Museum Kartun Indonesia Bali
Oleh Darminto M Sudarmo
Seni kartun di Indonesia, sejujurnya, tetap belum dapat melepaskan dirinya dari seni grafis. Kalaupun dalam proses perjalanannya sesekali ia punya upaya geliat diri lewat eksperimentasi dan eksplorasi, faktanya upaya itu hanya merupakan riak-riak kecil yang tak menerbitkan gaung signifikan bagi para kartunis Indonesia maupun apresian pada umumnya.
Ada sederetan wacana tentang kartun tiga dimensi, kartun instalasi, kartun kontemporer, dan lain-lain, namun faktanya ia hanya muncul sesaat, sesudah itu lalu menguap begitu saja. Apalagi wacana-wacana yang muncul itu pada tingkat obrolan warung kopi. Belum pernah ada seminar serius bertema sebagaimana disebutkan di atas dan mengundang pembicara-pembicara ahli yang memiliki kompentensi memadai tentang hal tersebut.
Pada akhirnya, arus yang kemudian dianggap dominan mendapatkan tempat dan apresiasi adalah kartun opini (baca: editorial cartoon, political cartoon) dan hanya sedikit apresiasi untuk kartun-kartun lelucon (sosial-budaya) yang notabene secara teknis digambar secara “kodian” dan miskin detail. Dari aspek gagasan yang ditawarkan pun tidak melewati perenungan mendalam, sehingga sebagian besar kartunis lelucon (gag cartoonist) “dituduh” hanya mengolah tema atau topik secara permukaan dengan muatan pesan berkutat dari itu ke itu saja.
Sejujurnya, secara implisit kegenitan seperti itu terasa dari semangat penyajian materi dari Museum Kartun Indonesia Bali yang soft opening-nya dilakukan pertengahan Maret 2008 lalu. Spirit itu seakan ingin mendeklarasikan “ideologi estetika” bahwa kartun yang tidak digambar dengan “indah” dan memuat pesan politis yang “heboh”, maka ia bukan kartun yang layak diperhitungkan dalam peta sejarah kartun di Indonesia. Dengan demikian jika suatu karya kartun tidak mendapatkan apresiasi para pemegang otoritas Museum Kartun Indonesia Bali, maka sudah dengan sendirinya para kartunisnya juga kurang mendapatkan perhatian, apalagi dalam percaturan dan pemetaan apa-siapa kartunis Indonesia.
Melalui kesempatan menulis sebagian dari isi katalog museum kartun tersebut, saya sebagai pihak yang melihat dari sisi “luar”, mencoba menyajikan data dan fakta atau informasi sekilas tentang kartun dan kartunis Indonesia, sejauh yang dapat saya akses, sebagaimana tertuang di bawah ini.
Oleh Darminto M Sudarmo
Seni kartun di Indonesia, sejujurnya, tetap belum dapat melepaskan dirinya dari seni grafis. Kalaupun dalam proses perjalanannya sesekali ia punya upaya geliat diri lewat eksperimentasi dan eksplorasi, faktanya upaya itu hanya merupakan riak-riak kecil yang tak menerbitkan gaung signifikan bagi para kartunis Indonesia maupun apresian pada umumnya.
Ada sederetan wacana tentang kartun tiga dimensi, kartun instalasi, kartun kontemporer, dan lain-lain, namun faktanya ia hanya muncul sesaat, sesudah itu lalu menguap begitu saja. Apalagi wacana-wacana yang muncul itu pada tingkat obrolan warung kopi. Belum pernah ada seminar serius bertema sebagaimana disebutkan di atas dan mengundang pembicara-pembicara ahli yang memiliki kompentensi memadai tentang hal tersebut.
Pada akhirnya, arus yang kemudian dianggap dominan mendapatkan tempat dan apresiasi adalah kartun opini (baca: editorial cartoon, political cartoon) dan hanya sedikit apresiasi untuk kartun-kartun lelucon (sosial-budaya) yang notabene secara teknis digambar secara “kodian” dan miskin detail. Dari aspek gagasan yang ditawarkan pun tidak melewati perenungan mendalam, sehingga sebagian besar kartunis lelucon (gag cartoonist) “dituduh” hanya mengolah tema atau topik secara permukaan dengan muatan pesan berkutat dari itu ke itu saja.
Sejujurnya, secara implisit kegenitan seperti itu terasa dari semangat penyajian materi dari Museum Kartun Indonesia Bali yang soft opening-nya dilakukan pertengahan Maret 2008 lalu. Spirit itu seakan ingin mendeklarasikan “ideologi estetika” bahwa kartun yang tidak digambar dengan “indah” dan memuat pesan politis yang “heboh”, maka ia bukan kartun yang layak diperhitungkan dalam peta sejarah kartun di Indonesia. Dengan demikian jika suatu karya kartun tidak mendapatkan apresiasi para pemegang otoritas Museum Kartun Indonesia Bali, maka sudah dengan sendirinya para kartunisnya juga kurang mendapatkan perhatian, apalagi dalam percaturan dan pemetaan apa-siapa kartunis Indonesia.
Melalui kesempatan menulis sebagian dari isi katalog museum kartun tersebut, saya sebagai pihak yang melihat dari sisi “luar”, mencoba menyajikan data dan fakta atau informasi sekilas tentang kartun dan kartunis Indonesia, sejauh yang dapat saya akses, sebagaimana tertuang di bawah ini.
Pertama, dalam periode awal ini telah berhasil dikumpulkan kartun-kartun karya kartunis dari seluruh Indonesia yang memiliki nilai dan momentum tersendiri. Nilai, artinya kartun tersebut punya bobot dan makna pada waktu karya-karya tersebut dimuat di media cetak Indonesia. Momentum, artinya kartun tersebut pernah memiliki riwayat atau track record baik itu terkait karena menang di ajang kompetisi nasional maupun internasional; atau dapat pula, karena kartun itu pernah terkait dengan masalah-masalah kontroversial: misalnya pernah ditolak untuk dimuat oleh redaksi sehingga si kartunisnya jadi uring-uringan atau patah arang. Ada pula riwayat kartun yang disomasi (dituntut) oleh pihak lain, sehingga jantung si kartunisnya jadi berdebar seribu degub: mungkin si kartunis beruntung kalau si penuntut nau lewat jalur hukum, kalau main hakim sendiri, gawat, kan? Pendek kata, kartun itu menjadi istimewa karena persoalan heritage-nya tadi.
Kedua, dari ratusan, bahkan ribuan koleksi museum yang telah didata, terjaring sejumlah karya master piece dari sejumlah maestro kartunis Indonesia: sebagian di antaranya bahkan, masih hidup dan sehat wal afiat, masih giat berkarya atau mengartun. Mereka antara lain: GM Sudarta (Harian Kompas); Pramono R. Pramoedjo (Harian Sinar Harapan), Dwi Koendoro (Panji Koming, Kompas); Pri S (Majalah Tempo), T. Sutanto (Harian Pikiran Rakyat, Harian Jakarta Post), dan Augustin Sibarani dengan inisial Srani (d/h Kisah, Aneka, Bintang Timur, Pantau dan kini Majalah Tapian). Para kartunis seangkatan Sibarani yang juga menonjol namanya saat itu (antara tahun 1950-1957) adalah: Ramelan (Suluh Indonesia) dan S. Soeharto (Indonesia Raya). Dan yang paling mencengangkan kita semua adalah seorang kartunis yang bernama Thomas Lionar. Kartunis asal Sungailiat, Bangka, ini bergabung dengan Harian Suara Pembaruan dalam rentang waktu yang sangat singkat: pertengahan 1987 hingga 1990 (meninggal dunia). Ya, meninggal dalam usia muda. Meskipun demikian, meskipun Thomas berkarya dalam waktu sangat singkat namun popularitas dan tawaran gagasannya sebagai karikaturis sangat membekas dalam benak masyarakat. Ada yang memberinya julukan “Si Kartunis Meteor”. Sekali muncul langsung bersinar kemudian lenyap menjadi debu. Beruntung kartunis Pramono yang notabene menjadi “kakak asuh” Thomas Lionar berkesempatan menyelamatkan sebagian dari karya-karya terbaik Thomas Lionar, sehingga pengunjung museum juga dapat ikut menikmatinya.
Ketiga, pengelola museum sedang terus berupaya meningkatkan koleksinya dengan memburu kartun-kartun yang pernah terbit tahun-tahun antara 1940 – 1950-an. Disebutkan pada tahun-tahun itu ada seorang kartunis bernama samaran Sumini, yang di kemudian hari orang baru sadar, ternyata Sumini itu adalah Ir. Soekarno alias Bung Karno. Banyak pula orang dibuat cingak oleh sejarah. Sebutlah nama Abdulsalam. Pada masanya ia hanya dikenal sebagai pelukis yang karyanya mendapat tempat tersendiri di hati para penggemarnya, tetapi orang jarang yang menyadari kalau ternyata saat itu Abdulsalam juga berkiprah sebagai seorang kartunis yang andal dan diperhitungkan. Fakta ini nyaris seperti kabut yang menyelimuti perjalanan karier seorang manusia bernama Harmoko. Pemahaman masyarakat saat ini tentang Harmoko adalah seorang figur yang pernah menjadi Ketua MPR RI, Ketua Umum Partai Golkar, dan Menteri Penerangan RI pada masa Orde Baru. Mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa Harmoko itu pernah menjadi kartunis di Harian Merdeka dengan inisialnya yang sangat khas: Mok. Ada seorang kartunis hebat asal Bali yang karyanya tergolong fenomenal dan memiliki teknik yang jauh mendahului waktu, namanya Tony Tantra. Sebagai kartunis, lepas dari berbagai persoalan “teknis” yang terkait atau dikait-kaitkan dengan dirinya, Tony sebenarnya sudah berada dalam tataran lapis atas. Entah mengapa ia memilih jalan untuk tidak masuk dalam lingkaran “pergaulan” para kartunis pada umumnya; bahkan sikap itu dia berlakukan kepada sesama kartunis Bali sekalipun. Sayang sekali, Tony Tantra dengan potensi instirinsikk yang sangat besar dan bergelora, kini sulit ditemukan jejaknya. Apalagi sosok dirinya. Bagaimanapun masyarakat tak dapat melupakan ketika tahun 1980-an LHI (Lembaga Humor Indonesia) punya hajat dan mengadakan pameran humor di TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta, Tony Tantra menampilkan karya karikatur (benar-benar deformasi dan distorsi wajah) Menteri Perminyakan Soebroto digambarkan sebagai penjual minyak yang sedang memikul dagangannya, Menteri Pendidikan Daud Joesoef bergigi buku dan lain-lain tokoh, dengan teknik cat semprot yang sangat halus dan sempurna. Bahkan pilihan sudut bidik, komposisi dan gagasan karikaturnya sendiri sungguh luar biasa. Nyaris, semua media cetak di Jakarta saat itu memuat karikatur Tony di halaman depan dan berwarna. Debut itu sungguh sangat memorable dan sulit untuk dilupakan. Ibarat kata, pameran humor saat itu hanya milik Tony, karena ia benar-benar menjadi bintang dan fokus perbincangan para kritikus maupun masyarakat ramai. Tetapi mengapa harus jalan sunyi dan sendiri yang kini dipilih oleh kartunis misterius ini?
Keempat, tahun 1970-an ke atas dapat dikatakan sebagai tahun ladang persemaian yang subur bagi tumbuhnya “tradisi” kartun lelucon. Kalau kartun-kartun yang disebutkan di atas tadi lebih mengerucut pada pengertian kartun opini (editorial cartoon atau political cartoon), maka kartun yang tumbuh mekar pada tahun 1970-an adalah kartun lelucon bertema sosial, situasi sehari-hari atau bahkan yang penting kartun lucu dan menghibur. Pada tahun-tahun 70-an ke atas, Indonesia, khususnya Jakarta, diramaikan terbitnya majalah-majalah Selecta Group; seperti: Selecta, D&R (Detektip & Romantika), Stop (Humor) dan lain-lain. Di halaman majalah-majalah tersebut dimuat secara bertebaran maupun sebagai stopper, kartun-kartun karya Johnny Hidayat, Subro, Oet, FX S Har, Zen, Harry Pede, dan lain-lainnya. Dua nama yang dianggap paling ngetop untuk kartun lelucon (gag cartoon) pada masa itu adalah Johnny Hidayat dan Subro. Nyaris setiap terbit tiada halaman tanpa kartun mereka. Media yang termasuk longgar memuat kartun sejenis adalah Majalah Variasi, Intisari, Varia, Yunior dan Warnasari. Karena kartun-kartun lelucon itu bersifat kontributif, maka banyak kartunis baru atau yang masih tahap belajar berpartisipasi mengirimkan kartun ke media-media tersebut dengan harapan dapat dimuat dan mendapatkan honor yang cukup memadai. Satu hal yang sangat penting untuk dicatat kaitannya dengan fenomena tersebut adalah tumbuhnya keberanian di kalangan pemula untuk mencoba menjadi kartunis dan tersedia wadah untuk menguji kebisaan mereka.
Kelima, bibit-bibit kartunis baru pun akhirnya bermunculan. Tahun 1980-an, kartunis yang dulunya belajar secara otodidak lewat kartun-kartun lelucon yang dimuat di berbagai media cetak, kini telah tumbuh menjadi sosok yang beda dan tak ragu menyebut diri sebagai kartunis. Tolok ukurnya apa? Tentu saja karena kartun-kartun karya mereka juga telah terbukti ikut meramaikan dunia penerbitan di Jakarta maupun kota-kota lain (daerah) yang menyediakan lahan untuk diisi kartun-kartun lelucon. Maka pada periode ini pula muncul semangat untuk tergabung dalam paguyuban atau komunitas. Itu terjadi lantaran secara faktual, jumlah mereka lumayan banyak, dan semangat mereka juga tinggi. Diawali oleh sekelompok kartunis Yogyakarta: Bagong Soebardjo (Inan), Gunawan R, Gunawan P, Gessi Goran, Anwar Rosyid, T. Nurjito, Wachid Elba Beach, Ashady dan lain-lain bertekad mengikat dalam sebuah komunitas yang dinamakan Pakyo (Paguyuban Kartunis Yogyakarta). Deklarasi pendirian Pakyo ini ditandai dengan mengadakan pameran kartun bersama di Galeri Seni Sono, Yogyakarta. Seperti gayung bersambut, pemberitaan mengenai Pakyo ini mengusik dua kartunis Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah; yaitu Odios (Darminto M Sudarmo) dan Itos (Boedy Santosa). Tanpa banyak buang waktu, keduanya lalu bersepakat mendirikan Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu). Tanpa banyak buang waktu pula, keduanya lalu mengadakan pameran kartun bersama di Pendopo Kawedanan Kaliwungu (1982). Situasi menjadi semakin menarik ketika orang menggunjingkan lahirnya Kokkang karena kemunculan Pakyo; sepertinya peristiwa itu terjadi karena pengaruh teori efek domino saja. Tetapi, ada pula yang menyanggahnya. Pakyo lahir karena memang harus lahir. Kokkang lahir karena memang sudah waktunya lahir. Rasanya tak perlu menghubung-hubungkan gejala itu sebagai akibat dari teori efek domino segala. Intinya, kalau itu bisa terjadi karena kebetulan semata. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Pameran kartun Odios dan Itos yang saat itu dihadiri Jaya Suprana dan para kartunis Semarang, benar-benar membuktikan bahwa teori efek domino itu tak dapat dikecilkan artinya; karena kurang dari seminggu setelah mereka mengunjungi pameran di Kaliwungu, kartunis-kartunis Semarang lalu mendeklarasikan berdirinya Secac (Semarang Cartoon Club). Sekelompok kartunis Semarang lainnya yang punya prinsip beda mendirikan Wak Semar (Wadah Kartunis Semarang). Begitulah jejak yang tertinggal. Jejak yang masih dapat dilacak. Bila sesudah itu masyarakat menyaksikan suburnya pendirian paguyuban atau kelompok kartunis lain yang tak kunjung putus tak kunjung rampung, maka tak sulit untuk menarik benang merah korelasi, bahwa itu semua terjadi karena pengaruh virus latah atau trend atau efek domino tadi. Jangan heran kalau Anda kemudian menjumpai nama-nama komunitas kartunis seperti ini: Terkatung (Terminal Kartunis Ungaran), Pakarso (Paguyuban Kartunis Solo), Pecahban (Pecandu Kartunis Bandung), Pokal (Persatuan Kartunis Tegal), Perkara (Persatuan Kartunis Rawamangun), Ikan Asin (Ikatan Kartunis Banjarmasin) dan masih banyak lagi lainnya.
Keenam, paguyuban-paguyuban atau kelompok kartunis yang marak dan bertebaran di berbagai titik lokasi di Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi itu sedikitnya membuahkan hasil berupa kompetisi sehat dan adu kuat dalam survival kelompok atau individu melawan gerusan waktu. Hasilnya lumayan. Alam menyeleksi lewat kebajikannya. Akhirnya muncul nama-nama yang pada saat naskah ini ditulis, mereka masuk kategori second grade. Siap mengintip singgasana maestro yang sebetulnya juga milik mereka sendiri. Siapapun boleh setuju atau tidak setuju, tetapi keputusan menyebut sebagian nama mereka semata-mata karena pertimbangan: prestasi, penilaian kritikus dan pengakuan publik (dalam atau luar negeri). Nama-nama itu misalnya: Jitet Koestana, M. Najib, Jango Pramartha, Thomdean, Benny dan Mice, Tyok, Gessi Goran, Non-O S. Purwono, Gunawan Pranyoto (Goen), Mukhid Rahmat, M. Syaifudin, M. Nasir, Hanung Kuncoro, Koesnan Hoesie, Muslih, Wiednyana, Gun Gun, Gus Martin, Den Dede, Deny Adil, dan banyak lagi yang tak dapat ditulis di sini karena keterbatasan halaman. Bahkan kartunis Pri S (Priyanto Sunarto) yang telah meraih doktor dengan disertasi “Metafora Visual Kartun Editorial pada Surat Kabar Jakarta 1950-1957”, di depan para peminat kartun mengatakan, bahwa Jitet Koestana itu sebenarnya sudah layak dimasukkan ke dalam kategori salah seorang maestro kartunis Indonesia. Pendapat itu sah. Namun proses pengakuan publik, juga memerlukan waktu. Apakah sistem nilai di negeri kita sudah dapat melihat masalah dengan kaca mata adil dan bijak? Misalnya wacana tentang Jitet apakah perlu harus menunggu dia berumur lanjut lebih dulu, kenyataannya, kendati secara usia dia masih tergolong muda namun kualitas karyanya tidak terlalu jauh dari para maestro yang ada saat ini.
Ketujuh, mengingat keterbatasan tempat pajang, akan sangat bijak bila pengelola museum dapat mengakomodasi kartun-kartun bagus yang belum berkesempatan dipajang untuk diolah dalam format digital; baik itu yang berkaitan dengan karya berwujud visual, audio, maupun audio visual. Pelayanan ini berkemungkinan menjembatani kehausan pengunjung agar dapat mengakses informasi seputar kartun (dwimatra maupun trimatra) dan segala bentuk informasi yang berkaitan dengan kartun Indonesia dalam pengertian yang seluas-luasnya. Tengara bahwa Museum Kartun Indonesia Bali memang benar sebagai museum kartun pertama di Asia Tenggara, ia bukan hanya sebuah kebanggaan, tetapi juga sebuah pekerjaan rumah yang cukup panjang dan menantang.***
Darminto M Sudarmo adalah penulis dan pengamat humor.
Tulisan berikut merupakan sebagian dari bahan katalog yang diterbitkan oleh Museum Kartun Indonesia Bali dan telah dilakukan penyuntingan/penulisan ulang oleh penulisnya sendiri.
0 comments:
Post a Comment