Cartoon by Jitet Koestana |
O ya, perkenalkan nama saya Adygank Adigoonk Adygoenha!
Orang sering menyebut saya A3, Mr. A3! Pekerjaan saya politikus; iya, ini
sejujurnya. Bodo amat orang bilang politikus itu bukan pekerjaan tapi media
aktualisasi diri. Yang jelas saya masuk partai politik, pake modal. Mencalonkan
diri jadi anggota parlemen juga pake modal; jadi bila dikorelasikan dengan
hukum ekonomi, pas toh? Barangsiapa berkegiatan di suatu bidang tertentu yang di
dalamnya memerlukan modal uang, maka di situlah kaidah bisnis berlaku. Bahkan
kalau perlu, dengan modal sekecil-kecilnya bisa mendapatkan untung
sebesar-besarnya.
Bukannya nyombong, sebagai anggota parlemen yang bertugas di
Komisi X (baca: eks; bukan sepuluh), saya berhak mendapatkan advantage sebagai warga kelas terhormat;
itulah makanya saya lebih suka pake istilah parlemen bukan wakil rakyat, karena
de facto, kerja saya memang tidak
harus berkaitan dengan kepentingan rakyat. Itu fakta konkret yang perlu
dipahami dulu, soal terminologi itu perlu tuntas dulu sebelum ada suara-suara
berisik yang selalu memojokkan kami, eh saya, wakil rakyat kok nggak pernah
nyambung sama aspirasi rakyat. Jelas dong mereka kan tidak tahu apa yang ada di
kepala dan hati saya, visi, misi, dan motivasi saya bergerak di bisnis ini.
Di Republik Hedonesia Raya -- negeri ini kalau dilihat dari
satelit atau foto udara selalu samar karena tertutup kabut putih yang berasal
dari asap cerutu para bandar, cukong, dan sekutunya dan cerutu itu simbol
establisme abadi soal positioning, segmen dan kelas mereka – saya merasa hidup
nyaman; karena filosofinya jelas: siapa kuat dia yang dapat. Di negara ini kita
semua dipacu untuk terus berkompetisi. Para pemenang, tak peduli gimana trik
dan etika, dipuja dan diapresiasi tinggi sekali; sementara para pecundang,
harus tahu diri, menyingkir ke pinggir. Atau kalau masih punya kehormatan,
bunuh diri!
Kompetisi itu bagi saya seperti ladang kurusetra, tempat
para satria dan musuh bertarung. Seperti halnya di ruang sidang, kami, saya
khususnya, tak beda pengacara yang harus membela klien sehebat-hebatnya. Tak
penting apakah klien itu benar atau salah, pengacara yang tahu artinya profesi
di kepalanya hanya ada kata: menang, menang dan menang! Kompetisi itu juga
persis ideologi bisnis yang paling primitif sekalipun, targetnya hanya satu:
profit! Kalau ingat ini semua, saya sering sedih melihat orang-orang
romantikus, mereka yang sering menyebut kaum idealis, yang menjustifikasi kami,
khususnya saya, sebagai mahluk yang tidak tahu artinya idealisme. Bagaimana
bisa? Semua langkah dan sepakterjang saya di posisi saya adalah karena
idealisme. Masalahnya saja, idealisme kita yang berbeda!
Isu soal kemanusiaan, empati, solidaritas sosial, keberpihakan
pada kaum lemah, apa urusannya dengan saya? Bagaimana saya harus memberi
peluang pada itu, sementara di posisi saya adanya hanya perang. Perang adalah
di mana kalau kita tidak membunuh akan terbunuh. To be or not to be. Untuk survive,
saya harus menyingkirkan semua potensi musuh yang setiap saat bakal
menumbangkan saya. Jadi terus terang
saja pintu saya tutup rapat-rapat untuk urusan melonkolia di atas. Saya harus kekeuh pegang prinsip, dengan menjadi
pemenang, maka saya mendapatkan kehormatan. Dengan mendapatkan kehormatan maka
saya akan mendapatkan keistimewaan; dengan keistimewaan saya layak mendapatkan
gelar warga teladan dari negara. Dengan
demikian segala fasilitas kemudahan dan kemewahan melekat secara otomatis ke
dalam diri saya.
Hedonisme, sebagai way
of life, itu suci bagi kami,
khususnya bagi saya; sama saja dengan pandangan hidup negeri tetangga, kalau
tidak salah sebut Pancasila, bagi Indonesia. Untuk bisa hidup hedonis secara
murni dan konsekuen, kami harus berjuang mati-matian. Maksdunya, harus tampil
secara high profile, tak punya malu,
membunuh hati nurani sendiri, egois -- baik individu maupun kelompok (partai) -- piawai
berbohong (sampai mesin lie detector,
takluk), pandai berakting (hingga rakyat ikut menitikkan air mata saat kita
curhat), suka berderma (orang-orang sinis mengatakan kami melakukan money politic), lihai dalam
persekongkolan alias konspirasi dan masih banyak lagi strategi dan teknik yang
orang-orang iri sering menyebutnya: busuk dan jahat.
Tetapi kami (saya dan teman-teman yang sepaham) sadar betul
bahwa posisi di parlemen ini memang sangat istimewa. Kewenangan untuk
melegislasi atau tidak melegislasi suatu RUU menjadi UU ternyata kini berharga
sangat mahal. Kalau novelis kondang Ernest Hemmingway pernah bangga satu kata dari
novelnya dihargai sekian dollar AS oleh penerbit, kami hanya ketawa. Karena
satu kalimat bahkan satu kata yang masuk atau harus dihilangkan di alinea atau
pasal rancangan undang-undang saja, orang mau bayar hingga miliaran rupiah. Di
muka lagi. Belum lagi gaji dalam bentuk
THP, take home pay, dan
kejutan-kejutan lain yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Mengapa ini nyaman bagi kami, saya khususnya, karena
institusi atau lembaga lain yang ada seperti eksekutif, yudikatif, bahkan pers,
sudah satu nada dan irama dengan filosofi kami semua. Kalau toh ada kasus-kasus
mencolok yang terkait di lembaga kami atau lembaga setingkat di eksekutif
maupun yudikatif, pers sudah tahu apa
yang harus mereka lakukan; ya, mereka segera menyajikan berita-berita kecil
seperti orang mencuri buah coklat, sandal jepit, kapuk dan sebagainya menjadi
berita besar dan dramatis sehingga orang berpaling ke sana. Bagaimana tidak?
Pencuri sandal jepit dituntut jaksa dengan hukuman 5 tahun penjara, kan itu
langsung membuat orang bergunjing penuh semangat. Beda dengan negeri tetangga
Indonesia; negeri hebat itu lewat lembaga yang disebut KPK, sekarang sedang
konsen memburu penjahat di balik kasus-kasus besar yang merugikan negara.
Indonesia, biarlah berjaya dengan komitmen dan supremasi
hukumnya; negara saya, Hedonesia Raya, biarlah tetap sebagai negara saya. The right or wrong is my country. Hidup
Hedonesia!!!
(kolom-001/smg/24/12/2011)
0 comments:
Post a Comment