DI luar urusan kartun dan humor, pria yang kebapakan dan lahir di Magelang, Jawa Tengah, 5 Desember 1942, ini adalah benar-benar menjadi “bapak” bagi banyak kartunis muda. Pembawaannya yang kalem dan banyak senyum membuat banyak kartunis muda merasa nyaman berada di dekatnya. Bahkan tak jarang ia menjadi tempat curhat bagi mereka. Bukan curhat sembarang curhat, tetapi sampai pada persoalan yang sangat pribadi; yakni mengenai urusan rumah tangga atau yang sejenisnya.
Pramono memang berjiwa akomodatif; dengan telaten dan sabar ia membantu teman-teman mudanya. Ia jarang memberikan nasihat atau saran secara eksplisit, namun dari ungkapan-ungkapan yang ia sampaikan menyelinap sebuah pesan penting yang menjadi bahan renungan bagi para kartunis yang lebih muda.
Ternyata urusan mengakomodasi persoalan tidak hanya datang dari kalangan lebih muda saja, ia juga dikerubuti berbagai permintaan “pertolongan” dari kawan-kawan atau koleganya yang kadang terlihat dari SMS di telepon selulernya yang tak henti berdering.
Ketika hal itu dikonfirmasikan padanya, ia hanya tersenyum dan mengatakan semua itu dia lakukan dengan senang hati. Sampai akhirnya, ia tak sadar bahwa waktu telah berlalu begitu cepat. Secepat kepindahannya dari Jakarta ke Salatiga, Jawa Tengah. Sampai akhirnya ia kaget setelah menyadari bahwa umurnya telah membentuk angka yang lumayan mantap, sementara berbagai kewajiban masih menanti sentuhannya. Menanti campur tangannya.
Sejak pindah dari Jakarta ke Salatiga, tahun 1995, kesan-kesan penting apa saja yang Anda dapatkan di kota ini, dan mengapa sudah enak-enak di Jakarta lalu pindah ke Salatiga?
Keputusan untuk pindah dari Jakarta ke kola kecil, Satatiga, bukannya tanpa alasan dan pertimbangan-petimbangan tertentu. Bayangkan, sejak masih lajang, kawin, punya anak, dan kamudian maningkat punya cucu, hampir selama 40 tahun tinggal, hidup dan bekerja di kota besar yang makin lama mekin pengap itu.
Aku sudah merasa cukup berjuang untuk hidup dan mencari arti diri habis-habisan seperti yang kuproklamirkan waktu masih muda dulu (1966): “Inilah aku! Akan kutaklukkan engkau Jakarta, dengan kemampuan dan tanganku!”
Empat puluh tahun telah berlalu. Aku tidak menjadi kaya hidup di kota metropolitan, meskipun demikian, kalaupun ada yang memandangku kaya, aku memang kaya dengan sahabat dari berbagai macam suku. Ukuran lain, apa? Rumah? Tabungan? Aku memang ada, sebagai hasil jerih payah kami. Aku dan isteriku menyisihkan dari yang sedikit, tetapi untuk anak-anakku kelak. Agar mereka tidak seperti aku dulu (1966), harus berjalan kaki dari Rawamangun ke Kota pulang-pergi hanya untuk mengambil pesanan gambar ilustrasi Majalah Mingguan Star Weekly atau Harian Umum Sinar Harapan edisi mingguan yang honornya tak seberapa banyak.
Umurku sudah kepala enam plus dan kami bertekad agar anak-anak hidup mandiri dengan kelurganya di rumahnya masing-masing. Istriku bukan tak sayang, tetapi anak-anak dari anakku, cucuku, adalah tanggungjawab dari orang tuanya. Karenanya ia menasihati, nenek bukanlah tempat penitipan cucu. Mereka mau mengerti.
Salatiga memang kota kecil, tapi sejuk. Konon pada zaman Belanda, kota di bawah bayang Gunung Merbabu ini merupakan “Puncak”-nya Jawa Tengah. Bila pagi cuaca cerah. Berdiri di bukit Salib Putih memandang ke arah Rawa Pening, duh teringat ketika aku masih SMP. Naik bus dari Magelang ke Salatiga hanya untuk melihat kebun binatang di Tamansari. Atau ketika di SMA, mengantarkan beberapa ratus kartu ucapan yang kugambar sebisanya pesanan seorang Tionghoa di Jalan Diponegoro.
Kesanku waktu itu, Salatiga kota yang muram. Jam sepuluh pagi kok mash berkabut. Sebentar lagi gerimis; terkadang, sampai sore. Aku jajan bakso dengan uang hasil menggambar kartu di pojok Tamansari mengusir lapar dan dingin sebelum pulang ke Magelang.
Apa kepindahan itu juga menyangkut konsekuensi sebagai warga masyarakat yang salah satu kewajibannya di komunitas tempat tinggal harus melaksanakan tugas siskamling atau jaga malam?
Aku, terutama istriku sadar benar risikonya apabila benar-benar tinggal di kota kecil setelah sakian lama tinggal di kota besar. Tetapi kami memang lahir dan dibesarkan di kampung. Tinggal menyesuaikan perilaku yang sudah telanjur terbentuk sebagai manusia-manusia berkelakuan kota besar: elu-elu, gue-gue!
Lalu kami lepaskan baju dan atribut kota besar. Aku ikut ronda malam dan mangambil jimpitan uang receh di tengah malam. Rapat RT, menengok tetangga yang sedang sakit, atau melayat mereka yang ditinggal mati keluarganya. lbu-ibu ikutan rapat PKK. Ikut kerja bakti bersama, yang selama ini ketika hidup di Jakarta cukup menyorongkan uang ribuan ke Pak RT, dan selebihnya kerja bakti dilakukan orang lain.
"Hidup itu enak, yang membuat susah itu kan orangnya,” seloroh pelawak Tjokrodjio almarhum, yang ternyata selalu aku ingat sebagai salah satu pegangan hidup.
Apakah itu berarti Anda pindah permanen sampai dengan pindah KTP segala?
Kami benar-benar pindah penduduk Salatiga. KTP-nya ya seumur hidup, wong berumur enam puluh tahun lebihh. Untuk melengkapi diri agar tetap boleh tinggal dan bekerja di kantor Jakarta tanpa takut kena operasi justisi, dibuatlah kartu lapor diri laksana KTP DKI Jakarta, yang tiap tahun harus diperpanjang sendiri di Jakarta.
Bagaimana Anda memulai semua itu, harus menyesuaikan diri di tempat yang sama sekali baru dan mungkin tidak pernah Anda bayangkan sebelumnya?
(Pramono memiliki tiga putera; dua orang tinggal di Jakarta bersama istri dan anak-anaknya; sementara seorang tinggal di Kuta, Bali. Dengan tinggal terpisah di Salatiga, situasi akan menjadi seru, karena ada banyak alasan untuk acara bepergian).
“Nggak apa-apa, sambil tengok cucu. Zaman memang sudah berubah. Anak-anak tidak lagi “sowan” ke orang tuanya kalau kangen, tetapi orang tuanyalah yang dirayu untuk menyambangi mereka dengan jurus sang cucu sudah kangen.
Lalu kegiatan Anda sebagai kartunis “Sinar Harapan”, bagaimana Anda memenuhi jadwal dan dead line dari koran tersebut?
Dan zaman memang sudah berteknologi tinggi, serba canggih. Pekerjaanku lancar-lancar saja. Kalau pas di luar kota dulu, mengandalkan pos titipan kilat, atau titip seseorang agar naskah gambar dapat diterima pada waktunya. Sekarang beres dengan jasa internet , Cuma beberapa detik sampai di redaksi koran Sinar Harapan, Jakarta, tempat di mana aku bekerja sebagai karikaturis tetap meski status kontrak.
Selain itu, tampaknya Anda juga belum atau tidak mungkin dapat lepas dari efek domino “Kedai Senyum” Ancol sebagai kartunis yang ahli menggambar wajah klien secara deformatif atau karikatural, apakah hingga kini Anda masih dikejar-kejar para peminat dan fans fanatik Anda itu? Berapa volume tiap bulannya rata-rata?
Aku memang senang bekerja. Apa saja, terutama yang bersentuhan dengan seni. Ketika itu (1989) aku berkesempatan “ngamen” di Pasar Seni Ancol, menggambar wajah kariktural pengunjung. Yang berminat lumayan banyak. Bahkan termasuk orang-orang asing juga. Naluri bisnisku kadang menyeruak dalam benakku, dengan berprinsip pesanan harus sebaik dan sekreatif mungkin, melayani dengan ramah, tepat waktu, dan ongkos gambar bersaing. Yang penting murah tapi tidak murahan.
Beberapa tahun kemudian aku mengundurkan diri sebagai “pengamen” di Pasar Seni Ancol, karena alasan kepindahan ke Salatiga itu (1995). Namun pesanan gambar karikatur itu tetap saja ada. Bahkan beberapa pesanan terpaksa ditolak dengan berbagai alas an, karena pingin istirahat. Mati kutulah aku, bila si pemesan entah dari bank atau kedutaan asing, jauh-jauh datang dari luar kota ke rumahku di Salatiga, langsung memesan tanpa mau mengerti kerepotanku. Sebenarnya bukan soal berapa uang yang aku dapatkan, tetapi jujur saja ada kepuasan batin karyaku diterima dan dipercaya orang. Itu saja…..
Selain begitu padatnya agenda pribadi, komunitas gereja, jaga malam, menggambar untuk SH, menggambar karikatur wajah, urusan keluarga, Anda juga menjadi salah seorang pilar utama Dewan Museum untuk penyiapan dan keberlangsungan Museum Kartun Indonesia Bali, konsep apa saja yang Anda agendakan agar museum kartun ini dapat berperan penting dan menjadi prioritas sasaran tengok para pelancong (domestik maupun asing) yang berkunjung ke Bali?
Repot banget sih, tidak. Artinya tidak serepot waktu sebelum pensiun dulu. Ada saja yang tiba-tiba ingin kukerjakan. Bila lagi bosan mencari ide untuk karikatur, biasanya aku pamit istri untuk ke “kebon”. Maksudnya, ke perkebunan tanaman keras di Salib Putih, sekitar dua kilometer dari rumahku naik ke arah Kopeng. Biasa, cari kenalan baru yang bisa diajak ngobrol dan bercanda. Dari mandor kebun, para karyawan, manajer hingga direkturnya. Beruntung aku kenal baik dengan mereka sekarang ini.
Kalau sudah begitu, tidak sulit mengusulkan ide-ide yang mungkin bisa mereka manfaatkan; misalnya, ketika Pemda Salatiga menyelenggarakan pameran potensi industri, perkebunan Salib Putih itu pun mau memakai desainku untuk diterapkan di stand yang mereka sewa. Lalu agar anak-anak sekolah Salatiga dan sekitarnya mengenal jenis tanaman keras apa saja yang ada di perkebunan, diadakanlah lomba menggambar alam dan pelestariannya dengan hadiah piala Walikota. Tapi Salatiga memang bukan Jakarta. Di Jakarta, belum mengajukan angka sudah ditanya berapa harga sebuah gambar atau desain. Di Salatiga, kebanyakan “pitusetengah”, maksudnya pitulungan setengah meksa, alias gratisan. Tetapi ada juga yang menyorongkan amplop, yang isinya tak seberapa. Tetapi entahlah, tiba-tiba aku menjadi tidak banyak menuntut dalam hidup ini. Harga sebuah persahabatan lebih daripada uang berapa pun banyaknya, hiburku dalam hati. Gusti ora sare! (Tuhan tidak tidur).
Demikian pula ketika aku harus ikut mengurusi Museum Kartun Indonesia Bali yang umurnya belum sampai satu tahun itu, bersama-sama kartunis senior lainnya macam Priyanto S, GM Sudarta, Praba Pangripta dan Darminto MS. Lalu ditambah Istio Adi yang tidak keberatan kusebut “gila” karena mencetuskan ide bikin museum kartun dengan uangnya sendiri.
Ternyata belum sampai setahun Museum Kartun diluncurkan di Bali (medio Maret 08), konon di Sleman, Yogyakarta, juga tengah disiapkan sejenis Galeri Lukisan Kartun, yang menjadi titik poros Yogyakarta – Bali baik untuk base communication/administration maupun untuk segala keperluan yang bersifat men-drive dan mendorong meruaknya wacana tentang kartun (lukisan kartun) di negeri ini; apa kiat-kiat yang tengah disiapkan oleh Dewan Museum agar semuanya dapat berjalan sesuai rencana?
Enjoy saja. Karena aku punya prinsip seperti yang diajarkan orang tuaku dulu, “Urip kuwi, aja dienggo dhewe. Eling marang liyan.” (Hidup itu jangan dinikmati sendiri. Ingat sama yang lain).
Apa yang dapat kupikirkan dan kukerjakan untuk museum kartun pertama di Asia Tenggara tersebut adalah adonan dari pengalaman, penglihatan, bacaan, seminar-seminar, olah kreatif, kerjasama, naluri dagang campur artistik dan ambisi. Untung pikiranku sejalan dengan rekan yang kusebutkan tadi.
Bikin museum jangan seperti membuat gudang barang-barang kuno. Dinding bau lumut, sumpek dan singup (menyeramkan). Sudah begitu penjaganya orang yang sudah tua dan lusuh, yang memberi penjelasan kepada pengunjung seadanya. Kesan tersebut akan tidak ada di museum kartun itu. Prinsip-prinsip museumologi dan museumografi harus diterapkan semaksimal mungkin.
Museum kartun harus menjadi tujuan wisata pendidikan, terutama bagi generasi muda, karena materi dan karya-karya kartun yang ada di museum tersebut memiliki nilai sejarah, ikut mewarnai sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Museum kartun juga harus mampu memberi hiburan edukatif kepada pengunjung dengan memanfaatkan teknologi tinggi untuk kreasi dan inovasi yang tidak ada hentinya. Tapi itu semua membutuhkan dana yang tidak sedikit; padahal sumbernya hanya dari satu kocek. Mana mungkin terwujud dalam setahun dua tahun ini. Mungkin lima sampai sepuluh tahun lagi. Sudah begitu dalam keadaan yang apa adanya sekarang ini pun sudah dikunjungi lembaga-lembaga asing dari Belanda, Australia dan Jepang, dan mereka mengajak bekerjasama. Syukurlah! Artinya pekerjaan tidak sia-sia, berjalan di jalur yang benar; selalu ada harapan ke depan.
Pada tahun 1970-an, wacana tentang seni lukis, masih sama senyapnya dengan persepsi atau apresiasi orang tentang kartun saat ini (dulu hingga 2008-an), tetapi di tahun 1985-an ke atas, tanda-tanda booming lukisan mulai tampak; menurut Anda, mungkinkah di negeri ini akan terjadi booming lukisan kartun/gambar kartun? Kalau mungkin, strategi dan kiat seperti apa yang harus di-drive supaya terciptanya kondisi ke arah sana dapat tercapai?
(Pramono tidak menjawab langsung pertanyaan tersebut. Ia tampak berhenti sejenak; berpikir cukup serius. Ia mengambil jarak dengan tema pertanyaan di atas, lalu mencoba mengarahkan wacana ke kondisi standar).
Optimisme selalu ada dan berkembang; apalagi, bila bertemu dengan kelompoknya para kartunis, macam Pakyo, Kokkang, Karamba, Karaeng dan lain-lain. Bukankah sebagai kartunis, mereka juga menginginkan suatu kemajuan dalam profesinya, ah, jangan profesi, tetapi hobinya mengartun kemudian menjadi profesional kartunis.
Karya-karyanya pun punya nilai seni yang tidak kalah dengan bidang seni lainnya. Siapa yang akan memperjuangkan semua keinginan itu kalau bukan kartunisnya sendiri? Seorang kartunis berkarier secara sendiri-sendiri dapat saja, tetapi berkelompok pun lebih baik. Masalahnya memang terletak pada kemauan keras dan disiplin diri untuk mencapai masa depan yang lebih baik tersebut.
Jika kemudian direalisasikan sebuah museum kartun di Indonesia, siapa pun yang membuat adalah suatu berkat bahwa ada seseorang yang peduli terhadap masa depan kartun dan kartunis Indonesia. Harus segera dimulai. Dan tidak cukup puas dengan itu, harus dibuat suatu sistem dan network yang baik agar dapat menampung, mengapresiasikan dan merealisasikan secepat mungkin cita-cita bersama, mengangkat derajat dan martabat seni kartun dan kartunis Indonesia.
Ternyata belum sampai setahun Museum Kartun diluncurkan di Bali (medio Maret 08), konon di Sleman, Yogyakarta, juga tengah disiapkan sejenis Galeri Lukisan Kartun, yang menjadi titik poros Yogyakarta – Bali baik untuk base communication/administration maupun untuk segala keperluan yang bersifat men-drive dan mendorong meruaknya wacana tentang kartun (lukisan kartun) di negeri ini; apa kiat-kiat yang tengah disiapkan oleh Dewan Museum agar semuanya dapat berjalan sesuai rencana?
Pada akhir tahun 2008 ini kemudian diluncurkan sebuah gedung yang direncanakan untuk cabang, biro, atau galeri baru kepanjangan tangan dari Museum Kartun Indonesia Bali, di kilometer 14 dari Yogyakarta arah Magelang, adalah realisasi dari sebagian network yang sudah didesain sejak semula. Agar para kartunis Jawa Tengah mempunyai “pintu samping” menuju Bali; dengan demikian mereka merasa memiliki dan menjadi bagian dari museum kartun yang ada di Bali. Siapa tahu kelak, bisa jadi galeri baru tersebut meningkat dan menjadi museum kartun baru: Museum Kartun Indonesia Yogyakarta. Dan semua itu tidak tergantung semata pada satu dua orang operator, tetapi merupakan tantangan nyata di depan mata yang harus dihadapi. Sekali lagi semua tergantung pada kemauan keras dan kerjasama penuh disiplin dari para kartunisnya; mau maju atau tidak, kita ini?
Mungkin Anda ada uneg-uneg tentang kartun atau kartunis atau pemerintah atau tetangga atau kawan atau orang di sekitar Anda dan ingin memberi komentar atau guyonan atau membuat karikaturnya, silakan memanfaatkan ruang yang tersedia ini....arigato gozaematzu!
Sebagai akhir dari wawancara ini, saya selalu berpesan kepada rekan-rekan kartunis muda, bahwa jika mereka itu harus mengejar waktu, maka saya justru sedang mengejar umur!
(Darminto M. Sudarmo)
Darminto Digital Abstract Works
-
Balinese Barong by Darminto M Sudarmo
Three Princess Abstraction by Darminto M Sudarmo
See more result *Art Painting World*
*Darminto Fine Art Gallery *
10 years ago
0 comments:
Post a Comment