dari nol kilometer menyongsong lahirnya era Republik Mimpi yang sama sekali terpisah dari generasi sebelumnya. Generasi yang tak sanggup menyelematkan bangsanya. Bekali mereka dengan moral, tata nilai dan pengetahuan sesuai yang diamanatkan dan dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini sehingga mereka dapat tampil sebagai manusia Republik Mimpi yang seutuhnya; bangsa yang seutuhnya. Kalau perlu dapat mengantar bangsa ini menjadi bangsa yang tingkat martabat dan kebudayaannya paling oke di seluruh dunia.”
“Edan! Itu namanya pemusnahan peradaban….”
“Lho katanya, mau yang gila?” Tanya saya agak nyesel, sudah capek berbusa-busa malah tak ada apresiasi sama sekali.
“Iya, begitu sih begitu, tapi ya jangan begitu…” kata Presiden.
“Oke, kalau itu kurang berkenan, situasinya dibalik saja: anak-anak biar tinggal dan belajar di Republik Mimpi sampai mereka besar dan dapat memimpin negeri ini, sedangkan semua rakyat yang bukan anak-anak, dikarantina di sebuah pulau atau tempat khusus yang seluruh aksesnya ditutup. Gimana?”
“Hah! Tahun 2009 sepi, dong…..”***


Darminto M. Sudarmo, penulis dan peminat masalah humor.

Hape Adalah Segala-galanya

Rubrik: Resensi Buku

Data Buku
Judul : Kartun Benny & Mice
Talk about Hape
Penulis/kartunis : Benny Rahmadi dan Muhammad Misrad
Penerbit : Nalar
Cetakan : I, Maret 2008
Tebal : vi + 106


Oleh: Darminto M. Sudarmo

Manusia modern tanpa hape? Ia bisa celingukan seperti orang hilang. Seperti orang buta di tengah kota; seperti orang bisu tuli di keramaian lalu lintas gossip dan wacana. Jadi? Ya, rugi banget, gitu. Setidaknya itu sebagian topik yang disinggung Benny dan Misrad dalam bukunya Kartun Benny & Mice: Talk about Hape. Buku gress yang muncul setelah serangkaian seri buku-buku yang lain dengan fokus perhatian pada gaya hidup manusia metropolis.
Seperti buku-buku kartun sebelumnya, Benny dan Misrad selalu memiliki sudut pandang melihat persoalan secara nakal, jeli dan kocak. Mereka mendekati persoalan dengan cara yang beda; penuh gelitik, kadang kurang ajar sedikit, kadang sirik banget, tetapi sesekali mereka juga cukup sportif dan tidak pandang bulu: menertawakan ketololan dan kesialan diri (tokoh Benny dan Mice). Dengan kata lain, bila Anda menyimak dengan seksama, selain mendapatkan hiburan yang cukup oke, Anda juga diajak mencermati situasi psikologis yang terdapat pada perilaku manusia-manusia modern. Ada yang jadi bulan-bulanan iklan, ada yang demen show, ada pula yang lupa prioritas, sehingga anggaran untuk hape dan pulsa seakan segala-galanya. Seakan tak ada yang lebih penting di dunia ini selain urusan yang itu-itu juga.
Padahal nih, orang modern konon merasa belum lengkap jika belum memiliki: pekerjaan/jabatan, tempat tinggal (rumah), kendaraan, rekening bank, asuransi dan hobi. Tetapi dengan datangnya hape (yang notabene masuk klasifikasi hobi dan pekerjaan), asal itu paling mahal dan paling canggih, maka tidak memiliki yang lain, tidak apa-apa. Kalau perlu, tiap minggu ganti yang lebih baru. Dengan begitu, si empunya hape akan merasa sebagai manusia modern yang up to date.

Pengguna Hape
Siapa pengguna hape? Menurut dua kartunis ini, mereka bisa dari anak-anak (TK, SD), remaja, psk (callgirl), pembantu, eksekutif, bencong, ibu rumah tangga, mahasiswi, preman, kakek-kakek genit, penjahat, hingga penjual sayur keliling. Semua ber-hape-ria. Jadi tidak keliru bila dikatakan: hape memang untuk semua.
Dengan alasan masing-masing pula, para pengguna hape bertingkah laku. Bayangkan bila di dekat Anda ada seorang laki-laki yang dari penampilan dan pakaiannya bisa ditebak profesi atau bisnisnya, tetapi ketika ia ngomong di hape, seakan dia adalah saudagar besar, karena angka-angka transfer bank yang disebutkan tampak atraktif dan serba puluhan juta. Apa boleh buat, orang-orang seperti mereka memang banyak bertebaran di sekitar kita. Tetapi ada pula kisah mengenaskan, sudah capek-capek beli hape kelas triji (3-G), semalem ditunggu sampai tidak dapat tidur, tidak juga ada orang yang nelepon.
Mungkin bukan sesuatu yang berlebihan bila pebisnis sibuk memang memerlukan hape canggih dan lengkap fitur untuk keperluan pekerjaannya. Misalnya dia harus memantau pergerakan bursa saham, lalu lintas transaksi perusahaan yang dipimpinnya. Dan lain-lain informasi terkini yang semua itu sangat berkaitan dengan pengambilan keputusan di perusahaannya.
Kekonyolan memang agak sedikit terjadi jika kita memerlukan hape yang sebetulnya hanya untuk komunikasi telepon dan SMS, tetapi kita memaksa diri membeli hape yang paling baru dan canggih. Akibatnya yang terjadi adalah fitur-fitur yang menopang kebutuhan canggih tidak digunakan dan tersia-sia, atau bisa juga karena memang kita malas/tidak dapat mengoperasikannya. Kedua kartunis ini dengan cukup tajam dan jenaka menelanjangi kekonyolan kita semua yang mudah terjebak oleh permainan iklan dan promosi.

Diuber Habis
Kekonyolan-kekonyolan lain juga dapat dilihat dari tiap bab: dari persoalan masalah handset, operator, pulsa, SMS, perilaku pengguna hingga fitur yang ada di tiap hape. Semua diuber habis oleh kedua kartunis ini dengan sedetil-detilnya. Masalah handset misalnya; khususnya yang sudah lama tapi masih dapat dioperasikan; dijual tidak laku, dibuang sayang. Maka jalan keluarnya adalah membeli casing baru. Ya, dengan hanya mengeluarkan Rp20 ribu, hape tampak bersinar lagi.
Fungsi handsfree, misalnya. Namanya saja hands yang free. Alat itu dimaksudkan agar pengguna hape dapat berhaperia dengan tangan bebas dari tugas memegang handset, khususnya saat lagi nyetir mobil agar tak terganggu. Tetapi pada kenyataannya, ada juga yang sudah menggunakan handsfree tapi tangan kanan masih pegang handset, tangan kiri pegang kabel. Handsfree juga sangat tepat digunakan saat situasi lagi gaduh sehingga dapat bebas dari noise, sehingga kita dapat mendengar suara lawan bicara lebih jelas. Lalu apa pula artinya bila si pengguna sudah pake bluetooth handsfree, tetapi tangan si pengguna juga masih gerayangan pegang telinga pegang handeset? So begitulah.
Kisah tentang SMS juga tak kalah hebohnya. Begitu hebohnya kasus SMS, khususnya bagi yang punya pasangan. Baik itu yang masih pacaran maupun yang sudah suami istri. Semua menjadi cermin bagi tingkah laku kita semua. Kisah-kisah yang menegangkan karena kesalahpahaman atau karena memang salah satu selingkuh betulan, ikut menjadi bumbu penyedap bagi mereka yang hidup berpasangan; kisah perang dingin yang lama dan tak tercairkan dan kemudian berakhir dengan perpisahan juga cukup banyak terjadi di masyarakat. Begitu gawatnya persoalan SMS sampai akhirnya keluar lagu berjudul serupa dan populernya bukan main. Benny dan Misrad membidik persoalan SMS dari kaca mata yang menggelikan; itu tergambar ketika lagi enak-enak tidur, si istri mendengar hape suaminya berbunyi di tengah malam buta: ada SMS masuk. Iseng-iseng ditengok, eh tertulis: halo sayang, udah bobo belum? Tentu bisa dibayangkan seperti apa reaksi si istri yang bertubuh gembrot dan cinta banget sama suaminya itu.


Membuka Kesadaran
Tanpa diduga, di antara berlimpahnya slengekan dan guyonan ala Benny dan Mice yang genuine dan mengalir, ternyata ada juga guyonan mereka yang tampaknya santai dan tanpa ekspresi menggebu namun sesungguhnya mengandung “penyadaran” atau sebutlah pencerahan bagi pengguna hape atau pembaca secara umum. Ini serius. Keduanya mengkritisi praktik bisnis SMS yang iklannya kerap muncul di TV.
Pada topik “SMS Ramalan” halaman 59 tampak sesosok figure di TV yang berkata, “Ketik REG spasi Ramalan, kirim ke 2345…Nasib Anda dapat saya baca dari nomor hape Anda…” Lalu Benny nyeletuk, “He he he, kacau nih orang!” langsung disusul komentar Mice, “Lebih kacau lagi yang ngirim SMS!”
Pada halaman 53, bagian dari topik “SMS Dini Hari” tampak sesosok gadis seksi di layar TV, “Eeemmhhh….Ayo doooong….kamu kirim SMS lagi 3 kaliiii aja….Kutunggu yaaa,,,,waktunya aku tambah 1 menit deeeh…Hadiahnya handphone dan uang 5 juta loooh….” Lalu Mice berkomentar, “Orang bego mah, ngirim SMS dan buang-buang pulsa buat ngikutin kuis ginian…” tak lama kemudian disusul komentar Benny, “Orang pintar…minum tolak angin sambil nonton presenternya aja…he-he-he!”
Dan yang agak “menggelikan” karena sama sekali tidak logis tampak pada topik “SMS Idola” di halaman 49. Di sebuah layar TV terlihat sesosok artis cantik, “Ketik REG spasi Namaku…kirim ke 9009…SMS yang kamu terima dari hapeku lho…” Komentar kritis segera meluncur dari mulut Benny, “Iya deh, dari hape lu!! Hape lu ada 10. Yang megang orang laen. Jadi SMS-nya dari orang laen, dong!” Disusul komentar Mice yang sangat pas dan telak, “Emangnya lo gak shooting?! Kurang kerjaan amat balesin SMS orang?! He he he…!!!”
Sikap kritis namun tetap komis (baca: komedis, santai dan lucu) seperti ini memang perlu agak diperbanyak. Seandainya kedua kartunis juga mengkritisi praktik penipuan lewat hape dengan iming-iming hadiah barang (mobil) atau pulsa jutaan rupiah dengan berbagai modusnya yang terus berubah dan beberapa di antaranya bahkan bisa muncul menggunakan symbol operator, tentu percaturan tentang hape akan lebih seru.
Makin tambah seru lagi bila sikap kritis itu juga ditujukan kepada institusi yang getol mewajibkan registrasi bagi pengguna nomor perdana, yang ternyata hanya jadi ritual regulative belaka. Pemilik nomor dapat menggunakan identitas siapa apa saja. Toh kenyataannya tak ada crossing check tentang kebenaran atau ketidakbenaran data dalam registrasi.
Penyalahguna nomor dapat meloloskan diri dari konsekuensi hukum yang menjeratnya. Lalu apa maksud diadakannya registrasi itu? Bila tiap operator memilik database pemilik nomor, mengapa orang-orang yang sudah berusaha 50 tahun ke atas masih mendapat kiriman SMS promo yang sebenarnya lebih cocok bagi kaum muda? Lebih konyolnya lagi, tanpa setahu si pemilik, mereka juga sering mendapat i-ring gratis lagu-lagu yang sama sekali tidak match dengan usia/selera si pemilik hape.
Talk about Hape tampaknya perlu disiapkan edisi lanjutannya….!


Darminto M. Sudarmo, penulis, peminat dan pemerhati humor.