Oleh Darminto M Sudarmo
Apakah imbauan dari para kartunis tersebut mendapatkan sambutan dari media cetak yang ada saat itu? Secara langsung, tidak. Namun bila dicermati secara bertahap, ada progresi yang terlihat. Bahkan secara kasar dapat dipersentasekan: media massa yang memuat kartun kurang lebih 70% dan yang tidak memuat sekitar 20%, sedangkan yang 10% kadang memuat kadang tidak.
Paradoks dengan fakta di atas, sepuluh tahun terakhir (sejak reformasi bergulir), tumbuh begitu banyak dan beraneka media cetak. Ada yang sekali terbit selanjutnya tidak ada kabarnya, alias gim. Ada pula yang terbit tiga/enam bulan sekali. Dan yang tak kalah menghebohkan, khususnya media cetak daerah: baru terbit kalau ada pengangkatan pejabat baru. Ibarat kata, media massa di era reformasi, banyak yang berguguran; itu terjadi lantaran tidak disambut baik oleh konsumen; namun tak kurang pula yang dapat bertahan dan tumbuh menjadi media cetak cukup tangguh dan membayangi beberapa media cetak yang tergolong establish. Dan kondisi yang terjadi saat ini bila dihubungkan dengan uraian di atas dapat ditemukan perbandingan penyediaan rubrik kartun/humor di media dimaksud dengan komposisi kuang lebih: 30% media yang konsisten dan sustain menyediakan rubrik kartun; 60%, media yang sama sekali tidak menyediakan rubrik kartun, dan 10% yang kadang memuat/tidak memuat kartun.
Orientasi Baru



Kartunis Melukis
Satu hal yang menarik untuk disimak, berkaitan dengan semangat kartunis Indonesia yang juga mau melukis selain mengartun rutin di media massa (cetak) sepertinya secara sadar atau tidak sadar mereka sedang berupaya “back to basic”. Bagaimana tidak? Sebelum seni gambar/grafis lucu yang bernama kartun ditemukan atau disepakati termoniloginya, sebenarnya sebagian pelukis Eropa khususnya, telah melakukannya. Mereka melukis (tentu dengan media dan alat lukis sebagaimana yang kita pahami saat ini) baik wajah seseorang (dikenal masyarakat luas) atau peristiwa tertentu yang menjadi pusat perhatian masyarakat luas, dengan menyelipkan sindiran atau kritik di dalamnya. Apakah itu artinya para kartunis Indonesia akan melakukan re-aktualisasi warisan “seni” terdahulu karena “gawat”-nya media cetak yang mulai terancam eksistensinya atau ada strategi lain yang diam-diam telah mereka siapkan?
Namun bila dicermati lebih arif, sebenarnya “gerakan” yang bertumpu pada titik gelisah para kartunis Indonesia itu lebih tampak sebagai interval budaya yang penuh tantangan baru. Berubahnya disiplin dari pensil, pena/tinta, cat air dan kertas menuju kanvas, kuas, cat minyak/akrilik adalah revolusi media dan bahan; khususnya bagi yang baru pertama kali memulainya. Oleh karena itu, pilihan yang cukup ekstrem ini bukannya tanpa risiko. Pertanyaannya, benarkah ada kartunis yang belum gaul sama sekali pada media dan bahan seni lukis? Bukankah tak kurang pula pelukis Indonesia yang juga cukup mahir bekerja dan berpikir bak seorang kartunis? Lihat saja lukisan-lukisan karya Heri Dono, Eddie Hara, Erica, dan I Nyoman Masriadi, sekadar menyebut nama. Bukankah karya-karya mereka juga cukup mengandung “ruh” kartun atau setidaknya bernuansa kritik dan sedikit berbumbu humor.
Sekali layar terkembang, pantang untuk surut kembali. Begitu setidaknya semangat yang merayapi sejumlah kartunis Indonesia yang melakukan uji coba menampilkan karyanya di Bentara Budaya Yogyakarta pada 12-22 Agustus 2010 silam. Dan menurut kritikus seni rupa Kuss Indarto masih banyak kelemahan dalam pengkurasian maupun kualitas kekaryaannya itu sendiri. Kegagalan itu tentu bukan akhir segala-galanya. Keinginan sejumlah kartunis untuk melakukan “piknik” atau penjelajahan media, di luar media lazim yang biasa mereka lakukan bukan sesuatu yang menyimpang atau menyalahi adat. Para kartunis juga punya hak untuk melakukan napak tilas estetika (karena nenek moyang mereka juga para pelukis bengal atau badung), sambil menjaring “mimpi” tentang kemungkinan peluang menjajaki “pasar” seni rupa yang selama ini belum menyentuh karya seni kartun secara terbuka dan legitimated.
Darminto M Sudarmo, peminat seni kartun dan seni lukis.
Catatan:
Keterangan gambar sebagai referensi atau untuk dimuat, bila dirasa perlu:
1. Silvester Stalone, karya Sebastian Kruger, akrilik di atas kanvas (sumber: google.com)
2. Substance and Shadow, karya John Leech (sumber: google.com)
3. Caricature on Canvas karya Djoko Susilo (sumber: Document djokosusilo@2009)
4. Lelucon Pejabat karya Ifoed, cat minyak di atas kanvas (Sumber: Dok. Ifoed)
Sekadar Info dari Admin:
ReplyDeleteAlamat URL untuk Kolom Humor sejak 10 Oktober 2010 adalah: kolomhumor.blogspot.com
Harap maklum dan terimakasih.