Sunday, December 07, 2008

Kontemplasi Kolom

SEBUAH artikel seyogianya juga memiliki kekuatan untuk berkontemplasi. Ketika penalaran dan asumsi menemui jalan buntu, maka artikel bergaya kontemplatif (selanjutnya kita sebut: kolom) dapat mengambil bagian di antaranya. Tak selalu sebuah masalah cukup diisyarati dengan sejumlah solusi praktis dan ilmiah. Karena, mungkin saja masih ada sejumlah kendala yang tak tertangkap oleh perangkat ilmu yang bersifat wadag atau materiel-matematis.
Kolom adalah artikel yang memiliki kekuatan menyelinap. Ia mampu menjenguk ke dalam inti perenungan manusia. Tidak menggurui, lepas dari berbagai beban praktis yang kadangkala acap “menjerumuskan” pembaca ke dalam ego dan anarki persepsi. Pada kasus-kasus yang amat sublim dan krusial, kehadiran kolom memberi semacam isyarat-isyarat awal tentang sebuah risiko maupun peluang.

***

TANPA disadari, negeri kita memiliki sejumlah kolomnis yang rajin menyumbangkan pemikirannya ke berbagai media. Mereka terdiri atas berbagai figur dengan berbagai disiplin ilmu. Dengan tulisan bergaya kolom, sejumlah kolomnis terkesan lebih mampu menjenguk persoalan dengan pendekatan yang segar dan lancar. Pada saat demikian, mereka tampak lebih leluasa menampilkan peranannya tanpa dirisaukan oleh kaidah-kaidah ilmiah (kendati bergaya populer). Adakalanya, bahkan, dari isyarat-isyarat kecil yang ditampilkan, pembaca dapat menangkap muatan substansi tajam dan memiliki implikasi luas.
Kolomnis almarhum M. A. W. Brouwer, misalnya, betapapun terkenal tulisan-tulisannya sulit dipahami bagi sejumlah pembaca, namun tetap mempesona dari sudut pandang kekayaan khasanah dan referensi. Di saat lain juga menantang ketajaman daya tangkap pembacanya. Mungkin ia berbeda dengan Gus Dur atau Emha Ainun Nadjib. Namun dalam bunga rampai peta kolomnis Indonesia, M. A. W. Brouwer memiliki tempat tersendiri dan belum tergantikan.
Selain tampil dengan berbagai kejelian, acapkali artikel kolom terasa lebih basah. Sarat kritik dan humor segar. Wajar, jika kolom lebih menggoda pembaca daripada artikel yang “kering”, padat dan dikepung terminologi-terminologi teknis. Tanpa mengurangi penghargaan pada artikel atau opini umumnya, dalam situasi keseharian yang serba sibuk dan sempit waktu, artikel kolom setidaknya menempati prioritas yang lebih bisa bersaing.

***

KOLOMNIS Art Buchwald dari Amerika Serikat, mungkin sebuah kekecualian. Selain ia beruntung secara geografis, juga diuntungkan oleh sistem politik yang memberi peluang baginya untuk mengkritik tanpa risiko “diamankan”. Telah beratus-ratus kolom dihasilkan olehnya. Bahkan kolomnya juga diterbitkan oleh berbagai media di seluruh dunia dalam bahasa negara masing-masing.
Ini membuktikan sebuah kolom betapapun sangat lokal dan tipikalnya, tetap memiliki daya pikat bagi negeri-negeri lain. Selain ia merefleksikan kondisi sosial politik pada suatu konteks, ternyata kolom juga memuat nilai-nilai universal yang menarik bagi umat manusia di atas bumi ini.
Art Buchwald, selain pintar membidik dalam gaya humor yang penuh satire, juga memiliki kepiawaian dalam mengolah logika. Ia acapkali membalik-balikkan logika sedemikian frontalnya sehingga saraf pembaca diaduk-aduk. Sementara itu, plot demi plot konstruksi cerita yang dibangunnya menggiring benak pembaca ke dalam suasana bisosiatif yang kian meruncing dan kemudian berakhir dalam sebuah persinggungan arus plus dan minus, sehingga tercapailah sebuah titik ledak yang menghenyakkan pembaca ke dalam perenungan-perenungan penuh gelitik.

***

APAKAH Buchwald berarti lebih hebat dari kolomnis kita? Tidak selalu. Emha Ainun Nadjib, contohnya. Hemat saya, ia bintang kolomnis kita saat ini. Emha memiliki strategi yang unik dalam mengolah masalah yang krusial dan penuh ranjau garis singgung sekalipun. Cara membidiknya tidak sefrontal Buchwald. Namun, ia telah menemukan strategi khusus. Mengambil analogi perumpamaan orang Jawa, maka kata yang paling tepat untuk strateginya adalah “nyolu”.
Ia angkat dan junjung setinggi-tingginya orang yang dia kritik. Dia bela mati-matian. Kemudian, seolah-olah ia menyalahkan orang yang acapkali mengkritik dan mengecam si tokoh. Dan pada titik yang sangat halus dan santun, ia mendudukkan masalah pada porsi dan proporsinya. Di sinilah, pembaca dibuat kaget secara dadakan: atau paling tidak “ketawa” atau “mengumpat” dalam hati, karena merasa terkecoh dan dipermainkan oleh gaya retorikanya yang unik dan genuine.
Demikian, untuk sekadar menyebut beberapa kemungkinan melongok bagian-bagian di balik proses penciptaan artikel kolom: yang bila terpublikasi, dapat merangsang timbulnya jaring-jaring kontemplasi dan dialog yang tak kunjung habis daya tariknya.

Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor; tinggal di Semarang, bekerja di Jakarta.

0 comments:

Post a Comment