Hari kamis kemarin, saya duduk semeja dengan dua orang presiden dari Republik Kartun dan Republik Omong Kosong. Duduk semeja bukan berarti ada satu meja terus kita bertiga duduk di atasnya, bukan. Tetapi kami duduk di tiga kursi dan bertopangkan satu meja. Duduk semeja juga tidak berarti kami duduk-duduk saja, tidak pakai omong-omong, bukan. Bukan begitu. Kami ya duduk, ya ngomong, ya kadang-kadang sedikit berdiri kalau mau mengambil kue yang agak jauh letaknya. Jadi kita sepakati, bahwa duduk semeja ya seperti yang saya jelaskan di atas tadi.
Lalu apa anehnya tiga manusia duduk satu meja?
Ya ada dong; masak tidak ada yang aneh kok perlu-perlunya kami duduk satu meja. Buang-buang waktu saja. Keperluan itu muncul setelah kami bertiga sama-sama mencermati “Orasi Budaya Presiden” dari negeri tetangga yang berlangsung tanggal 30 Oktober lalu di sebuah Gedung yang tidak begitu luas dan suk-sukan. Tepatnya di sebuah universitas terkenal dari negeri tetangga tersebut.
Apa isi orasi budaya presiden tetangga itu? Lha itulah yang membuat kami bertiga perlu bertemu lalu duduk dalam satu meja.
Presiden tetangga itu tampak tampil apik dan santai, walaupun baru saja didemo oleh mahasiswa dari universitas yang akan diberi orasi, dan kadang-kadang muncul leluconnya yang cukup elegan dan dapat membuat tertawa anak-anak sekolah dan mahasiswa yang menonton orasinya. Apalagi di antara deretan budayawan yang hadir ada sesosok makhluk langka yang bernama Jaya Suprana; konon dalam setahun ia menghabiskan sertifikat hingga ratusan lembar karena kebaikannya selalu memberi peluang pada warga atau kelompok warga yang ingin memecahkan rekor di museumnya. Kasihan benar ya, rekor kok dipecah-pecah melulu. Mudah-mudahan ia bukan termasuk benda dari jenis pecah-belah.
Selain itu, diam-diam ada sekelompok pria yang masuk kategori invisble EO. Sekelompok pria itu berjumlah tiga orang. Penggiat budaya. Ada yang dosen, ada pengusaha ada pula yang peneliti. Tapi dalam organisasi budaya; mereka tampak semangat banget. Mungkin dalam hati mereka berkata, “Rasain lu! Whatever we are, toh akhirnya dapat menggaet sedikit waktu dari agenda presiden yang padat merayap. Jangan salah loh, nyasarnya Presiden ke universitas karena jasa kita-kita orang loh. Nah, hiiiisbat, kan? Makanya, jangan lo ngeremehin kita. Singkong lu lawan; eh, kingkong lu lawan!”
Bukan hanya publik universitas, Rektor Universitas itu saja mengakui, seumur-umur negeri tetangga yang sudah 63 tahun berdiri dan sekian puluh tahun universitas berdiri, baru sekali itulah Presiden mau singgah dan berorasi (kayak demonstran aja) di kampus universitas tersebut. Jadi kalau benar kerja ketiga orang invisible EO sebagai agen yang berhasil menyabot rute presiden memang harus diacungi jempol.
Tetapi persoalannya tidak cukup sampai di situ, mengapa presiden yang ahli bukan budaya, karena ia seorang doktor dari institut pertanian, harus berorasi masalah yang bukan menjadi bidangnya? Pertanyaannya lagi, penulis naskah pidato yang tampak lebih ahli di bidang bukan budaya, makin menambah panjangnya daftar pertanyaan. Pertanyaan makin panjang ini, khususnya datang dari Presiden Republik Kartun dan Omong Kosong.
“Dalam orasinya, rekan presiden tetangga antara lain mengatakan, selama ini budaya hanya dikaitkan dengan kegiatan seni. Padahal budaya merupakan nilai, gagasan, idealisme, dan pemikiran yang membuat bangsa ini bisa bertahan. Dia bilang lebih lanjut, budaya seharusnya dikembangkan untuk menjadi energi dalam membangun bangsa pada masa depan,” kata Presiden Republik Kartun yang kemudian diamini oleh Presiden Republik Omong Kosong.
“Apanya yang aneh dari orasi presiden tetangga itu?” tanya saya.
“Sangat aneh dan mendistorsi citra presiden sendiri.”
“Saya tidak paham logika Anda berdua. Orasi itu sangat bagus dan punya perspektif luas.”
“Itu kata sampeyan. Kata kami, sangat berbahaya; harusnya si pembuat teks pidato itu jauh-jauh waktu meminta ampun pada presiden agar tidak dijebloskan ke penjara.”
“Ah Anda berdua cuma bercanda. Itu tidak mungkin.”
“Tidak mungkin bagaimana? Tahu nasib Amrozi, Imam Samudera dan Muklas?”
“Ya, ketika tulisan ini ditulis sudah ditetapkan, tinggal nunggu eksekusinya.”
“Mereka dieksekusi karena ditetapkan oleh pengadilan membunuh ras, membunuh manusia; tetapi teks pidato kepala negara yang keliru berarti membunuh karakter kepala negara, karakter pemerintahan yang sah. Lebih mengerikan mana? Ingat lho, kami ngomong ini kapasitasnya sebagai kepala negara, kami tahu persis bila pemerintahan yang sah berhamburan citranya, bukankah itu terjadi karena bom teror juga, kan?”
“Gila! Saya tetap tak bisa menerima logika Tuan Presiden berdua. Jujur hati, saya tetap tidak melihat sesuatu yang keliru atau berbahaya dari teks yang kemudian diorasikan oleh presiden tetangga. Anda jangan waton suloyo. Mari kita cermati lagi teks itu: selama ini budaya hanya dikaitkan dengan kegiatan seni. Padahal budaya merupakan nilai, gagasan, idealisme, dan pemikiran yang membuat bangsa ini bisa bertahan; budaya seharusnya dikembangkan untuk menjadi energi dalam membangun bangsa pada masa depan. Nah, mana yang salah dan berbahaya itu? Tunjukkan tolong. Satu persatu, biar masalahnya jadi clear!”.
Dua presiden dari Republik Kartun dan Republik Omong Kosong tampak bermimik serius. Salah seorang dari mereka kemudian mengutip pernyataan presiden tetangga.
“Cermati ini, selama ini budaya hanya dikaitkan dengan kegiatan seni. Padahal budaya merupakan nilai, gagasan, idealisme, dan pemikiran yang membuat bangsa ini bisa bertahan; tahu kan artinya nilai? Nilai itu wewenang guru atau dosen. Itu artinya mewakili departemen pendidikan nasional. Gagasan itu identik dengan departemen iptek; idealisme itu departemen agama dan pemikiran itu departemen hukum. Bertahan atau pertahanan tahu kan departemennya? Bahkan sampai dikatakan budaya seharusnya dikembangkan untuk menjadi energi. Ini kan lebih gila lagi, di mana muka departemen energi dan sumber daya mineral mau ditaruh?”
“Saya tetap belum paham logika Anda?”
“Itu artinya, kalau semua departemen bermuaranya ke budaya, berarti dalam kabinet presiden tetangga itu yang ada hanya departemen kebudayaan. Lainnya tidak ada. Karena energi, nilai, idealisme dan lain-lain itu adalah budaya. Dan memang kenyataannya seperti itu: politik, ekonomi, pertahanan, iptek, pariwisata, perhubungan dan lain-lain semua adalah budaya. Maka kabinet presiden tetangga itu jadi omong kosong. Kalau cuma satu bukan kabinet, bukan dewan menteri, tetapi menteri saja. Berarti arti dari pemerintah yang terdiri dari presiden, wakil presiden dan dewan menteri tidak terpenuhi, karena menterinya hanya satu, yaitu menteri kebudayaan. Paham?”
Saya hampir pingsan. Tetapi setelah ingat, bahwa logika dari dua presiden yang satu meja dengan saya itu dari republik tertentu dan analisa mereka sangat mendasar, lugas, penuh akal bukan okol, maka kesimpulan sementara yang dapat saya catat adalah, kita memang harus berhati-hati saat beretorika. Termasuk dalam meluncurkan terminologi, kata demi kata, kalimat demi kalimat, alinea demi alinea, makalah demi makalah.
Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.
Lalu apa anehnya tiga manusia duduk satu meja?
Ya ada dong; masak tidak ada yang aneh kok perlu-perlunya kami duduk satu meja. Buang-buang waktu saja. Keperluan itu muncul setelah kami bertiga sama-sama mencermati “Orasi Budaya Presiden” dari negeri tetangga yang berlangsung tanggal 30 Oktober lalu di sebuah Gedung yang tidak begitu luas dan suk-sukan. Tepatnya di sebuah universitas terkenal dari negeri tetangga tersebut.
Apa isi orasi budaya presiden tetangga itu? Lha itulah yang membuat kami bertiga perlu bertemu lalu duduk dalam satu meja.
Presiden tetangga itu tampak tampil apik dan santai, walaupun baru saja didemo oleh mahasiswa dari universitas yang akan diberi orasi, dan kadang-kadang muncul leluconnya yang cukup elegan dan dapat membuat tertawa anak-anak sekolah dan mahasiswa yang menonton orasinya. Apalagi di antara deretan budayawan yang hadir ada sesosok makhluk langka yang bernama Jaya Suprana; konon dalam setahun ia menghabiskan sertifikat hingga ratusan lembar karena kebaikannya selalu memberi peluang pada warga atau kelompok warga yang ingin memecahkan rekor di museumnya. Kasihan benar ya, rekor kok dipecah-pecah melulu. Mudah-mudahan ia bukan termasuk benda dari jenis pecah-belah.
Selain itu, diam-diam ada sekelompok pria yang masuk kategori invisble EO. Sekelompok pria itu berjumlah tiga orang. Penggiat budaya. Ada yang dosen, ada pengusaha ada pula yang peneliti. Tapi dalam organisasi budaya; mereka tampak semangat banget. Mungkin dalam hati mereka berkata, “Rasain lu! Whatever we are, toh akhirnya dapat menggaet sedikit waktu dari agenda presiden yang padat merayap. Jangan salah loh, nyasarnya Presiden ke universitas karena jasa kita-kita orang loh. Nah, hiiiisbat, kan? Makanya, jangan lo ngeremehin kita. Singkong lu lawan; eh, kingkong lu lawan!”
Bukan hanya publik universitas, Rektor Universitas itu saja mengakui, seumur-umur negeri tetangga yang sudah 63 tahun berdiri dan sekian puluh tahun universitas berdiri, baru sekali itulah Presiden mau singgah dan berorasi (kayak demonstran aja) di kampus universitas tersebut. Jadi kalau benar kerja ketiga orang invisible EO sebagai agen yang berhasil menyabot rute presiden memang harus diacungi jempol.
Tetapi persoalannya tidak cukup sampai di situ, mengapa presiden yang ahli bukan budaya, karena ia seorang doktor dari institut pertanian, harus berorasi masalah yang bukan menjadi bidangnya? Pertanyaannya lagi, penulis naskah pidato yang tampak lebih ahli di bidang bukan budaya, makin menambah panjangnya daftar pertanyaan. Pertanyaan makin panjang ini, khususnya datang dari Presiden Republik Kartun dan Omong Kosong.
“Dalam orasinya, rekan presiden tetangga antara lain mengatakan, selama ini budaya hanya dikaitkan dengan kegiatan seni. Padahal budaya merupakan nilai, gagasan, idealisme, dan pemikiran yang membuat bangsa ini bisa bertahan. Dia bilang lebih lanjut, budaya seharusnya dikembangkan untuk menjadi energi dalam membangun bangsa pada masa depan,” kata Presiden Republik Kartun yang kemudian diamini oleh Presiden Republik Omong Kosong.
“Apanya yang aneh dari orasi presiden tetangga itu?” tanya saya.
“Sangat aneh dan mendistorsi citra presiden sendiri.”
“Saya tidak paham logika Anda berdua. Orasi itu sangat bagus dan punya perspektif luas.”
“Itu kata sampeyan. Kata kami, sangat berbahaya; harusnya si pembuat teks pidato itu jauh-jauh waktu meminta ampun pada presiden agar tidak dijebloskan ke penjara.”
“Ah Anda berdua cuma bercanda. Itu tidak mungkin.”
“Tidak mungkin bagaimana? Tahu nasib Amrozi, Imam Samudera dan Muklas?”
“Ya, ketika tulisan ini ditulis sudah ditetapkan, tinggal nunggu eksekusinya.”
“Mereka dieksekusi karena ditetapkan oleh pengadilan membunuh ras, membunuh manusia; tetapi teks pidato kepala negara yang keliru berarti membunuh karakter kepala negara, karakter pemerintahan yang sah. Lebih mengerikan mana? Ingat lho, kami ngomong ini kapasitasnya sebagai kepala negara, kami tahu persis bila pemerintahan yang sah berhamburan citranya, bukankah itu terjadi karena bom teror juga, kan?”
“Gila! Saya tetap tak bisa menerima logika Tuan Presiden berdua. Jujur hati, saya tetap tidak melihat sesuatu yang keliru atau berbahaya dari teks yang kemudian diorasikan oleh presiden tetangga. Anda jangan waton suloyo. Mari kita cermati lagi teks itu: selama ini budaya hanya dikaitkan dengan kegiatan seni. Padahal budaya merupakan nilai, gagasan, idealisme, dan pemikiran yang membuat bangsa ini bisa bertahan; budaya seharusnya dikembangkan untuk menjadi energi dalam membangun bangsa pada masa depan. Nah, mana yang salah dan berbahaya itu? Tunjukkan tolong. Satu persatu, biar masalahnya jadi clear!”.
Dua presiden dari Republik Kartun dan Republik Omong Kosong tampak bermimik serius. Salah seorang dari mereka kemudian mengutip pernyataan presiden tetangga.
“Cermati ini, selama ini budaya hanya dikaitkan dengan kegiatan seni. Padahal budaya merupakan nilai, gagasan, idealisme, dan pemikiran yang membuat bangsa ini bisa bertahan; tahu kan artinya nilai? Nilai itu wewenang guru atau dosen. Itu artinya mewakili departemen pendidikan nasional. Gagasan itu identik dengan departemen iptek; idealisme itu departemen agama dan pemikiran itu departemen hukum. Bertahan atau pertahanan tahu kan departemennya? Bahkan sampai dikatakan budaya seharusnya dikembangkan untuk menjadi energi. Ini kan lebih gila lagi, di mana muka departemen energi dan sumber daya mineral mau ditaruh?”
“Saya tetap belum paham logika Anda?”
“Itu artinya, kalau semua departemen bermuaranya ke budaya, berarti dalam kabinet presiden tetangga itu yang ada hanya departemen kebudayaan. Lainnya tidak ada. Karena energi, nilai, idealisme dan lain-lain itu adalah budaya. Dan memang kenyataannya seperti itu: politik, ekonomi, pertahanan, iptek, pariwisata, perhubungan dan lain-lain semua adalah budaya. Maka kabinet presiden tetangga itu jadi omong kosong. Kalau cuma satu bukan kabinet, bukan dewan menteri, tetapi menteri saja. Berarti arti dari pemerintah yang terdiri dari presiden, wakil presiden dan dewan menteri tidak terpenuhi, karena menterinya hanya satu, yaitu menteri kebudayaan. Paham?”
Saya hampir pingsan. Tetapi setelah ingat, bahwa logika dari dua presiden yang satu meja dengan saya itu dari republik tertentu dan analisa mereka sangat mendasar, lugas, penuh akal bukan okol, maka kesimpulan sementara yang dapat saya catat adalah, kita memang harus berhati-hati saat beretorika. Termasuk dalam meluncurkan terminologi, kata demi kata, kalimat demi kalimat, alinea demi alinea, makalah demi makalah.
Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.
0 comments:
Post a Comment