Friday, August 08, 2008

Karantina Generasi

Oleh Darminto M. Sudarmo

Pada pagi tanggal 22 Juli kemarin saya mendapat telepon dari Presiden Republik Mimpi. Bunyi telepon itu kurang lebih meminta waktu saya menghadap beliau pada pagi itu juga; padahal Anda tahu saya sedang enak-enaknya menyantap koran pagi dan menyeruput kopi hangat yang membuat sekujur tubuh terasa segar. Telepon Presiden kemarin adalah yang kelima kalinya. Sekian lama itu pula saya selalu beralasan sedang sangat sibuk sehingga belum dapat menghadap beliau.
Tampaknya Presiden tidak putus asa; hari kemarin adalah puncak kegigihannya. Terus terang saya benar-benar tidak tega; sebagai warga negara yang baik saya merasa berkewajiban menghadap Presiden; siapa tahu beliau memang sedang butuh teman curhat atau paling tidak teman diskusi.
Nah begitu saya sampai di ruang dalam Istana Kepresidenan, saya telah disambut hidangan di atas meja. Sarapan pagi ala Istana. Bukan hanya hidangan lezat yang menyambut, Presiden sendiri juga menyambut dengan tergopoh-gopoh; mungkin khawatir saya balik lagi ke rumah, kalau setibanya di dalam istana lalu merasa menjadi Mr. Nobody. Maklum, ruangan yang megah dan berarsitektur kuno dengan kepungan penjagaan yang cukup ketat, bisa-bisa membuat tamu jadi kikuk dan kurang nyaman.
“Sebenarnya, ada hal apa yang membuat Bapak Presiden begitu semangat mengundang saya; padahal semua orang tahu, saya ini tidak punya apa-apa; tidak punya ilmu simpanan apa-apa; lalu apa manfaatnya mengundang saya di tempat yang sangat terhormat ini?” Tanya saya berterus-terang.
“Itulah persoalannya. Semua rakyat Republik Mimpi sudah tahu, bahwa negeri ini sedang berada di bibir jurang. Lengah sedikit, kita semua kecemplung di dalamnya.” Tukas Presiden sambil memperbaiki tempat duduknya.
“Lha hubungannya dengan saya?”
“Ada. Bahkan penting sekali. Sudah begitu banyak analisa dari para pemikir dan cendekiawan yang muncul deras di kolom-kolom surat kabar dan majalah. Bahkan dalam dialog interaktif di TV, tetapi semua hanya menyentuh perkara yang abstrak dan agak sulit dirunut konklusinya. Terus terang perkara korupsi, yang bahkan sudah menjalar-jalar dari Sadang sampai Merak Oke, perkara profesionalisme pelayanan publik yang kedodoran, dosa birokrasi, kriminalitas, pelanggaran HAM, dan lain-lain yang membuat bangsa kita sangat rendah citranya di mata negeri-negeri lain, mana bisa diselamatkan kalau dari 10 orang ahli, 9 di antaranya hanya menjadi pengamat. Menjadi analis….”
“Maunya Anda Tuan Presiden, eh, Bapak Presiden?”
“Mari berbuat. Seperti iklannya anak muda yang jadi ketua umum partai politik itu lho. Jadi, saya melihat Anda punya kans untuk berbuat dalam konteks yang berbeda dan tidak sama dengan semua analisa yang bertebaran itu.”
“Konkretnya?”
“Tolong saya diberi masukan. Masukan yang beda dan baru. Mungkin agak gila, ngaco atau semacamnya. Itu tidak masalah. Yang penting, gagasan itu dapat menciptakan perspektif yang baru. Yang lebih penting lagi, Anda perlu memberikan argumen yang masuk akal di pikiran saya. Mengapa begini, mengapa begitu…”
Saya mengambil sepotong pisang goreng, mengunyahnya sesaat. Lalu menyeruput kopi panas yang rasanya, jujur hati, lebih huenak dan sedap daripada kopi saya di rumah.
“Fakta bahwa banyak birokrasi yang bekerja tidak sesuai dengan fungsinya adalah soal kuno. Itu artinya, pejabat disumpah, bahkan dengan kitab suci, tak ada artinya apa-apa. Hukum dan undang-undang terus ditelurkan, tidak juga ada pengaruhnya pada perilaku kita semua. Pertanyaannya, mengapa kita suka ngomong yang tinggi-tinggi, tapi kelakuannya begitu rendah? Jawabannya ada di budaya kita sendiri: budaya tidak punya rasa malu. Janji pertemuan jam 12 datang jam 13 atau 14, tidak masalah. Tidak ada sanksi moral, tidak ada sanksi sosial. Orang pun menganggap kesepakatan dan komitment hanya penghias bibir. Janji mau jadi pimpinan yang oke punya, eh, yang terjadi justru sebaliknya. Janji tidak akan korupsi eh, malah nguras uang negara sebanyak-banyaknya. Bagaimana tidak? Lha wong nyuri duit milyaran dan jutaan hukumannya sama, maka lebih baik nyuri yang banyak sekalian.
“Intinya, antara omongan dan kelakuan kita boleh tidak sama. Boleh tidak malu. Boleh menganggap angin lalu dan tak lama lagi toh masyarakat segera melupakannya. Kalau anak-anak, calon generasi kita menonton kenyataan seperti itu, bagaimana mereka tidak bingung membedakan mana yang salah, mana yang benar. Saran Romo Mudji sepertinya mudah sekali, bereskan dulu birokrasi dan ganti dengan anak-anak muda yang idealis supaya keadaan segera berubah. Didik anak-anak sejak dini agar dapat membedakan mana yang benar mana yang salah. Tidak salah. Tapi mereka akan kembali menyaksikan orang tua mereka yang tak bisa jadi teladan. Tak dapat dipercaya omongannya. Sehingga, bukan mustahil bila mantan mahasiswa pun setelah jadi pejabat toh lama-lama, setelah tahu nikmatnya duit, kegoda juga.”
“Lalu, apa kita harus skeptis dan membiarkan bangsa ini terperosok ke dalam jurang keterpurukan?”
“Ya, tidak dong, Pak. Saran saya, pilih salah satu pulau dari negeri kita yang dinilai aman dan terlindung. Isi pulau itu dengan anak-anak dari usia balita hingga lulus perguruan tinggi. Tutup semua akses, terutama dari media Republik Mimpi. Maksudnya, agar anak-anak itu tidak pernah menyaksikan berita atau tayangan orang-orang tua mereka yang di rumah alim dan berwibawa, ternyata ketangkep basah oleh komisi anti korupsi lalu digelandang seperti penjahat jalanan.
“Harus dilakukan sebuah revolusi, anak-anak tidak boleh berhubungan dengan orang tua atau saudaranya. Semua. Mereka berangkat dari nol kilometer menyongsong lahirnya era Republik Mimpi yang sama sekali terpisah dari generasi sebelumnya. Generasi yang tak sanggup menyelematkan bangsanya. Bekali mereka dengan moral, tata nilai dan pengetahuan sesuai yang diamanatkan dan dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini sehingga mereka dapat tampil sebagai manusia Republik Mimpi yang seutuhnya; bangsa yang seutuhnya. Kalau perlu dapat mengantar bangsa ini menjadi bangsa yang tingkat martabat dan kebudayaannya paling oke di seluruh dunia.”
“Edan! Itu namanya pemusnahan peradaban….”
“Lho katanya, mau yang gila?” Tanya saya agak nyesel, sudah capek berbusa-busa malah tak ada apresiasi sama sekali.
“Iya, begitu sih begitu, tapi ya jangan begitu…” kata Presiden.
“Oke, kalau itu kurang berkenan, situasinya dibalik saja: anak-anak biar tinggal dan belajar di Republik Mimpi sampai mereka besar dan dapat memimpin negeri ini, sedangkan semua rakyat yang bukan anak-anak, dikarantina di sebuah pulau atau tempat khusus yang seluruh aksesnya ditutup. Gimana?”
“Hah! Tahun 2009 sepi, dong…..”***


Darminto M. Sudarmo, penulis dan peminat masalah humor.

0 comments:

Post a Comment