Oleh: Darminto M. Sudarmo
Ya, namanya juga pelawak. Orang maklum saja kalau posisinya sering dikait-kaitkan dengan hal yang aneh-aneh. Aneh di sini, tentu saja hal yang oleh masyarakat umum dianggap beda. Tidak lazim.
Lalu apanya yang beda dan tidak lazim itu? Tentu saja kehidupan dan cara kerjanya. Kehidupan pelawak, seperti halnya seniman lain, sebagian besar waktunya diisi oleh kegelisahan yang tak kunjung berhenti. Gelisah karena hari-harinya diisi oleh kekhawatiran kalau dirinya sampai kehabisan gagasan lucu. Gelisah dan khawatir kalau tampil di pertunjukan tidak sanggup membuat orang lain tertawa.
Maka gampangnya ngomong, kalau sampai pelawak tidak dapat melucu lagi, berarti ia sudah habis. Mati, dalam keadaan masih hidup. Jika pelawak sudah “mati” seperti itu, ia dianggap tidak ada lagi. Lewat dari percaturan publik dan orang pun lalu melupakannya.
Modal Daya Cipta
Padahal, kegelisahan atau kekuatan negatif semacam ini hampir “menimpa” dan dimiliki semua seniman kreatif. Menurut penyair J. Keats, justru kegelisahan semacam itulah yang menjadi modal suburnya daya cipta bagi sang seniman. Pelawak yang tak pernah khawatir bila penampilannya tidak lucu, justru mengundang tanda tanya publik, apakah dia sudah mandeg atau sudah masuk kategori bebal tanggung jawab ke-“seni”-annya.
Meskipun demikian, ada juga pertanyaan rada-rada jahil, apa benar, kegelisahan pelawak terjadi karena melulu tanggung jawab kreativitas dan daya cipta? Tak adakah penyebab lain yang justru jauh dari konteks itu? Bagaimanapun, karena pelawak juga manusia, yang di dalam dirinya memiliki tipikalisasi yang juga rada rumit -- setidaknya ia adalah agen dari berbagai kepentingan -- bukan tak mungkin kegelisahan terjadi karena alasan-alasan di luar konteks kreativitas dan daya cipta.
Salah satu yang agak dekat dengan kenyataan, misalnya: sindrom kejayaan masa lalu; paranoia oleh kecenderungan yang berubah begitu cepat, dan lain-lain. Dan “kondisi” seperti itu tampaknya lebih cocok bila kejahilan dialamatkan pada sosok sementara pelawak masa kini – khususnya yang mengalami masa booming lawak sebagai industri budaya, sehingga fokus perhatiannya lebih tertumpu pada survival tidaknya mejeng di televisi, sering tidaknya panggilan job untuk pentas di ranah off air.. Kekecualian jelas ada, pada sosok semacam Bing Slamet, S. Bagyo, Benyamin S, Johnny Gudel, Basiyo, Kang Ibing dan beberapa pelawak senior yang intensitas dan dedikasi berkeseniannya tak diragukan lagi.
Di Jepang pernah ada grup komedian yang tergabung dalam “Kato Ken Show” dan sangat digemari pemirsa dari segmen keluarga (ayah, ibu, anak dan pembantu). Sebuah segmen kategori “emas” karena cakupan pemirsanya tergolong luas baik dari segi usia, pendidikan, ekonomi, wawasan dan citarasa (daya tangkap). Grup ini bertahan menghibur pemirsa di televisi hingga tak kurang dari 32 tahun. Dapat dihitung sendiri berapa episode bila dalam seminggu setidaknya mereka tampil dua kali. Tetapi karena mereka menyadari secara usia (fisik) makin uzur, maka dengan penuh rasa sesal mereka meminta maaf pada pemirsa untuk diizinkan mengundurkan diri dari acara tersebut. Mereka ingin istirahat dan menikmati hari tua tanpa stres/gelisah (berpikir tentang kreasi dan isi) karena tuntutan curiosity dan surprising dalam produk humor secara umum memang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Ini sungguh kontras dengan kenyataan yang ada dengan pelawak kita, dengan televisi kita. Beberapa pelawak yang dulu pernah mengalami masa emas, masa puncak popularitas tapi kini jarang muncul di televisi, kendati secara usia masuk golongan “sangat senior”, tetap bersemangat mengincar bahwa tampil di sebuah acara televisi merupakan tolok ukur eksistensi kendati kecenderungan selera broadcast kita sudah sangat berbeda. Sementara padatnya job di ranah off air dianggap sebagai tolok ukur ekonomi. Padahal bila para pelawak sangat senior dan senior dibantu para yunior mau menyibukkan diri dalam konteks kesenian atau dedikasi budaya yang bermanfaat bagi banyak orang, tentu itu sebuah kabar yang sangat simpatik dan dapat meninggalkan jejak sejarah yang gaungnya akan melintasi ruang dan waktu. Melampaui tahun dan abad di masa mendatang.
Ritual Seni Humor
Salah satu gagasan yang sederhana, misalnya, setahun sekali mengadakan “ritual” seni berupa persembahan pelawak untuk Indonesia. Para pelawak Indonesia dari yang biasa-biasa hingga yang sangat popular bergabung kemudian mempersembahkan performance berbasis humor (baca: seni humor), di mana pertunjukan mengakomodasi berbagai bentuk kreasi humor dalam pengertian sekreatif-kreatifnya. Dari eksperimentasi hingga yang “revolusioner” sekalipun; yang jelas, sangat berbeda dari sekadar performance di televisi yang penuh penjara rating dan klaim-klaim bisnis semata.
Dalam konteks pertunjukan seni humor di atas, bukankah para pelawak dapat bekerjasama dengan unsur-unsur kreatif dari luar. Baik itu kaitannya dengan konsep pertunjukan, skenario, penyutradaraan hingga ke teknis pemanggungan, pencahayaan, property dan lain-lain. Akan semakin seru lagi, bila dapat mencapai kondisi “humor total dan total humor”, seperti yang seringkali diidamkan almarhum Arwah Setiawan namun hingga kini, belum pernah sekalipun insan humor kita mampu mewujudkannya.
Pengertian humor total dan total humor bukan berarti ramai atau kolosalnya peserta pertunjukan, melainkan sebuah konsep pertunjukan yang seluruh elemennya (multimedia) dapat berkomunikasi secara kocak dengan penontonnya. Dari pemain, musik, pencahayaan, property, setting, penonton hingga segala aspek yang berkemungkinan digarap.
Salah satu contoh, misalnya ada seorang penonton begitu duduk di kursi yang tersedia, kursi yang diduduki itu lalu berteriak, “Aduuuuuuuuuh sakiiiiiit!!!” tentu saja sensasi lucu akan segera terbangun di ruangan itu. Kejutan-kejutan lain, sebelum pertunjukan berlangsung dapat dieksplorasi untuk membangun kondisi “total” yang memang diharapkan bersama. Bahkan kalau perlu sampai di titik akhir setelah pertunjukan, yaitu ketika para penonton bergegas ke tempat parkir, kejutan-kejutan kocak masih mungkin digarap sehingga penonton benar-benar memperoleh kesan mendalam atas pertunjukan dan persembahan para pelawak pada seni humor tersebut. Semakin mendalam lagi, jika event semacam ini dilakukan secara periodic, misalnya setahun sekali. Bukankah persoalan biaya akan tercover dengan sendirinya jika bentuk acaranya memang punya selling point memadai. Para sponsor tentu akan bersemangat berpartisipasi karena alasan-alasan yang memang logis tadi: menarik dan sensasional.
Gagasan lain yang juga memerlukan campur tangan para pelawak sendiri dan dapat menjadi agenda jangka panjang adalah: pendirian museum lawak Indonesia, penerbitan buku semacam “Apa Siapa Pelawak Indonesia”, pembuatan film dokumenter tentang profil dan proses kreatif pelawak Indonesia dan lain-lain aktivitas yang dapat memberikan peninggalan serta jejak bagi sejarah perlawakan Indonesia.
Apakah semua itu akan dimulai dan diorganisasi oleh PASKI (Persatuan Seniman Komedi Indonesia) atau oleh pihak manapun tidak menjadi penting benar; hal yang paling penting justru visi semacam itu seyogianya datang dan dimulai dari individu yang bernama pelawak. Atau setidaknya para pelawak perlu melibatkan diri dalam pemikiran dan pelaksanaan aktivitas terse but, yang pada akhirnya juga menyangkut kepentingan pelawak dan seni lawak Indonesia dalam pengertian seluas-luasnya.
Inspirasi Ronaldinho dan Bill Gates
Tentang kemakmuran yang dicapai sebagian besar pelawak Indonesia karena situasi booming industri budaya semacam itu, sudah banyak diketahui masyarakat; tetapi langkah “balas budi” pelawak kita kepada masyarakatnya tampak belum serius benar. Jangankan “berderma” untuk pihak lain, untuk merealisasi produk-produk yang terkait dengan kepentingan seni lawak Indonesia sendiri juga kurang menggugah rasa kesadaran mereka akan pentingnya dokumentasi, pendidikan dan sejenisnya.
Sebut saja misalnya: pembuatan: buku “Apa Siapa Pelawak Indonesia”, Profil Pelawak Indonesia dalam paket audio-video, persembahan pertunjukan kreatif setiap tahun sekali, pendirian sekolah atau semacam college bidang perlawakan dan lain-lain gerakan yang sifatnya menggugah terwujudnya rekaman jejak sejarah dan regenrasi bagi kelangsungan seni lawak di masa-masa mendatang.
Saya yakin kita semua pernah mendengar apa yang dilakukan pemain bola asal Brazil, Ronaldhino, yang menyisihkan sebagian “harta”-nya untuk mendirikan sekolah bola gratis bagi anak-anak miskin di negara tersebut. Sekolah itu untuk mengantisipasi agar reputasi Brazil sebagai negara yang memiliki kredibilitas tinggi di dunia, tetap terjaga; selain menciptakan peluang yang adil bagi siapa saja; khususnya anak-anak miskin yang gampang tersisih karena pendidikan umum yang ada lebih memihak pada mereka yang orang tuanya berduit.
Langkah Ronaldinho dapat dikatakan sebagai langkah religius. Pemikiran itu muncul karena Ronaldinho menyadari bahwa seni bola di Brazil bukan milik dia pribadi, bukan selesai pada pencapaian dirinya saja; tetapi masih sangat panjang, bahkan tak dapat diukur dengan konteks ruang dan waktu.
Di luar dugaan, Bill Gates, bos Microsoft yang pada awalnya dijustifikasi sebagai sosok yang sangat ketat dalam mempraktikkan “hukum” kapitalisme lewat penjualan software-software-nya, kini setelah mencapai tahapan religiusitasnya, justru menjadi salah satu tokoh yang paling gencar melakukan gerakan sosial berupa pemberian bantuan kepada dunia pendidikan dalam pengertian seluas-luasnya. Dalam bahasa yang sederhana, dia merasa berkwajiban untuk membalas budi kepada masyarakat, karena karya dan kerjanya tak akan berarti apa-apa tanpa apresiasi dan partisipasi masyarakat.
Sebagai bukti dari komitmennya ia memulai dari memotong penghasilannya sendiri yang diperoleh dari perusahaan Microsoft; bila tak salah kutip sekitar: 80 hingga 90%. yang dianggarkan untuk bidang pendidikan.
Pertanyaannya, ada relasi konteks apa antara Ronaldinho, Bill Gates dan Pelawak Indonesia? Tentu saja ada. Bahkan Anda sendiri sudah dapat menerkanya; terutama ketika sebuah sosok sukses atau pernah sukses yang berlumur kemakmuran dan popularitas, pada akhirnya akan berada di situasi yang sangat menggelisahkan. Kegelisahan yang seperti gangguan, dan obatnya tak ada lain selain masuk ke gerbang religiusitas.
Di gerbang itulah, para insan gelisah itu: termasuk para pelawak Indonesia yang sukses dan makmur dapat membasuh “dosa sukses”-nya dengan cara melakukan tindakan sederhana berupa berbagi kebahagiaan dan kesempatan. Berbagi kemungkinan bagi bakat-bakat baru yang mustahil dapat muncul bila tanpa campur tangan donasi sosok-sosok yang telah atau sedang sukses dan makmur, seperti Ronaldinho dan Bill Gates, misalnya. Bukankah gerakan mereka cukup menyentuh dan inspiratif bagi para pelawak Indonesia (termasuk kia) di tengah negeri ini dilanda prahara kemaruknya sementara pejabat gemblung yang berlomba menjarah harta negara demi kemakmuran dan kemulyaan semu diri sendiri. Tanpa rasa malu lagi. Sungguh, sangat menggemaskan!
Darminto M. Sudarmo, penulis dan pemerhati humor.
Ya, namanya juga pelawak. Orang maklum saja kalau posisinya sering dikait-kaitkan dengan hal yang aneh-aneh. Aneh di sini, tentu saja hal yang oleh masyarakat umum dianggap beda. Tidak lazim.
Lalu apanya yang beda dan tidak lazim itu? Tentu saja kehidupan dan cara kerjanya. Kehidupan pelawak, seperti halnya seniman lain, sebagian besar waktunya diisi oleh kegelisahan yang tak kunjung berhenti. Gelisah karena hari-harinya diisi oleh kekhawatiran kalau dirinya sampai kehabisan gagasan lucu. Gelisah dan khawatir kalau tampil di pertunjukan tidak sanggup membuat orang lain tertawa.
Maka gampangnya ngomong, kalau sampai pelawak tidak dapat melucu lagi, berarti ia sudah habis. Mati, dalam keadaan masih hidup. Jika pelawak sudah “mati” seperti itu, ia dianggap tidak ada lagi. Lewat dari percaturan publik dan orang pun lalu melupakannya.
Modal Daya Cipta
Padahal, kegelisahan atau kekuatan negatif semacam ini hampir “menimpa” dan dimiliki semua seniman kreatif. Menurut penyair J. Keats, justru kegelisahan semacam itulah yang menjadi modal suburnya daya cipta bagi sang seniman. Pelawak yang tak pernah khawatir bila penampilannya tidak lucu, justru mengundang tanda tanya publik, apakah dia sudah mandeg atau sudah masuk kategori bebal tanggung jawab ke-“seni”-annya.
Meskipun demikian, ada juga pertanyaan rada-rada jahil, apa benar, kegelisahan pelawak terjadi karena melulu tanggung jawab kreativitas dan daya cipta? Tak adakah penyebab lain yang justru jauh dari konteks itu? Bagaimanapun, karena pelawak juga manusia, yang di dalam dirinya memiliki tipikalisasi yang juga rada rumit -- setidaknya ia adalah agen dari berbagai kepentingan -- bukan tak mungkin kegelisahan terjadi karena alasan-alasan di luar konteks kreativitas dan daya cipta.
Salah satu yang agak dekat dengan kenyataan, misalnya: sindrom kejayaan masa lalu; paranoia oleh kecenderungan yang berubah begitu cepat, dan lain-lain. Dan “kondisi” seperti itu tampaknya lebih cocok bila kejahilan dialamatkan pada sosok sementara pelawak masa kini – khususnya yang mengalami masa booming lawak sebagai industri budaya, sehingga fokus perhatiannya lebih tertumpu pada survival tidaknya mejeng di televisi, sering tidaknya panggilan job untuk pentas di ranah off air.. Kekecualian jelas ada, pada sosok semacam Bing Slamet, S. Bagyo, Benyamin S, Johnny Gudel, Basiyo, Kang Ibing dan beberapa pelawak senior yang intensitas dan dedikasi berkeseniannya tak diragukan lagi.
Di Jepang pernah ada grup komedian yang tergabung dalam “Kato Ken Show” dan sangat digemari pemirsa dari segmen keluarga (ayah, ibu, anak dan pembantu). Sebuah segmen kategori “emas” karena cakupan pemirsanya tergolong luas baik dari segi usia, pendidikan, ekonomi, wawasan dan citarasa (daya tangkap). Grup ini bertahan menghibur pemirsa di televisi hingga tak kurang dari 32 tahun. Dapat dihitung sendiri berapa episode bila dalam seminggu setidaknya mereka tampil dua kali. Tetapi karena mereka menyadari secara usia (fisik) makin uzur, maka dengan penuh rasa sesal mereka meminta maaf pada pemirsa untuk diizinkan mengundurkan diri dari acara tersebut. Mereka ingin istirahat dan menikmati hari tua tanpa stres/gelisah (berpikir tentang kreasi dan isi) karena tuntutan curiosity dan surprising dalam produk humor secara umum memang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Ini sungguh kontras dengan kenyataan yang ada dengan pelawak kita, dengan televisi kita. Beberapa pelawak yang dulu pernah mengalami masa emas, masa puncak popularitas tapi kini jarang muncul di televisi, kendati secara usia masuk golongan “sangat senior”, tetap bersemangat mengincar bahwa tampil di sebuah acara televisi merupakan tolok ukur eksistensi kendati kecenderungan selera broadcast kita sudah sangat berbeda. Sementara padatnya job di ranah off air dianggap sebagai tolok ukur ekonomi. Padahal bila para pelawak sangat senior dan senior dibantu para yunior mau menyibukkan diri dalam konteks kesenian atau dedikasi budaya yang bermanfaat bagi banyak orang, tentu itu sebuah kabar yang sangat simpatik dan dapat meninggalkan jejak sejarah yang gaungnya akan melintasi ruang dan waktu. Melampaui tahun dan abad di masa mendatang.
Ritual Seni Humor
Salah satu gagasan yang sederhana, misalnya, setahun sekali mengadakan “ritual” seni berupa persembahan pelawak untuk Indonesia. Para pelawak Indonesia dari yang biasa-biasa hingga yang sangat popular bergabung kemudian mempersembahkan performance berbasis humor (baca: seni humor), di mana pertunjukan mengakomodasi berbagai bentuk kreasi humor dalam pengertian sekreatif-kreatifnya. Dari eksperimentasi hingga yang “revolusioner” sekalipun; yang jelas, sangat berbeda dari sekadar performance di televisi yang penuh penjara rating dan klaim-klaim bisnis semata.
Dalam konteks pertunjukan seni humor di atas, bukankah para pelawak dapat bekerjasama dengan unsur-unsur kreatif dari luar. Baik itu kaitannya dengan konsep pertunjukan, skenario, penyutradaraan hingga ke teknis pemanggungan, pencahayaan, property dan lain-lain. Akan semakin seru lagi, bila dapat mencapai kondisi “humor total dan total humor”, seperti yang seringkali diidamkan almarhum Arwah Setiawan namun hingga kini, belum pernah sekalipun insan humor kita mampu mewujudkannya.
Pengertian humor total dan total humor bukan berarti ramai atau kolosalnya peserta pertunjukan, melainkan sebuah konsep pertunjukan yang seluruh elemennya (multimedia) dapat berkomunikasi secara kocak dengan penontonnya. Dari pemain, musik, pencahayaan, property, setting, penonton hingga segala aspek yang berkemungkinan digarap.
Salah satu contoh, misalnya ada seorang penonton begitu duduk di kursi yang tersedia, kursi yang diduduki itu lalu berteriak, “Aduuuuuuuuuh sakiiiiiit!!!” tentu saja sensasi lucu akan segera terbangun di ruangan itu. Kejutan-kejutan lain, sebelum pertunjukan berlangsung dapat dieksplorasi untuk membangun kondisi “total” yang memang diharapkan bersama. Bahkan kalau perlu sampai di titik akhir setelah pertunjukan, yaitu ketika para penonton bergegas ke tempat parkir, kejutan-kejutan kocak masih mungkin digarap sehingga penonton benar-benar memperoleh kesan mendalam atas pertunjukan dan persembahan para pelawak pada seni humor tersebut. Semakin mendalam lagi, jika event semacam ini dilakukan secara periodic, misalnya setahun sekali. Bukankah persoalan biaya akan tercover dengan sendirinya jika bentuk acaranya memang punya selling point memadai. Para sponsor tentu akan bersemangat berpartisipasi karena alasan-alasan yang memang logis tadi: menarik dan sensasional.
Gagasan lain yang juga memerlukan campur tangan para pelawak sendiri dan dapat menjadi agenda jangka panjang adalah: pendirian museum lawak Indonesia, penerbitan buku semacam “Apa Siapa Pelawak Indonesia”, pembuatan film dokumenter tentang profil dan proses kreatif pelawak Indonesia dan lain-lain aktivitas yang dapat memberikan peninggalan serta jejak bagi sejarah perlawakan Indonesia.
Apakah semua itu akan dimulai dan diorganisasi oleh PASKI (Persatuan Seniman Komedi Indonesia) atau oleh pihak manapun tidak menjadi penting benar; hal yang paling penting justru visi semacam itu seyogianya datang dan dimulai dari individu yang bernama pelawak. Atau setidaknya para pelawak perlu melibatkan diri dalam pemikiran dan pelaksanaan aktivitas terse but, yang pada akhirnya juga menyangkut kepentingan pelawak dan seni lawak Indonesia dalam pengertian seluas-luasnya.
Inspirasi Ronaldinho dan Bill Gates
Tentang kemakmuran yang dicapai sebagian besar pelawak Indonesia karena situasi booming industri budaya semacam itu, sudah banyak diketahui masyarakat; tetapi langkah “balas budi” pelawak kita kepada masyarakatnya tampak belum serius benar. Jangankan “berderma” untuk pihak lain, untuk merealisasi produk-produk yang terkait dengan kepentingan seni lawak Indonesia sendiri juga kurang menggugah rasa kesadaran mereka akan pentingnya dokumentasi, pendidikan dan sejenisnya.
Sebut saja misalnya: pembuatan: buku “Apa Siapa Pelawak Indonesia”, Profil Pelawak Indonesia dalam paket audio-video, persembahan pertunjukan kreatif setiap tahun sekali, pendirian sekolah atau semacam college bidang perlawakan dan lain-lain gerakan yang sifatnya menggugah terwujudnya rekaman jejak sejarah dan regenrasi bagi kelangsungan seni lawak di masa-masa mendatang.
Saya yakin kita semua pernah mendengar apa yang dilakukan pemain bola asal Brazil, Ronaldhino, yang menyisihkan sebagian “harta”-nya untuk mendirikan sekolah bola gratis bagi anak-anak miskin di negara tersebut. Sekolah itu untuk mengantisipasi agar reputasi Brazil sebagai negara yang memiliki kredibilitas tinggi di dunia, tetap terjaga; selain menciptakan peluang yang adil bagi siapa saja; khususnya anak-anak miskin yang gampang tersisih karena pendidikan umum yang ada lebih memihak pada mereka yang orang tuanya berduit.
Langkah Ronaldinho dapat dikatakan sebagai langkah religius. Pemikiran itu muncul karena Ronaldinho menyadari bahwa seni bola di Brazil bukan milik dia pribadi, bukan selesai pada pencapaian dirinya saja; tetapi masih sangat panjang, bahkan tak dapat diukur dengan konteks ruang dan waktu.
Di luar dugaan, Bill Gates, bos Microsoft yang pada awalnya dijustifikasi sebagai sosok yang sangat ketat dalam mempraktikkan “hukum” kapitalisme lewat penjualan software-software-nya, kini setelah mencapai tahapan religiusitasnya, justru menjadi salah satu tokoh yang paling gencar melakukan gerakan sosial berupa pemberian bantuan kepada dunia pendidikan dalam pengertian seluas-luasnya. Dalam bahasa yang sederhana, dia merasa berkwajiban untuk membalas budi kepada masyarakat, karena karya dan kerjanya tak akan berarti apa-apa tanpa apresiasi dan partisipasi masyarakat.
Sebagai bukti dari komitmennya ia memulai dari memotong penghasilannya sendiri yang diperoleh dari perusahaan Microsoft; bila tak salah kutip sekitar: 80 hingga 90%. yang dianggarkan untuk bidang pendidikan.
Pertanyaannya, ada relasi konteks apa antara Ronaldinho, Bill Gates dan Pelawak Indonesia? Tentu saja ada. Bahkan Anda sendiri sudah dapat menerkanya; terutama ketika sebuah sosok sukses atau pernah sukses yang berlumur kemakmuran dan popularitas, pada akhirnya akan berada di situasi yang sangat menggelisahkan. Kegelisahan yang seperti gangguan, dan obatnya tak ada lain selain masuk ke gerbang religiusitas.
Di gerbang itulah, para insan gelisah itu: termasuk para pelawak Indonesia yang sukses dan makmur dapat membasuh “dosa sukses”-nya dengan cara melakukan tindakan sederhana berupa berbagi kebahagiaan dan kesempatan. Berbagi kemungkinan bagi bakat-bakat baru yang mustahil dapat muncul bila tanpa campur tangan donasi sosok-sosok yang telah atau sedang sukses dan makmur, seperti Ronaldinho dan Bill Gates, misalnya. Bukankah gerakan mereka cukup menyentuh dan inspiratif bagi para pelawak Indonesia (termasuk kia) di tengah negeri ini dilanda prahara kemaruknya sementara pejabat gemblung yang berlomba menjarah harta negara demi kemakmuran dan kemulyaan semu diri sendiri. Tanpa rasa malu lagi. Sungguh, sangat menggemaskan!
Darminto M. Sudarmo, penulis dan pemerhati humor.
0 comments:
Post a Comment