Wednesday, July 23, 2008

SPA = Semarang Pesona Aneh-aneh

Oleh Darminto M. Sudarmo


Ada yang sulit dilupakan tentang Semarang saat kita berada di luar kota; yakni, rob dan banjirnya. Musim hujan seperti saat ini, ingatan tentang Semarang bagian bawah memang sulit untuk dilupakan. Belum lama ini, saya sendiri pernah terjebak banjir di daerah kota lama, di dekat Hotel Jelita, nyaris selutut tingginya. Benar belaka jika di kota lama ditekankan sebagai City Walk; karena pada saat seperti ini, mobil, motor dan becak benar-benar tak berdaya dan orang harus jalan kaki, he-he-he.
Setinggi-tingginya volume banjir yang ada, apalagi kalau dikolaborasi dengan rob, maka perasaan yang ada bagi warga kota tetap saja senang dan hepi-hepi aja. Bukankah warga Semarang dikenal warga yang paling hepi di antara warga kota-kota besar di Indonesia lainnya. Kurang apa?
Bagaimana tidak hepi, wong latar belakang “budaya”-nya saja bertabur keanehan dan keunikan. Dari mana argumen itu muncul, dari produknya. Di kota ini, kartun tumbuh subur. Pelawak, menghentak; lihat Tukul Arwana yang asal Semarang itu. Event-event yang masuk kategori “gila” meraja lela. Bahkan salah satu museum yang memberikan apresiasi prestasi dan atraksi aneh, unik, langka, juga ada di Semarang. Jadi, memang, klop!

Makin klop lagi kalau itu dihubungkan dengan fenomana Tukul Arwana. Pelawak asal Semarang ini dari Senin sampai Jumat tiap pukul 21.30 membuat banyak penghuni rumah tangga heboh karena rebutan remote control. Akhirnya yang menang ya itu-itu saja, yang menonton “atraksi” Tukul di televisi. Ketambahan lagi bintang tamunya cakep-cakep, maka lengkap sudah, Tukul memang berhasil membikin geger layar kaca se-nusantara.
Begitulah! Ingat Tukul Arwana, saya jadi ingat Semarang. Ingat Semarang, saya makin ingat sebuah kota yang di dalamnya menyimpan banyak potensi khas. Khas di sini, artinya berbeda dari arus kelaziman. Sejak awal tahun 1980-an, khususnya setelah Jaya Suprana pulang dari studi di Jerman, kota yang oleh pengamat dari luar Semarang disebut sebagai kota dagang dan sepi dari isu kesenian ini, tiba-tiba langsung berbeda.
Dengan segala akal dan strategi, Jaya Suprana “menyebarkan” virus humor. Mulai dari rajin menulis di berbagai media tentang humor dan segala thetek-bengek-nya, hingga menyelenggarakan seminar humor dengan pembicara para tokoh yang punya kompetensi di bidang tersebut. Sebut saja misalnya: Arwah Setiawan (Ketua Lembaga Humor Indonesia), Romo Mangun (rohaniwan, budayawan dan novelis YB Mangunwijya), David Anderson (peneliti warga Amerika Serikat yang sangat doyan Budaya Jawa dan penggemar Ki Nartosabdo), Permadi, SH (saat itu Ketua Yayasan Lembaga Konsumen) dan banyak lagi tokoh “gila” yang membuat Semarang menjadi tergelitik dan menggeliat.
Bukan hanya itu, seiring dengan lahirnya para kartunis baru dan para pelawak dadakan, terselenggara pula berbagai event gila yang benar-benar mengagetkan warga Semarang dan sekitarnya. Event gila itu misalnya, Lomba Tertawa, Lomba Merayu, Lomba Siul dan lain-lain lomba yang sangat tidak lazim.
Virus humor yang menjalar-jalar itu jadi semakin “nyambung” ketika tahun 1982-an hingga 1987, berkibaran “bendera” para kartunis dan kelompok lawak. Dimulai dari deklarasi Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu), lalu disusul Secac (Semarang Cartoon Club), Terkatung (Terminal Kartunis Ungaran), Wak Semar (Wadah Kartunis Semarang) dan lain-lain yang serius maupun sekadar latah.
Di bidang seni lawak, tercata paling konsisten adalah PLS (Paguyuban Lawak Semarang) yang rajin menyelenggarakan saresehan dan lomba lawak. Dan Tukul Arwana, diakui atau tidak, sedikitnya pada periode itulah awal mula terkena virus lucu dan mengenal komunitas lawak. Maka mau bagaimanapun, Tukul Arwana tak dapat dipisahkan dari habitat awalnya, di komunitas Paguyuban Lawak Semarang dan para pelawak Semarang sendiri.
Belum lagi orang selesai menarik nafas, Semarang diguncang lagi oleh lahirnya sebuah lembaga yang khusus memberi ruang ekspresi untuk masyarakat yang menggemari segala hal yang serba super. Super besar atau super kecil. Super aneh, super beda dan sejenisnya. Lembaga itu adalah MURI (Museum Rekor Indonesia).
Dan puncak dari “kegilaan” para pekerja dan penggemar humor terjadi pada awal tahun 1988, saat diselenggarakannya Festival Kartun Internasional dan Pameran Kartun Sejagad yang diselenggarakan di kota Semarang. Gawe yang mengambil nama Candalaga Mancanegara itu diikuti oleh 29 negara, termasuk Indonesia dan melibatkan puluhan kartunis sedunia dengan jumlah karya mencapai belasan ribu kartun. Gawe itu juga tercatat di MURI sebagai yang pertama di Asia Tenggara.
Selanjutnya, Semarang masih juga diisi berbagai pameran kartun dan lomba lawak. Pameran kartun oleh Hoesie yang mengisi seluas lingkar Simpang Lima, kemudian di Taman Budaya Raden Saleh dengan tajuk Kartun Tiga Dimensi (Instalasi) dan keanehan-keanehan lain.

Lepas dari kontroversi yang berkembang, yang mengatakan bahwa fenomena itu tak lebih dari spirit pragmatisme dan permukaan belaka, dan itu tetap sah sebagai pendapat; dari virus humor yang disebarkan Jaya Suprana, tetap saja ada hal menarik untuk dicatat. Misalnya, pada suatu ketika entah kapan pernah muncul istilah: Jakarta memang Ibukota Indonesia, tapi Semarang adalah Ibukota Kartunis Indonesia. Jakarta Ibukota Humor Indonesia, tapi Semarang adalah Bibikota Humor Indonesia dan lain-lain yang dapat ditanggapi secara serius dapat pula dianggap sebagai lelucon belaka.
Makna lain yang dapat dicatat, dari atmosfer yang tampaknya dolanan dan main-main itu, ternyata ia menjadi pemicu lahirnya makhluk-makhluk “tak lazim” yang kini berperan serta dalam berbagai bidang. Di seni lawak ada nama Tukul Arwana yang debutnya cukup mengguncang, bukan saja di tingkat Semarang atau Jawa Tengah, tetapi nasional.
Di seni kartun, ada nama Jitet Koestana (kartunis harian terkemuka ibukota) padahal ia memulai semua itu dari seorang anak muda penjual buku loak di Semarang. Di Kokkang, ada sejumlah nama seperti M. Najib, Tiyok, Ifoed, Nasir, Muslih, Mukhid R, Zaenal Abidin dan tentu saja Itos Boedy Santosa.
Salah satu makhluk yang paling unik menurut saya adalah Prie GS. Anak muda asli Sukorejo, Weleri ini, memulai dari bergabung sebagai kartunis di Kokkang, kemudian ia menjadi wartawan, penulis, penyiar radio, presenter TV Semarang, dan pembicara di berbagai seminar. Prie GS unik karena ia multitalenta dan berbagai karyanya menjadi pembicaraan publik penggemarnya.
Begitulah Semarang. Ternyata ia biang dari segala biang keladi inspirasi itu. Semoga tulisan ini tidak ditanggapi sebagai membakar-bakar kenangan lama, tetapi dapat dilihat sebagai pemecah keheningan bagi kota Semarang yang sejak tahun 1990 hingga 2007 ini, kelihataannya tidak lagi terlihat menonjol kegilaan dan ketidaklazimannya itu.
Sekian. Salam SPA. Salam Semarang Pesona Aneh-aneh!

Esais adalah peminat masalah humor, penulis dan wartawan.

0 comments:

Post a Comment