SMART

Kecerdasan itu sublim.

CREATIVITY

Menyelinap dan menggetarkan.

INSTRUMENTATION

Efisiensi dan akselarasi.

IDEA

Serba tak terduga.

SOMETHING DIFFERENT AND NEW

Kiat untuk menarik perhatian.

Wednesday, July 23, 2008

SPA = Semarang Pesona Aneh-aneh

Oleh Darminto M. Sudarmo


Ada yang sulit dilupakan tentang Semarang saat kita berada di luar kota; yakni, rob dan banjirnya. Musim hujan seperti saat ini, ingatan tentang Semarang bagian bawah memang sulit untuk dilupakan. Belum lama ini, saya sendiri pernah terjebak banjir di daerah kota lama, di dekat Hotel Jelita, nyaris selutut tingginya. Benar belaka jika di kota lama ditekankan sebagai City Walk; karena pada saat seperti ini, mobil, motor dan becak benar-benar tak berdaya dan orang harus jalan kaki, he-he-he.
Setinggi-tingginya volume banjir yang ada, apalagi kalau dikolaborasi dengan rob, maka perasaan yang ada bagi warga kota tetap saja senang dan hepi-hepi aja. Bukankah warga Semarang dikenal warga yang paling hepi di antara warga kota-kota besar di Indonesia lainnya. Kurang apa?
Bagaimana tidak hepi, wong latar belakang “budaya”-nya saja bertabur keanehan dan keunikan. Dari mana argumen itu muncul, dari produknya. Di kota ini, kartun tumbuh subur. Pelawak, menghentak; lihat Tukul Arwana yang asal Semarang itu. Event-event yang masuk kategori “gila” meraja lela. Bahkan salah satu museum yang memberikan apresiasi prestasi dan atraksi aneh, unik, langka, juga ada di Semarang. Jadi, memang, klop!

Makin klop lagi kalau itu dihubungkan dengan fenomana Tukul Arwana. Pelawak asal Semarang ini dari Senin sampai Jumat tiap pukul 21.30 membuat banyak penghuni rumah tangga heboh karena rebutan remote control. Akhirnya yang menang ya itu-itu saja, yang menonton “atraksi” Tukul di televisi. Ketambahan lagi bintang tamunya cakep-cakep, maka lengkap sudah, Tukul memang berhasil membikin geger layar kaca se-nusantara.
Begitulah! Ingat Tukul Arwana, saya jadi ingat Semarang. Ingat Semarang, saya makin ingat sebuah kota yang di dalamnya menyimpan banyak potensi khas. Khas di sini, artinya berbeda dari arus kelaziman. Sejak awal tahun 1980-an, khususnya setelah Jaya Suprana pulang dari studi di Jerman, kota yang oleh pengamat dari luar Semarang disebut sebagai kota dagang dan sepi dari isu kesenian ini, tiba-tiba langsung berbeda.
Dengan segala akal dan strategi, Jaya Suprana “menyebarkan” virus humor. Mulai dari rajin menulis di berbagai media tentang humor dan segala thetek-bengek-nya, hingga menyelenggarakan seminar humor dengan pembicara para tokoh yang punya kompetensi di bidang tersebut. Sebut saja misalnya: Arwah Setiawan (Ketua Lembaga Humor Indonesia), Romo Mangun (rohaniwan, budayawan dan novelis YB Mangunwijya), David Anderson (peneliti warga Amerika Serikat yang sangat doyan Budaya Jawa dan penggemar Ki Nartosabdo), Permadi, SH (saat itu Ketua Yayasan Lembaga Konsumen) dan banyak lagi tokoh “gila” yang membuat Semarang menjadi tergelitik dan menggeliat.
Bukan hanya itu, seiring dengan lahirnya para kartunis baru dan para pelawak dadakan, terselenggara pula berbagai event gila yang benar-benar mengagetkan warga Semarang dan sekitarnya. Event gila itu misalnya, Lomba Tertawa, Lomba Merayu, Lomba Siul dan lain-lain lomba yang sangat tidak lazim.
Virus humor yang menjalar-jalar itu jadi semakin “nyambung” ketika tahun 1982-an hingga 1987, berkibaran “bendera” para kartunis dan kelompok lawak. Dimulai dari deklarasi Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu), lalu disusul Secac (Semarang Cartoon Club), Terkatung (Terminal Kartunis Ungaran), Wak Semar (Wadah Kartunis Semarang) dan lain-lain yang serius maupun sekadar latah.
Di bidang seni lawak, tercata paling konsisten adalah PLS (Paguyuban Lawak Semarang) yang rajin menyelenggarakan saresehan dan lomba lawak. Dan Tukul Arwana, diakui atau tidak, sedikitnya pada periode itulah awal mula terkena virus lucu dan mengenal komunitas lawak. Maka mau bagaimanapun, Tukul Arwana tak dapat dipisahkan dari habitat awalnya, di komunitas Paguyuban Lawak Semarang dan para pelawak Semarang sendiri.
Belum lagi orang selesai menarik nafas, Semarang diguncang lagi oleh lahirnya sebuah lembaga yang khusus memberi ruang ekspresi untuk masyarakat yang menggemari segala hal yang serba super. Super besar atau super kecil. Super aneh, super beda dan sejenisnya. Lembaga itu adalah MURI (Museum Rekor Indonesia).
Dan puncak dari “kegilaan” para pekerja dan penggemar humor terjadi pada awal tahun 1988, saat diselenggarakannya Festival Kartun Internasional dan Pameran Kartun Sejagad yang diselenggarakan di kota Semarang. Gawe yang mengambil nama Candalaga Mancanegara itu diikuti oleh 29 negara, termasuk Indonesia dan melibatkan puluhan kartunis sedunia dengan jumlah karya mencapai belasan ribu kartun. Gawe itu juga tercatat di MURI sebagai yang pertama di Asia Tenggara.
Selanjutnya, Semarang masih juga diisi berbagai pameran kartun dan lomba lawak. Pameran kartun oleh Hoesie yang mengisi seluas lingkar Simpang Lima, kemudian di Taman Budaya Raden Saleh dengan tajuk Kartun Tiga Dimensi (Instalasi) dan keanehan-keanehan lain.

Lepas dari kontroversi yang berkembang, yang mengatakan bahwa fenomena itu tak lebih dari spirit pragmatisme dan permukaan belaka, dan itu tetap sah sebagai pendapat; dari virus humor yang disebarkan Jaya Suprana, tetap saja ada hal menarik untuk dicatat. Misalnya, pada suatu ketika entah kapan pernah muncul istilah: Jakarta memang Ibukota Indonesia, tapi Semarang adalah Ibukota Kartunis Indonesia. Jakarta Ibukota Humor Indonesia, tapi Semarang adalah Bibikota Humor Indonesia dan lain-lain yang dapat ditanggapi secara serius dapat pula dianggap sebagai lelucon belaka.
Makna lain yang dapat dicatat, dari atmosfer yang tampaknya dolanan dan main-main itu, ternyata ia menjadi pemicu lahirnya makhluk-makhluk “tak lazim” yang kini berperan serta dalam berbagai bidang. Di seni lawak ada nama Tukul Arwana yang debutnya cukup mengguncang, bukan saja di tingkat Semarang atau Jawa Tengah, tetapi nasional.
Di seni kartun, ada nama Jitet Koestana (kartunis harian terkemuka ibukota) padahal ia memulai semua itu dari seorang anak muda penjual buku loak di Semarang. Di Kokkang, ada sejumlah nama seperti M. Najib, Tiyok, Ifoed, Nasir, Muslih, Mukhid R, Zaenal Abidin dan tentu saja Itos Boedy Santosa.
Salah satu makhluk yang paling unik menurut saya adalah Prie GS. Anak muda asli Sukorejo, Weleri ini, memulai dari bergabung sebagai kartunis di Kokkang, kemudian ia menjadi wartawan, penulis, penyiar radio, presenter TV Semarang, dan pembicara di berbagai seminar. Prie GS unik karena ia multitalenta dan berbagai karyanya menjadi pembicaraan publik penggemarnya.
Begitulah Semarang. Ternyata ia biang dari segala biang keladi inspirasi itu. Semoga tulisan ini tidak ditanggapi sebagai membakar-bakar kenangan lama, tetapi dapat dilihat sebagai pemecah keheningan bagi kota Semarang yang sejak tahun 1990 hingga 2007 ini, kelihataannya tidak lagi terlihat menonjol kegilaan dan ketidaklazimannya itu.
Sekian. Salam SPA. Salam Semarang Pesona Aneh-aneh!

Esais adalah peminat masalah humor, penulis dan wartawan.

Humor Kontekstual – Universal, Sebuah Gurauan

Oleh Darminto M. Sudarmo


HUMOR, dalam beberapa kasus, tak beda dengan karya sastra. Ia juga dikisruhkan oleh tema dan topik. Ada tema atau topik yang demikian tipikalnya sehingga hanya sekelompok orang tertentu saja yang dapat memahami persoalannya. Makin gawat lagi bila persoalan yang diangkat menyangkut masalah symbol atau local contents yang makin menyempit, maka ruang pemahaman terhadap konteks itu hanya dapat dipahami orang-orang tertentu pula. Namun dengan adanya penyebaran informasi yang amat luas, adakalanya humor-humor bermuatan lokal juga dapat diakses dan dipahami oleh orang-orang di luar konteks budaya tersebut.
Orang Jawa yang melepas selop saat masuk lift atau telepon umum, orang Sunda yang lebih fasih mengucapkan huruf p ketimbang f, maupun orang Bali dan Aceh yang mengucapkan huruf t dengan tekanan khusus, adalah hal-hal yang sudah menjadi pemahaman dan permakluman bersama. Sebagaimana gurauan Dr. George Aditjondro, t di Bali diartikan turis dan t di Aceh diartikan teroris, maka orang bisa saja memberi tambahan: di Tabanan dan Buleleng t juga diartikan tawuran!
Agar penyelaman ke dalam makna kontekstual-universal yang makin silang lilit ini tak nyasar ke mana-mana, tak ada salahnya kita menyimak tiga contoh humor di bawah ini, diambil dari buku GAM (Geerr Aceh Merdeka), hal. 81, 105, dan 109, terbitan Garba Budaya Sahabat Aceh, setidaknya untuk kajian perbandingan.
Kita mulai dengan humor yang berjudul Terimakasih untuk Tentara. Ada seorang petani dari Kabupaten Pidie, menulis surat ke anaknya di penjara Nusakambangan karena dituduh terlibat GAM; bunyinya: “Hasan, bapakmu ini sudah tua, sekarang sedang musim tanam jagung, dan kamu di penjara pula, siapa yang mau bantu bapak mencangkul kebun jagung ini?” Anaknya membalas beberapa minggu kemudian, “Demi Allah, jangan cangkul itu kebun, saya tanam senjata di sana.” Besoknya, setelah si bapak terima surat, datang satu peleton tentara dari Banda Aceh; tanpa banyak bicara, mereka segera ke kebun jagung dan sibuk seharian mencangkul tanah di kebun tersebut. Setelah mereka pergi, kembali si bapak tulis surat kepada anaknya, “Hasan, setelah bapak terima suratmu, datang satu peleton tentara mencari senjata di kebun jagung kita tanpa hasil, apa yang harus bapak lakukan sekarang?” Si anak kembali balas surat tersebut, “Sekarang bapak mulai tanam jagung saja, kan sudah dicangkul sama tentara, dan jangan lupa mengucapkan terimakasih pada mereka.”
Wartawan. Suatu hari, satu regu prajurit TNI menyeberangi sungai Krueng Aceh, yang membelah Banda Aceh. Di tengah sungai, buaya-buaya yang ganas menelan bulat-bulat prajurit tersebut. Apa boleh buat, senjata M –16 tidak mampu menghadapi buaya itu. Esoknya, dikirim satu kompi polisi . Nasib sama terulang lagi. Semua gugur di mulut buaya. Senjata SS – 1 tak berdaya menghadapi serangan membabi buta dari gerombolan buaya. Hari ketiga, giliran angkatan GAM yang diterjunkan ke sana. Lagi-lagi mereka pun mengalami nasib yang tragis. AKA – 47 milik GAM menjadi loyo melawan barisan buya krueng (buaya sungai). Hari keempat datang konvoi lain. Kali ini para buaya jadi keheranan. Konvoi ini tidak menyandang satu senjata pun. Yang tergantung hanya secuil kertas bertuliskan: Pers. Buaya pikir ini lebih mudah lagi untuk memakannya. Namun tiba-tiba komandan buaya berteriak, “Stop! Itu rombongan wartawan. Jangan diganggu. Mereka lebih buaya daripada kita!”
Intel Inside. Suatu ketika, militer menyerahkan seperangkat komputer kepada para pemuda di salah satu desa di Aceh. Namun apa lacur, mereka membuang komputer tersebut ke laut. Pasalnya, di komputer tersebut tertulis kalimat, “Intel Inside”.
Humor berjudul Terimakasih untuk Tentara dapat dijadikan model humor tipikal Aceh, sangat konteks dengan semangat Aceh; bahkan oleh orang Aceh sendiri itu diakui sebagai tipu ala Aceh. Kendatipun persoalannya sangat khas dan hanya ada di Aceh, namun pembaca dari latar belakang budaya manapun tentu dapat memahami humor tersebut, apalagi bila referensinya juga ditunjang oleh berita-berita di media massa cetak dan elektronik. Sementara itu, humor berjudul Wartawan dan Intel Inside, dapat saja dimodifikasi untuk dilekatkan pada humor dengan tema lain; misalnya: Humor Papua, Maluku atau Poso. Tidak ada yang spesifik di sana; kecuali wilayah konflik dan adanya pendudukan militer.
Lalu humor-humor universal, seberapa universalnya? Mungkinkah ia tak terkait dengan masalah konteks atau ikon lokal yang sangat tipikal dan tak terdapat di tempat lain? Pertanyaan ini pun mengundang jawaban yang kisruh. Dalam usia peradaban umat manusia yang sudah demikian tinggi mungkinkah kebudayaan suatu bangsa tidak mempengaruhi kebudayaan bangsa lain? Contoh-contoh lelucon yang diambil dari buku Humor SMS, Guyon Demokrasi dan Guyon SexGar, terbitan Kombat Publishers berikut dapat menambah ramainya persepsi yang berkembang dan simpang siur itu.

Humor SMS
Sebagaimana lazimnya SMS (Short Message Service), maka bahasa yang digunakan pun singkat, padat, lugas dan bergegas. Kita mulai dari humor yang berjudul Pemabuk. Di mana rumahmu! Bentak polisi pada seorang pemabuk. “Itu!” sambil menunjuk rumah mewah, polisi tercengang, lalu sebuah mobil mewah masuk. “Itu mobil saya,” polisi tambah kagum. Seorang wanita cantik turun dari pintu kiri. “Itu istri saya.” Kemudian disusul laki-laki turun dari pintu kanan mobil itu juga. “Nha ..kalau itu saya, Pak.” Langsung pemabuk itu digiring ke kantor polisi.
Istri Setia. Istri saya setia, waktu saya masuk penjara dia hamil 6 bulan, begitu setahun saya keluar dia tetap hamil 6 bulan.
Dokter Gigi. Jangan mau punya suami dokter gigi dan pegawai telkom, soalnya kalo dokter gigi, goyang dikit saja, langsung dicabut, sedangkan pegawai telkom maunya cepat selesai, takut pulsanya tinggi.
Phone a Friend. Setelah nonton “Who Wants to Be a Millioner” suami ngajak making love istri tapi ditolak.”Oke,“ kata suami, “Saya gunakan fasilitas phone a friend.”
Alkohol. Hai orang-orang budiman, janganlah kau minum minuman beralkohol, karena alkohol itu minuman setan, kalau kau tetap minum terus, lha nanti setan minum apa.

Guyon Demokrasi
Beda dengan humor-humor SMS, humor-humor demokrasi agak menuntut pemikiran dan wawasan yang lebih. Paling tidak, pembacanya adalah orang-orang yang punya perhatian pada masalah sosial politik. Rajin mengikuti berita di koran/majalah atau televisi. Dengan kata lain, pembaca atau penikmat yang klop untuk humor-humor jenis ini adalah kalangan educated people dan up to date. Kita mulai dari humor yang berjudul Memutarbalikkan Fakta. Sambil marah-marah, seorang pengurus partai memasuki kantor redaksi sebuah suratkabar yang telah memuat beritanya pagi itu. "Kalian dengan sengaja telah memutarbalikkan apa yang saya katakan semalam! Koran kalian telah memuat kebohongan!" "Sabar, Pak! Anda tidak bisa marah-marah begini. Apa kata dunia nanti bila kami memuat sesuatu yang benar tentang Anda?!"
Uji Kasus Soal Pilihan. Seorang politikus dari Partai Republik dengan rajin mendatangi setiap rumah untuk memastikan memilih partainya. "Tidak," kata seorang laki-laki yang dikunjunginya, "ayah saya seorang demokrat, begitu juga kakek saya. Saya tidak akan memilih partai selain Demokrat." "Itu bukan alasan yang tepat," sahut si orang Partai Republik, "apakah kalau ayah Anda dan kakek Anda pencuri kuda, akan
membuat Anda jadi pencuri kuda juga?" "Tidak," jawab si Demokrat, "dalam kasus seperti itu, saya kira, saya akan menjadi pengikut Partai Republik!"
Politik Uang Salah Alamat. "Orang-orang asing ini sudah pasti tidak boleh ikut memilih, Pak," kata seorang penduduk melapor kepada anggota pimpinan partai. "Itulah yang membuatku bingung. Sepertinya, separuh dari mereka adalah orang-orang yang kuberi uang kemarin. Tapi yang mana, ya, aku tak ingat lagi."
Peramal dan Politikus. Seorang politikus muda berjalan-jalan di sebuah taman. Ketika dia melalui seorang peramal, dia berhenti. Si peramal langsung saja berceloteh. "Tuan, Tuan sudah menikah, bukan?" "Betul." "Anak Tuan dua, bukan? Laki-laki semuanya?" "Ya, betul." "Tuan pengikut Partai Republik?" "Nah, Anda sudah berbuat kekeliruan dalam ramalan Anda! Itu masih tergantung! Peramal lain mengatakan saya akan dapat suara lebih banyak bila di Partai Demokrat!"

Guyon SexGar
Berbeda dengan humor seks lain yang cenderung vulgar dan mengeksploitasi seks dalam pengertian sebanal-banalnya, humor-humor seks yang dicontohkan dalam kasus ini, sama sekali jauh dari motif itu. Yang ada adalah sport logika seputar seks atau para pelaku dalam bingkai humor dan tetap elegan.
Kita mulai dari humor yang berjudul Ranjang Kembar. John bercerita pada teman sekantornya. "Kehidupan seks kami semakin membaik sejak kami, saya dan istri, punya ranjang kembar." "Bagaimana kejadiannya?" "Kami mendapatkannya di rumah yang berbeda."
Cuma Seorang Suami. Broto menatap wajah pacar gelapnya yang sangat ia cintai.
"Saya sakit hati. Kemarin saya melihatmu berjalan dengan laki-laki lain." "Nggak usah cengeng, deh. Itu kan cuma suamiku. Percayalah, nggak ada laki-laki lain selain kamu."
Dua Lima Ribu Siap Apa Saja. Pria yang memakai mobil merah itu berhenti di pinggir jalan, ketika seorang bencong yang mengenakan pakaian ketat dan rias yang medok melambai-lambaikan tangannya. Bencong itu berbisik, menggoda, "Untuk dua puluh lima ribu rupiah, saya akan melakukan apa saja yang kamu minta." "Tolong catkan rumahku," kata laki-laki itu sambil memberikan uang.
Tiga Kata yang Menyebalkan. "Tiga kata apakah yang tidak ingin Anda dengarkan ketika sedang bercinta?" "Sayang, saya pulang!"
Bagaimana Bisa Mengganggu? Begitu mendengar pacarnya dirawat di rumah sakit, bergegaslah Joni ke sana dan bertanya pada dokter. "Sebaiknya jangan diganggu dulu, ia masih sangat lelah," sahut dokter, serius. "Bagaimana aku akan mengganggunya di tempat umum macam begini, Dok. Di rumah pun kami biasa mencari kesempatan baik, setelah orang tuanya tidur," ujar Joni dengan nada sinis.
Dari contoh-contoh humor di atas, akhirnya terbukti bahwa polarisasi antara kontekstual -universal sepertinya akan sampai pada tahap gurauan belaka. Transformasi di bidang komunikasi telah menjembatani berbagai kemustahilan dan kemuskilan. Setidaknya itu yang tampak pada contoh-contoh humor yang ada dalam artikel ini. Oleh karena itu, salah satu contoh humor paling kontekstual mungkin dapat digambarkan di bawah ini. Tersebutlah sebuah komunitas yang beranggotakan tujuh orang peminat humor atau joke. Mereka punya jadwal yang sangat ketat untuk nge-joke setiap minggunya. Sehingga untuk joke-joke yang tergolong lucu dan kuat mereka sepakat memberi nomor. Misalnya joke nomor 1 tentang mincing, nomor 2 tentang pemabuk dan seterusnya. Hingga pada suatu ketika mereka berpisah karena tugas. Bertahun-tahun ketujuh orang ini tak pernah bertemu, sehingga mereka berencana mengadakan reuni. Ketika reuni tiba, masing-masing mendapat giliran untuk memberi sambutan (maksudnya: nge-joke). Dengan enteng Si A, maju dan berkata: Joke nomor 3! Dan enam orang lain langsung merespon dengan ketawa terbahak-bahak. Bagaimana dengan anak-anak dan istri-istri mereka? Hanya bengong tak mengerti, karena joke yang dibawakan Si A memang sangat kontekstual!

Wahyu Legendaris untuk Tiga Pelawak

Oleh: Darminto M Sudarmo
BELUM jelas benar bagaimana kriterianya, tiba-tiba beredar gosip di kalangan terbatas yang mengatakan, bahwa tiga nama pelawak: Bing Slamet, S Bagyo dan Benyamin S; pantas menerima “gelar” legendaris sesuai dengan prestasi, dedikasi dan kontribusi mereka yang besar dalam dunia “kesenian”. Khususnya, seni lawak. Gelar yang dimaksud muncul secara rela hati tanpa rekayasa pihak mana pun. Itu terjadi karena turunnya semacam wahyu, yang membuat seseorang atau mereka bertiga dipilih oleh sejarah untuk menjadi sang maha bintang. Menjadi pemicu fenomena. Bahkan, pengobar optimisme.
Mengapa Bing Slamet, S Bagyo dan Benyamin S? Berhubung belum adanya semacam lembaga; walaupun lembaga Humor Indonesia dan Paguyuban Lawak Indonesia ada; yang secara spesifik mengkalkulasi prestasi, dedikasi dan kontribusi seseorang atau pelawak selama menjalankan kariernya, maka metode apresiasi yang dipilih pun berlangsung secara emosional. Terjadi, begitu saja. Pilihan kepada ketiga tokoh ini, tidak melewati perdebatan berbelit. Tidak melewati sidang-sidang. Cukup mengalir, sebagaimana mengalirnya gosip dan rumor yang bisa dianggap serius, bisa pula dianggap cuma guyon.
Bing Slamet, S Bagyo dan Benyamin S tergolong pelawak yang liat namun lembut dalam sosialisasi. Selama hidupnya banyak memberikan sentuhan dan inspirasi bagi kelompok yang lebih muda. Memberi tempat dan ruang untuk calon pengganti. Mereka tidak memonopoli fenomena. Dermawan dalam menyebarkan wabah optimisme. Mereka juga menyiapkan calon pengganti tanpa harus menampakkan diri, apalagi intervensi.
Pelajaran-pelajaran “besar” bagi yang muda, mereka berikan secara sederhana. Dengan menjalani fitrah sebagai manusia profesional. Tak pernah berhenti mencari, tak pernah puas menawarkan gagasan, tak pernah selesai dalam belajar. Tidak jumawa dan menganggap yang lain tak pernah ada. Setidaknya, demikian kesan umum yang bisa diagenda.
Dalam hidup mereka, jarang bisa dijumpai trik dan kegenitan akting dan PR (Public Relations), kecuali cara hidup yang tulus dan mensyukuri nikmat yang ada. Situasi demikian; pada zaman sekarang ini; mungkin semakin sulit kita jumpai. Menjadi orang yang rela hati terhadap pilihan-pilihannya sendiri, adalah persoalan yang tidak sederhana. Mereka, figur-figur yang konsisten, dalam duka maupun suka.

***

TANGGA-tangga karier yang mereka lewati, juga tidak sederhana. Tidak seperti wahyu yang jatuh dari langit kemudian dalam sekejap menyulap mereka menjadi manusia-manusia luar biasa. Pelawak-pelawak hebat dan serba bisa. Humoris-humoris tulen yang karya-karyanya memang sepadan. Mereka belajar dengan keras. Tapak demi tapak. Tak ada “kursi” kesenimanan yang bisa dicapai dengan jalan pintas, dengan instan, dengan karbitan lalu menempatkannya dalam singgasana keabadian. Karena kursi itu ada dalam diri pelawak itu sendiri. Tak bisa dibeli, tak bisa dimanipulasi.
Kesabaran dan kesadaran pada proses waktu, adalah pelajaran besar dan contoh besar yang mereka tinggalkan kepada kaum muda. Walaupun agak “pahit” untuk citarasa saat ini, kaum muda yang sedang meniti dan merangkak di karier yang sama, dapat menjadikannya sebagai katarsis atau apologia sesaat. Boleh saja ia menjadi semacam fatamorgana di keruncingan padang pasir; karena situasi dan tantangan sekarang mungkin lebih kompleks dan sulit dipeta; setidaknya, pengalaman-pengalaman para pendahulu masih menyisakan sebagian kearifan. Bahkan, harapan.
***

DI sisi lain, dunia perlawakan kita, dan humor pada umumnya, ditandai dengan kemiskinan tradisi literer. Ini sulit dibantah. Sangat tak sepadan dengan upaya karsa dan karya para seniman lawaknya. Banyak debut penting, yang hanya didokumentasi oleh pers atau kaset, video atau film layar lebar. Kadang tercecer, lalu terlupakan atau hilang ditelan oleh data baru. Upaya untuk melakukan kajian; menyangkut segi sosiohistorisnya; sama sekali belum dilakukan secara serius.
Buku tentang apa-siapa pelawak Amerika, Joe Franklin”s Encyclopedia of Comedians, misalnya, terdiri atas 348 halaman, mencatat dari Abbott dan Costello hingga Zacherley; bisa dibilang atau tergolong agak kuno. Cetakan kedua buku ini saja dicetak tahun 1979. Meskipun demikian, sebagai informasi dasar ia masih relevan. Komedian kondang seperti Bill Cosby, misalnya, yang saat ini diberitakan bayarannya melangit, saat itu (di buku) untuk tampil di klub malam, masih menerima sekitar 50.000 dollar hingga 100.000 dollar per minggu. Pemutakhiran (up dating) buku ini, memang sangat diperlukan agar berimbang dengan perkembangan paling baru.
Satu-satunya buku lawak di Indonesia, yakni tentang Teguh dan Srimulat, ditulis oleh Herry Gendut Janarto; yang ternyata merupakan upaya pendokumentasian dari tulisan bersambung, di media cetak. Lumayan. Sedemikian miskinnya tradisi apresiasi dan pendokumentasian seni lawak kita, hingga pelawak Qomar mengambil inisiatif dan hendak membukukan ensiklopedi para pelawak Indonesia itu dengan upaya sendiri.
Untunglah, tersiarnya upaya untuk membuat buku tentang “Apa Siapa Pelawak Indonesia” itu bukan sekadar guyon; mudah-mudahan sedang dalam proses dan segera rampung. Bahkan, buku tentang biografi (proses kreatif?) pelawak “Bagito” juga sedang dalam proses akhir. Tentu perlu diingatkan, para “master” lawak seperti Basiyo, Gepeng, Johny Gudel dan lain-lain yang masih hidup juga dipikirkan pendokumentasiannya. Bukankah untuk menghargai jasa seorang pelawak (Jaya Suprana, Media Minggu, 10 September 1995) tidak harus menunggu mereka jadi almarhum?
Betapapun, lembar demi lembar catatan perjalanan para pelawak, sangat penting artinya bagi sejarah kesenian lawak di Indonesia. Sebuah format profesi yang telah mengalami transformasi secara mencengangkan. Dari dilecehkan dan disia-siakan, menjadi sesuatu yang bereksistensi. Bahkan, bergengsi. Setidaknya, itu yang “dianggap” terjadi di negeri ini.