Wednesday, December 28, 2011

Republik Hedonesia Raya


Cartoon by Jitet Koestana
O ya, perkenalkan nama saya Adygank Adigoonk Adygoenha! Orang sering menyebut saya A3, Mr. A3! Pekerjaan saya politikus; iya, ini sejujurnya. Bodo amat orang bilang politikus itu bukan pekerjaan tapi media aktualisasi diri. Yang jelas saya masuk partai politik, pake modal. Mencalonkan diri jadi anggota parlemen juga pake modal; jadi bila dikorelasikan dengan hukum ekonomi, pas toh? Barangsiapa berkegiatan di suatu bidang tertentu yang di dalamnya memerlukan modal uang, maka di situlah kaidah bisnis berlaku. Bahkan kalau perlu, dengan modal sekecil-kecilnya bisa mendapatkan untung sebesar-besarnya.
Bukannya nyombong, sebagai anggota parlemen yang bertugas di Komisi X (baca: eks; bukan sepuluh), saya berhak mendapatkan advantage sebagai warga kelas terhormat; itulah makanya saya lebih suka pake istilah parlemen bukan wakil rakyat, karena de facto, kerja saya memang tidak harus berkaitan dengan kepentingan rakyat. Itu fakta konkret yang perlu dipahami dulu, soal terminologi itu perlu tuntas dulu sebelum ada suara-suara berisik yang selalu memojokkan kami, eh saya, wakil rakyat kok nggak pernah nyambung sama aspirasi rakyat. Jelas dong mereka kan tidak tahu apa yang ada di kepala dan hati saya, visi, misi, dan motivasi saya bergerak di bisnis ini.
Di Republik Hedonesia Raya -- negeri ini kalau dilihat dari satelit atau foto udara selalu samar karena tertutup kabut putih yang berasal dari asap cerutu para bandar, cukong, dan sekutunya dan cerutu itu simbol establisme abadi soal positioning, segmen dan kelas mereka – saya merasa hidup nyaman; karena filosofinya jelas: siapa kuat dia yang dapat. Di negara ini kita semua dipacu untuk terus berkompetisi. Para pemenang, tak peduli gimana trik dan etika, dipuja dan diapresiasi tinggi sekali; sementara para pecundang, harus tahu diri, menyingkir ke pinggir. Atau kalau masih punya kehormatan, bunuh diri!
Kompetisi itu bagi saya seperti ladang kurusetra, tempat para satria dan musuh bertarung. Seperti halnya di ruang sidang, kami, saya khususnya, tak beda pengacara yang harus membela klien sehebat-hebatnya. Tak penting apakah klien itu benar atau salah, pengacara yang tahu artinya profesi di kepalanya hanya ada kata: menang, menang dan menang! Kompetisi itu juga persis ideologi bisnis yang paling primitif sekalipun, targetnya hanya satu: profit! Kalau ingat ini semua, saya sering sedih melihat orang-orang romantikus, mereka yang sering menyebut kaum idealis, yang menjustifikasi kami, khususnya saya, sebagai mahluk yang tidak tahu artinya idealisme. Bagaimana bisa? Semua langkah dan sepakterjang saya di posisi saya adalah karena idealisme. Masalahnya saja, idealisme kita yang berbeda!
Isu soal kemanusiaan, empati, solidaritas sosial, keberpihakan pada kaum lemah, apa urusannya dengan saya? Bagaimana saya harus memberi peluang pada itu, sementara di posisi saya adanya hanya perang. Perang adalah di mana kalau kita tidak membunuh akan terbunuh. To be or not to be. Untuk survive, saya harus menyingkirkan semua potensi musuh yang setiap saat bakal menumbangkan saya.  Jadi terus terang saja pintu saya tutup rapat-rapat untuk urusan melonkolia di atas. Saya harus kekeuh pegang prinsip, dengan menjadi pemenang, maka saya mendapatkan kehormatan. Dengan mendapatkan kehormatan maka saya akan mendapatkan keistimewaan; dengan keistimewaan saya layak mendapatkan gelar warga teladan dari negara.  Dengan demikian segala fasilitas kemudahan dan kemewahan melekat secara otomatis ke dalam diri saya.
Hedonisme, sebagai way of life,  itu suci bagi kami, khususnya bagi saya; sama saja dengan pandangan hidup negeri tetangga, kalau tidak salah sebut Pancasila, bagi Indonesia. Untuk bisa hidup hedonis secara murni dan konsekuen, kami harus berjuang mati-matian. Maksdunya, harus tampil secara high profile, tak punya malu, membunuh hati nurani sendiri, egois --  baik individu maupun kelompok (partai) -- piawai berbohong (sampai mesin lie detector, takluk), pandai berakting (hingga rakyat ikut menitikkan air mata saat kita curhat), suka berderma (orang-orang sinis mengatakan kami melakukan money politic), lihai dalam persekongkolan alias konspirasi dan masih banyak lagi strategi dan teknik yang orang-orang iri sering menyebutnya: busuk dan jahat.
Tetapi kami (saya dan teman-teman yang sepaham) sadar betul bahwa posisi di parlemen ini memang sangat istimewa. Kewenangan untuk melegislasi atau tidak melegislasi suatu RUU menjadi UU ternyata kini berharga sangat mahal. Kalau novelis kondang Ernest Hemmingway pernah bangga satu kata dari novelnya dihargai sekian dollar AS oleh penerbit, kami hanya ketawa. Karena satu kalimat bahkan satu kata yang masuk atau harus dihilangkan di alinea atau pasal rancangan undang-undang saja, orang mau bayar hingga miliaran rupiah. Di muka lagi.  Belum lagi gaji dalam bentuk THP, take home pay, dan kejutan-kejutan lain yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Mengapa ini nyaman bagi kami, saya khususnya, karena institusi atau lembaga lain yang ada seperti eksekutif, yudikatif, bahkan pers, sudah satu nada dan irama dengan filosofi kami semua. Kalau toh ada kasus-kasus mencolok yang terkait di lembaga kami atau lembaga setingkat di eksekutif maupun yudikatif,  pers sudah tahu apa yang harus mereka lakukan; ya, mereka segera menyajikan berita-berita kecil seperti orang mencuri buah coklat, sandal jepit, kapuk dan sebagainya menjadi berita besar dan dramatis sehingga orang berpaling ke sana. Bagaimana tidak? Pencuri sandal jepit dituntut jaksa dengan hukuman 5 tahun penjara, kan itu langsung membuat orang bergunjing penuh semangat. Beda dengan negeri tetangga Indonesia; negeri hebat itu lewat lembaga yang disebut KPK, sekarang sedang konsen memburu penjahat di balik kasus-kasus besar yang merugikan negara.
Indonesia, biarlah berjaya dengan komitmen dan supremasi hukumnya; negara saya, Hedonesia Raya, biarlah tetap sebagai negara saya. The right or wrong is my country. Hidup Hedonesia!!!
(kolom-001/smg/24/12/2011)

0 comments:

Post a Comment