SMART

Kecerdasan itu sublim.

CREATIVITY

Menyelinap dan menggetarkan.

INSTRUMENTATION

Efisiensi dan akselarasi.

IDEA

Serba tak terduga.

SOMETHING DIFFERENT AND NEW

Kiat untuk menarik perhatian.

Monday, January 19, 2009

Pilihan dan Konsekuensi karya Tiyok

Sirkuit Instan karya Tiyok

Thursday, January 15, 2009

Kapan Utang Indonesia Beres? Karya Tiyok

Friday, January 02, 2009

Krisis Global 2009 Karya Jitet Koestana


Mutu Humor Televisi

Oleh : Darminto M. Sudarmo

Latar belakangnya begini; dulu sekali, kira-kira 14 tahun yang lalu. Harian Kompas edisi pertengahan hingga ujung bulan Maret 1994 menurunkan topik “Humor Televisi” secara maraton dan mengundang respons sejumlah “pakar humor” untuk terlibat dalam dialog yang khas itu. Nama-nama seperti Edi Sedyawati (waktu itu Dirjen Kebudayaan), Djathi Koesoemo (pelawak Kwartet S yang waktu itu jadi anggota DPR), Jaya Suprana, dan Asrul Sani (ketika belum almarhum), menambah semaraknya dialog yang “dipandu” oleh H. Sujiwo Tejo (waktu itu belum jadi penyanyi, masih jadi dalang “wayang mbeling” dan wartawan harian tersebut).
Topik utama dimulai dari “gugatan” terhadap kecenderungan humor-humor televisi yang digarap asal jadi. Belum jelas benar pemisahan istilah “humor televisi” itu dari segi produksi. Buatan dalam negeri atau impor. Namun dari beberapa komentar yang muncul, tersirat bahwa gugatan itu – terutama—ditujukan kepada humor televisi produksi dalam negeri. Titik pusat gugatan itu secara tersirat “mencemaskan” dampak apresiasi yang mungkin timbul jika masyarakat penonton terus-menerus dijejali paket semacam itu.
Seorang rekan saya, Den Mas Koplon, yang menurut penuturannya sangat mencintai produksi dalam negeri langsung bereaksi “lucu”. Ia, pertama-tama “mencurigai” pemilihan topik itu. Menurutnya, topik itu muncul dari kegelisahan “estetika intelektual” barat. Yang entah sadar atau tidak tumbuh dari bentukan pola pikir budaya modern. Kedua, ia mempertanyakan, benarkah produk “humor televisi” impor yang ditayangkan di televisi kita telah memenuhi kriteria lucu dan bermutu menurut sikap budaya masyarakat kita? Ketiga, efektifkah jika “birokrasi” sensor mutu terhadap produksi humor televisi dipertajam lagi dengan mengikutsertakan sejumlah “aparat” dari Dirjen Kebudayaan?
Wah! Saya langsung geleng-geleng kepala. Sebagai manusia yang menghargai pluralitas opini, seberapa sengak dan nyelekitnya diskusi, saya tetap akan mencoba berdiri sebagai insan yang harus belajar. Air dan udara harus dibiarkan mengalir; itu kalau tak ingin daya hidup dimakan takdir, apalagi, sebelum waktunya, ha ha.
“Apa maksud Sampeyan itu, Den Mas?” tanya saya.
“Pertama, saya ingin menegaskan lagi. Saat ini, bahkan sejak beberapa dekade yang lalu, masyarakat modern sendiri—baca: barat—sudah mulai kecewa pada tatanan yang ditawarkan dan digembargemborkan bakal mensejahterakan umat manusia itu. Mereka, lewat sejumlah ahli pikir, mulai mempertanyakan dan mengkritik resep yang dinilai banyak kelemahannya itu. Tatanannya dinilai tidak luwes, otoriter, meremehkan nilai-nilai lokal dan tergila-gila pada yang “kosmopolitan”. Bahkan begitu yakinnya pada kecanggihan resep itu, sejumlah manusia di dunia, cenderung establis dan memandang dengan sebelah mata fenomena-fenomena kecil, yang lokal, yang kalah, yang jadi pecundang dan lain-lain..”
“Sabar... sabar, Den Mas. Kenapa pembicaraan Sampeyan jadi melebar sejauh itu?”
“Lho! Justru inilah kunci utama masalahnya.”
“Soal humor televisi yang kita bicarakan tadi, itu?”
“Iya. Coba you bayangkan. Kalau citarasa manusia sedunia sudah seragam. Kalau yang dianggap bagus itu “A”, maka yang bukan “A” jelas tidak bagus. Nilai dan cara memandang nilai jadi hitam putih. Apa you bisa nikmat nonton semua bioskop yang seluruh gambarnya hitam putih terus? Bukankah itu bagian dari trend masa lalu, meski sesekali jadi menarik karena pluralitasnya...”
“Tapi, terus terang saja saya masih bingung. Apa hubungannya dengan ‘estetika intelektual’ modern yang Sampeyan bilang tadi?”
“Rupanya telmi juga Ente, ya. Gampangnya, saya menolak pemusatan kiblat, bahwa yang bagus adalah ‘A’. Jadi, kalau kemudian muncul warna-warni tawaran, misalnya ada ‘B’, ada ‘C’ dan lain-lain hingga ‘Z’, saya tetap akan mengapresiasi dengan cara yang proporsional. Saya tidak akan merelakan sebuah fenomena ‘B’ dinilai dan dihakimi dengan tata nilai ‘A’. Biarlah ‘A’ sebagai ‘A’, tapi jangan terlalu campur tangan ke dalam wilayah yang memiliki muatan normanya sendiri...”
“Waduh! Kok Sampeyan jadi galak banget begitu, sih? Maaf, ya. Bukankah cara Sampeyan mengemukakan sesuatu dengan ungkapan ‘harus’ begini-begitu, ‘jangan’ begini-begitu, juga menunjukkan bahwa Sampeyan masih terjebak pola pikir totaliter yang Sampeyan kritik tadi?”
“Hus! Ente tahu apa?”
“Terus, keberatan kedua, apa maksudnya?” dengan gemetaran saya mencoba melanjutkan dialog.
“Saya tetap masih meragukan bahwa sejumlah humor televisi impor pasti lebih bagus daripada produksi dalam negeri. Saya punya asumsi, di antara sejumlah produk impor tentu memiliki gradasi, berupa: bagus sekali, bagus, sedang, jelek, dan jelek sekali. Begitu juga produk dalam negeri. Dengan catatan, tempatkan cara penilaian secara proporsional. Jangan otoriter, jangan pakai ukuran ekstrem.”
“Lalu...?”
“Saya ingin menggugat balik ‘generalisasi’ yang ditiupkan Jaya Suprana, bahwa pernyataannya itu bisa berbahaya. Dampaknya luas: mematahkan semangat bahkan nyali para ‘komedian’ yang sedang dalam proses belajar atau bahkan sedang menjadi ‘korban’ tata nilai modern itu.”
“Oh! Sungguh tak kusangka...”
“Untunglah... di akhir pernyataannya, Jaya Suprana memberi imbangan solusi. Bahwa dia, termasuk beberapa intelektual kita, bisa jadi karena juga menjadi ‘korban’ tata nilai ‘estetika intelektual’ barat. Sehingga obsesinya tentang humor televisi yang bagus itu, begini atau begitu...”
“Apa itu bukan sindiran santun atas kelemahan insan humor televisi kita?”
“Itu saya tidak tahu. Tapi yang perlu Ente ingat, bahwa kecenderungan berseragam dan universal itu perlu kita tinjau lagi. Lihat saja desain arsitektur gedung-gedung bertingkat di kota besar seluruh dunia? Sungguh monoton dan kotak-kotak belaka? Apa itu yang kita inginkan? Apa bedanya New York dan Surabaya? Apa bedanya Jakarta dan Paris?”
”Lalu keberatan ketiga soal sensor mutu?”
“Lha, semua orang juga sudah tahu. Membuat humor di negeri kita itu tidak gampang. Ada sejumlah ‘pagar’ yang keramat, ada kode etik di bidang SARA, ada kode etik bisnis, ada kode etik susila, sosial dan sebagainya. Belum lagi kenyataan sehari-hari yang lebih lucu. Betapa beratnya. Sudah begitu, masih mau ditambah ‘pagar’ lagi. Sebagian besar masyarakat kita belum siap untuk menertawakan kekurangan dan ketololan kita sendiri. Maunya: citra kita harus sempurna. Masing-nasing korps, masing-masing komunitas, masing-masing kelompok dan lain-lain penginnya beridentitas sempurna.
“Begitu korps terusik ‘humor’, langsung bereaksi. Contoh yang sederhana, sebuah iklan soal pasien dan perawat. Begitu si pembuat iklan menghumorkan si perawat—yang sebenarnya sangat manusia dan manusiawi—toh muncul sejumlah surat pembaca di media yang memprotes ‘humor’ model begituan. Menurunkan kredibilitas, inilah, itulah. Celakanya, institusi televisi atau periklanan, langsung menanggapinya secara ‘ekstrem’ pula. Tak ada dialog, langsung dieksekusi. Lha, bagaimana kreator humor tidak ‘kebat-kebit’? Biji kacang mana yang bisa tumbuh ditanam dalam lumpur magma?”
“Lho... kok jadi ngambeg begitu, Den Mas? Den Mas, mau ke mana?”
Den Mas Koplon tidak mendengar kata-kata saya lagi. Ia bergegas pergi. Begitu terburu-buru kepergiannya, sehingga wajah dan tubuhnya menabrak kaca tanpa tirai yang ada dalam ruangan itu. Kaca itu tebal tapi bening sekali. Ia terhenti dengan mimik kesakitan. Sejenak menoleh ke arah saya sambil meringis. Di situlah, menurut penuturannya, ia memperoleh pelajaran besar—sebuah pencerahan—bahwa yang sudah sangat jelas itu, ternyata bisa menjadi sangat tidak jelas.*****

Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.