Oleh Darminto M Sudarmo
Bukti bahwa kartunis Indonesia, khususnya para kartunis lepas, gelisah, sudah terlihat sejak tahun 1980-an. Maka ketika terjadi “Pertemuan Kartunis Nasional” yang bertempat di Balai Wartawan – Semarang, Jawa Tengah (sekarang: Hotel Ciputra-Simpang Lima) pada 1984-an, dengan agenda besar yang diusung: upaya pemberdayaan kartunis terkait dengan posisinya sebagai profesi, mudah ditebak apa yang terjadi kemudian: kartunis Indonesia “menggugat”. Menggugat pada siapa? Tentu saja menggugat pada pihak pemegang otoritas rubrik kartun di media atau redaktur penjaga gawang, supaya porsi pemuatan untuk karya kartun lebih diseriusi (kuantitasnya, diperbanyak). Salah satu rekomendasi yang dicuatkan saat itu adalah mengimbau media massa (koran dan majalah) memberikan peluang selayak-layaknya lewat penyediaan rubrik yang di dalamnya memuat gambar kartun sebagai menu rutin media tersebut.
Bukti bahwa kartunis Indonesia, khususnya para kartunis lepas, gelisah, sudah terlihat sejak tahun 1980-an. Maka ketika terjadi “Pertemuan Kartunis Nasional” yang bertempat di Balai Wartawan – Semarang, Jawa Tengah (sekarang: Hotel Ciputra-Simpang Lima) pada 1984-an, dengan agenda besar yang diusung: upaya pemberdayaan kartunis terkait dengan posisinya sebagai profesi, mudah ditebak apa yang terjadi kemudian: kartunis Indonesia “menggugat”. Menggugat pada siapa? Tentu saja menggugat pada pihak pemegang otoritas rubrik kartun di media atau redaktur penjaga gawang, supaya porsi pemuatan untuk karya kartun lebih diseriusi (kuantitasnya, diperbanyak). Salah satu rekomendasi yang dicuatkan saat itu adalah mengimbau media massa (koran dan majalah) memberikan peluang selayak-layaknya lewat penyediaan rubrik yang di dalamnya memuat gambar kartun sebagai menu rutin media tersebut.