Wednesday, July 23, 2008

Wahyu Legendaris untuk Tiga Pelawak

Oleh: Darminto M Sudarmo
BELUM jelas benar bagaimana kriterianya, tiba-tiba beredar gosip di kalangan terbatas yang mengatakan, bahwa tiga nama pelawak: Bing Slamet, S Bagyo dan Benyamin S; pantas menerima “gelar” legendaris sesuai dengan prestasi, dedikasi dan kontribusi mereka yang besar dalam dunia “kesenian”. Khususnya, seni lawak. Gelar yang dimaksud muncul secara rela hati tanpa rekayasa pihak mana pun. Itu terjadi karena turunnya semacam wahyu, yang membuat seseorang atau mereka bertiga dipilih oleh sejarah untuk menjadi sang maha bintang. Menjadi pemicu fenomena. Bahkan, pengobar optimisme.
Mengapa Bing Slamet, S Bagyo dan Benyamin S? Berhubung belum adanya semacam lembaga; walaupun lembaga Humor Indonesia dan Paguyuban Lawak Indonesia ada; yang secara spesifik mengkalkulasi prestasi, dedikasi dan kontribusi seseorang atau pelawak selama menjalankan kariernya, maka metode apresiasi yang dipilih pun berlangsung secara emosional. Terjadi, begitu saja. Pilihan kepada ketiga tokoh ini, tidak melewati perdebatan berbelit. Tidak melewati sidang-sidang. Cukup mengalir, sebagaimana mengalirnya gosip dan rumor yang bisa dianggap serius, bisa pula dianggap cuma guyon.
Bing Slamet, S Bagyo dan Benyamin S tergolong pelawak yang liat namun lembut dalam sosialisasi. Selama hidupnya banyak memberikan sentuhan dan inspirasi bagi kelompok yang lebih muda. Memberi tempat dan ruang untuk calon pengganti. Mereka tidak memonopoli fenomena. Dermawan dalam menyebarkan wabah optimisme. Mereka juga menyiapkan calon pengganti tanpa harus menampakkan diri, apalagi intervensi.
Pelajaran-pelajaran “besar” bagi yang muda, mereka berikan secara sederhana. Dengan menjalani fitrah sebagai manusia profesional. Tak pernah berhenti mencari, tak pernah puas menawarkan gagasan, tak pernah selesai dalam belajar. Tidak jumawa dan menganggap yang lain tak pernah ada. Setidaknya, demikian kesan umum yang bisa diagenda.
Dalam hidup mereka, jarang bisa dijumpai trik dan kegenitan akting dan PR (Public Relations), kecuali cara hidup yang tulus dan mensyukuri nikmat yang ada. Situasi demikian; pada zaman sekarang ini; mungkin semakin sulit kita jumpai. Menjadi orang yang rela hati terhadap pilihan-pilihannya sendiri, adalah persoalan yang tidak sederhana. Mereka, figur-figur yang konsisten, dalam duka maupun suka.

***

TANGGA-tangga karier yang mereka lewati, juga tidak sederhana. Tidak seperti wahyu yang jatuh dari langit kemudian dalam sekejap menyulap mereka menjadi manusia-manusia luar biasa. Pelawak-pelawak hebat dan serba bisa. Humoris-humoris tulen yang karya-karyanya memang sepadan. Mereka belajar dengan keras. Tapak demi tapak. Tak ada “kursi” kesenimanan yang bisa dicapai dengan jalan pintas, dengan instan, dengan karbitan lalu menempatkannya dalam singgasana keabadian. Karena kursi itu ada dalam diri pelawak itu sendiri. Tak bisa dibeli, tak bisa dimanipulasi.
Kesabaran dan kesadaran pada proses waktu, adalah pelajaran besar dan contoh besar yang mereka tinggalkan kepada kaum muda. Walaupun agak “pahit” untuk citarasa saat ini, kaum muda yang sedang meniti dan merangkak di karier yang sama, dapat menjadikannya sebagai katarsis atau apologia sesaat. Boleh saja ia menjadi semacam fatamorgana di keruncingan padang pasir; karena situasi dan tantangan sekarang mungkin lebih kompleks dan sulit dipeta; setidaknya, pengalaman-pengalaman para pendahulu masih menyisakan sebagian kearifan. Bahkan, harapan.
***

DI sisi lain, dunia perlawakan kita, dan humor pada umumnya, ditandai dengan kemiskinan tradisi literer. Ini sulit dibantah. Sangat tak sepadan dengan upaya karsa dan karya para seniman lawaknya. Banyak debut penting, yang hanya didokumentasi oleh pers atau kaset, video atau film layar lebar. Kadang tercecer, lalu terlupakan atau hilang ditelan oleh data baru. Upaya untuk melakukan kajian; menyangkut segi sosiohistorisnya; sama sekali belum dilakukan secara serius.
Buku tentang apa-siapa pelawak Amerika, Joe Franklin”s Encyclopedia of Comedians, misalnya, terdiri atas 348 halaman, mencatat dari Abbott dan Costello hingga Zacherley; bisa dibilang atau tergolong agak kuno. Cetakan kedua buku ini saja dicetak tahun 1979. Meskipun demikian, sebagai informasi dasar ia masih relevan. Komedian kondang seperti Bill Cosby, misalnya, yang saat ini diberitakan bayarannya melangit, saat itu (di buku) untuk tampil di klub malam, masih menerima sekitar 50.000 dollar hingga 100.000 dollar per minggu. Pemutakhiran (up dating) buku ini, memang sangat diperlukan agar berimbang dengan perkembangan paling baru.
Satu-satunya buku lawak di Indonesia, yakni tentang Teguh dan Srimulat, ditulis oleh Herry Gendut Janarto; yang ternyata merupakan upaya pendokumentasian dari tulisan bersambung, di media cetak. Lumayan. Sedemikian miskinnya tradisi apresiasi dan pendokumentasian seni lawak kita, hingga pelawak Qomar mengambil inisiatif dan hendak membukukan ensiklopedi para pelawak Indonesia itu dengan upaya sendiri.
Untunglah, tersiarnya upaya untuk membuat buku tentang “Apa Siapa Pelawak Indonesia” itu bukan sekadar guyon; mudah-mudahan sedang dalam proses dan segera rampung. Bahkan, buku tentang biografi (proses kreatif?) pelawak “Bagito” juga sedang dalam proses akhir. Tentu perlu diingatkan, para “master” lawak seperti Basiyo, Gepeng, Johny Gudel dan lain-lain yang masih hidup juga dipikirkan pendokumentasiannya. Bukankah untuk menghargai jasa seorang pelawak (Jaya Suprana, Media Minggu, 10 September 1995) tidak harus menunggu mereka jadi almarhum?
Betapapun, lembar demi lembar catatan perjalanan para pelawak, sangat penting artinya bagi sejarah kesenian lawak di Indonesia. Sebuah format profesi yang telah mengalami transformasi secara mencengangkan. Dari dilecehkan dan disia-siakan, menjadi sesuatu yang bereksistensi. Bahkan, bergengsi. Setidaknya, itu yang “dianggap” terjadi di negeri ini.

0 comments:

Post a Comment