Friday, February 27, 2009

Wawancara dengan Presiden 2009-2014



Ini dunia metalogika. Saya bertemu dengan Presiden 2009-2014 (selanjutnya saya sebut Presiden 009: double 0 nine). Sosok fisiknya tidak perlu saya gambarkan. Pria atau wanitakah dia, tidak penting dipersoalkan. Sipil atau militerkah latar belakang kariernya? Makin tidak relevan lagi. Lalu bagaimana wujud Presiden 009 itu? Wujudnya adalah energy yang dapat memasuki wadah siapapun pada saat diperlukan.
Malam itu, dari balik kaca sebuah kafe yang setengah remang di lantai 18 sebuah bangunan perkantoran, saya sedang duduk berhadap-hadapan dengan Sang Presiden tersebut. Malam itu udara Jakarta tidak begitu cerah, tidak begitu mendung. Keadaan ini mengingatkanku pada situasi konterapung, yang tidak salah tidak benar; tidak tinggi tidak rendah; tidak ke utara tidak ke selatan. Ya, semacam kondisi golput!
Saya sudah sangat mempersiapkan diri untuk mewawancarai sang presiden; karena kalau Anda tahu, apa yang terjadi di Jakarta, atau di Indonesia secara keseluruhan, maka Anda dapat saja tidak percaya…bagaimana mungkin begitu banyak urusan yang belum beres, namun sejumlah elit penguasa justru seperti tak peduli dan bersibuk-sibuk sendiri dengan main barunya yang bernama: persiapan menyambut pemilihan umum. Ya, mau bagaimana lagi; progresi situasi memang sedang menuju ke sana; setiap elit yang pernah merasakan nikmatnya karcis kekuasaan selama 5 (lima) tahun, tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang amat bagus tersebut. Maka saya tak mau larut pada persoalan rutin kurang tulus itu; karena selalu dilumuri sejumlah motif dan niat tersembunyi para calon penghuni Senayan maupun Istana Negara.
So, saya langsung saja memulai membuka pertanyaan.
“Apa yang menarik dari jabatan pesiden itu, khususnya di negeri Indonesia ini?”
“Saya heran, jabatan presiden itu apa harus dikaitkan dengan persoalan menarik dan tidak menarik? Mengapa tidak dilihat dari kaca mata tanggung jawab dan pertaruhan gagasan?”
“Tanggung jawab? Seperti apa itu? Apa benar mereka punya niat itu di balik kegairahannya yang besar menyapa rakyat dan meminta mereka ingat akan dirinya dalam momentum coblosan nantinya?”
“Begini. Tanggung jawab itu persoalan yang sangat menyelinap di dalam hati seorang manusia yang bernama presiden. Jelasnya saja ada banyak persoalan penting yang menjadi tanggung jawab presiden mengenai bangsanya. Anda lihat: pengangguran, kemiskinan, jarak yang sangat lebar antara yang berpengetahuan dan tidak, penegakan hukum yang bermasalah, visi dan orientasi tentang goal yang dikehendaki Ibu Pertiwi tentang Indonesia yang berkemanusiaan, adil , makmur dan lain-lain yang termuat dalam Pancasila; tetapi faktanya orientasi itu menjadi parsial dan tidak focus, pembangunan ekonomi yang hanya menguntungkan sejumlah kecil elit pengusaha maupun penguasa; pendek kata, semua masalah itu, sekecil apapun selama itu menyengsarakan rakyat, harus diagenda dengan teliti; harus dibuat proyeksi penyelesaian atau pencapaian recovery-nya. Lha itu kan sebenarnya persoalan sederhana kalau seorang manusia Indonesia mau menjadi presiden karena demi rakyatnya; rela memberikan seluruh tenaga dan pikirannya ; rela menyumbangkan harta maupun jiwa bagi bangsa yang dia hormati. Berpuluh-puluh tenaga ahli didatangkan atau diangkat menjadi penasehat tak akan pernah dapat menyelesaikan persoalan kalau visi suci yang ada di hati dan kepala seorang presiden tidak ada. Semua gerakan penyelesaian dan progresi strategis berasal dari hati nurai sang presiden, dialah nakhoda puncak dari sebuah kapal yang sedang melakukan perjalanan pelayaran menuju pulau idaman.”
“Oke, Anda bilang juga soal pertaruhan gagasan?”
“Ya, visi itukan baru gambaran arah yang ingin dituju; tetapi proses menuju ke arah yang akan dituju adalah soal penting lain yang tak dapat dinafikan begitu saja. Dari Jakarta mau ke Purwokerto, naik kendaraan apa yang paling cepat dan aman? Naik pesawat, tetapi turun di Yogyakarta, lalu nyambung naik mobil. Dari Jakarta ke Bandung naik pesawat, disambung mobil ke Purwokerto, mana yang lebih cepat? Atau dari Jakarta ke Purwokerto langsung dengan helicopter? Di dalam melaksanakan visi, terlihat kecerdasan tim presiden; apakah mereka kaya gagasan atau hanya pintar berdalih?”
“Konkretnya tentang Indonesia, apa prioritas Anda untuk mengurai silang sengkarut persoalan yang saling mengkait dan saling mengikat itu?”
“Pola komando yang telanjur dipakai bangsa kita, diakui atau tidak adalah pola komando Top-Down. Dari atas ke bawah; jadi jelas, mau seperti apa model pemimpinnya, mau seperti apa model gagasan dan platform-nya, kalau yang bertengger di jajaran atas tidak berubah, jangan harap negeri ini akan berubah. Contoh kecil, apa yang akan terjadi kalau seorang presiden memakai mobil dinas Kijang? Apa yang akan terjadi dengan jajaran di bawahnya? Apakah itu menteri, gubernur, bupati, camat? Berani mereka pakai BMW, Camry? Apa yang akan terjadi kalau pimpinan parlemen juga pakai Kijang? DPRD-DPRD tidak akan mungkin ugal-ugalan. Sebenarnya, mobil itu kan hanya mobilitas, alat untuk transportasi . Mungkin seorang presiden perlu pengamanan ekstra khusus agar selain sederhana tetap saja aman dan best security-nya. Makanya, makin morat-maritnya negeri ini, terutama dimulai dari set-up ekonomi biaya tinggi seorang pejabat yang nyaris tanpa control DPR; sebab kalau DPR mengontrol, mereka juga akan kena imbasnya; kenikmatan dari posisi itu tidak bakal mereka nikmati. Bahkan, bukan hanya parlemen, semua pejabat; apakah dia eksekutif, legislative maupun yudikatif. Ekonomi biaya tinggi itu terlihat dari royalnya fasilitas; bukan hanya mobil dinas, rumah dinas, tunjangan jabatan, pakaian seragam dan lain-lain tapi juga positioning mental yang membuat seorang pejabat memanfaatkan aji mumpung, karena mereka berpikir setelah tidak menjabat lagi semua keroyalan tadi bakal sirna. Saya tidak tahu, warisan dari mana itu sehingga setiap pejabat harus diperlakukan seperti raja (di masing-masing level); mengapa bukan jabatan itu awal dari sebuah kerja “bakti” yang sangat serius bagi setiap pejabat; dengan demikian aksesoris yang serba fisikal dan artificial itu sebenarnya hanya untuk kebutuhan ritual dan seremoni belaka. Mengapa bukan mengajak setiap pejabat baru , sebelum memulai kerjanya dibawa ke sebuah ruang tempat menenangkan diri agar dia dapat merenung-renung tentang kondisi tanggung jawabnya dalam pekerjaan dan gagasan-gagasan apa saja yang akan dia lempar ke tim kerjanya supaya ia dapat memformulasi menjadi sesuatu karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat.”
“Ada kepala Negara yang memotong gajinya untuk dipersembahkan kepada rakyat; kita kok jauh dari kedermawanan structural seperti itu, ya?”
“Itulah, tradisi di beberapa Negara yang memiliki pemimpin berhati nurani indah, selalu saja ada kabar indah tentang gerakan-gerakan sederhana mereka. Kita? Ya, mengapa kita selalu mengedepankan otak kiri untuk menyelesaikan banyak masalah yang sebenarnya agak ‘gaib’; kepercayaan dan rasa hormat rakyat hanya dapat dibangun dengan otak kanan. Jadi untuk menyelesaikan persoalan bangsa, pertama dan ini tidak dapat ditawar-tawar, adalah harus dimulai dari atas. Semua yang di atas harus memberi contoh hidup sederhana kerja luar biasa. Dengan itu saja, APBN jadi ramping dan gesit. Fasilitas royal dan mewah sudah saatnya dihentikan. Anggaran bidang kerumahtanggaan harus ditata ulang. DPR baru nanti kalau perlu memperhatikan masalah ini; semua pemborosan dan biaya tinggi Negara yang selama ini telah mentradisi perlu menjadi perhatian penting supaya dapat dieliminasi lebih logis; ritual yang memfasilitasi pejabat dengan begitu banyak pemborosan….sudah saatnya untuk diganti dengan ritual baru: fasilitas sederhana kerja luar biasa! Saya membayangkan, bagaimana kalau jadi presiden, jadi gubernur atau jadi pejabat justru kita malah nombok bukan untung, harus menyumbangkan milik pribadinya dan sebagainya dan sebagainya; apa benar situasinya bakal seramai saat ini? Itulah hal ‘gaib’ lain yang tak dapat dielakkan dari situasi perpolitikan Indonesia saat ini yaitu soal mau duit tapi dikemas dalam bahasa yang hebat-hebat dan muter-muter . Apa boleh buat, motif para politisi kadang justru lebih gaib dari naskah pidato panjang maupun orasi menggebu saat kampanye.”
“Saya mendapatkan poin menarik; motto dan komitmen presiden maupun para pejabat baru nanti adalah: fasilitas sederhana, kerja luar biasa! Kita lihat, apakah mampu mereka melaksanakannya?”
“Kita lihat saja; what ever will be, will be….” Ujar Presiden 009 sambil menyanyikan lagu Que sera-sera, yang pernah sangat popular ketika dibawakan oleh penyanyi kulit hitam, Doris Day.
Secangkir the hijau terasa hangat menyelinap di tenggorokan saya. Kami berpisah dengan Presiden 009. Sebagai energy yang menjanjikan pencerahan bagi bangsa Indonesia, kita tunggu saja akan masuk ke wadahnya siapa dia? Ada gurauan di antara kawan-kawan saya, ada kemungkin Presiden 009 itu adalah Satrio Piningit atau Ratu Adil atau apalah cangkingan mitos yang menyertai identifikasi dirinya; tetapi saya lebih melihat sebuah inspirasi, semoga para calon pemimpin bangsa ini; khususnya yang bakal menjadi Presiden RI beneran, tidak melewatkan artikel ini.
Ya, jadi pejabat, siap fasilitas sederhana, kerja luar biasa!
Darminto M. Sudarmo, penulis dan peminat masalah sosial budaya.

0 comments:

Post a Comment