SMART

Kecerdasan itu sublim.

CREATIVITY

Menyelinap dan menggetarkan.

INSTRUMENTATION

Efisiensi dan akselarasi.

IDEA

Serba tak terduga.

SOMETHING DIFFERENT AND NEW

Kiat untuk menarik perhatian.

Sunday, December 07, 2008

Catatan Akhir Dekade, Kolom, Esai, Artikel, Opini Seorang Humoris

Menyimak kolom-kolom Art Buchwald, kita mendapatkan tulisan yang ringkas-tangkas -pedas kadang nakal kadang lucu tentang berbagai persoalan aktual. Namanya kolom kontekstual. Kolom yang terkait dengan peristiwa dan berita yang lagi jadi pembicaraan orang banyak. Berbeda dengan sebagian besar karya Simon Carmiggelt (nama pena: Kronkel). Kolomnis asal Belanda ini, kendati menulis kolom tetap berpijak dari basic-nya sebagai pengarang. Sehingga karya-karya kolomnya banyak yang bernuansa universal. Masih dapat dinikmati pada ruang dan waktu yang berjarak dari saat ditulis. Ibarat kata seperti cerpen, lebih pendek lagi; seperti joke atau anekdot, lebih panjang lagi.
Menikmati kolom karya MAW Brouwer, kita seperti dijerat ke dalam teka-teki pengembaraan dan piknik literatur penulisnya yang selalu membaca buku baru. Yang sesekali mengutip-kutip dan menjadikan kutipan itu sebagai landasan visi atau gagasan penulisnya. Atau setidaknya, sebagai sebuah asumsi, penulis tidak sembarangan asal cuap; ada peneliti sosial atau orang serius yang telah melakukan pengkajian tentang hal tersebut. Situasi membaca semacam itu juga didapati oleh sebagian pembaca saat menyimak kolom (Catatan Pinggir)-nya Goenawan Mohamad. Bukan saja GM melakukan wisata literatur yang bukan main jauhnya, ia juga melakukan wisata fisik, dan wisata ide yang kadang cukup mengejutkan. Di sinilah, di dalam kejutan-kejutan inilah kita dapati rasa humor penulisnya. Rasa yang sama sekali berbeda saat kita membaca tulisan yang memiliki ide bagus namun disajikan secara kering dan tanpa sentuhan rasa intelektual.
Menikmati kolom tulisan Emha Ainun Nadjib beda lagi. Kalau yang dikisahkan tentang drama rumah tangga, kita mendapatkan suasana yang sangat dramatis. Kalau yang diceritakan orang yang sedang berdebat, maka kata-kata yang muncul sungguh menyengat-nyengat. Di sinilah keunikan menyimak tulisan Emha, sangat nikmat, sangat lezat. Alur tulisannya mengalir rapi-runtut. Ibarat orang menyanyi atau pidato, artikulasinya enak didengar. Ceritanya mungkin tentang seorang penipu yang kena tipu, tetapi di tangan Emha, suasana menjadi sangat kaya tekstur dan daya pikat. Kita enggan berhenti, sampai titik huruf paling akhir.
Di lain waktu kita berkesempatan membaca tulisan H. Mahbub Djunaidi, yang bersumpah tidak akan berhenti menulis hingga ajal menjemput; karena Pak Haji ini seorang jurnalis (eh, dia lebih suka disebut sebagai sastrawan ketimbang politikus), maka sentuhan dan keunikan dari kolomnya juga beda; yakni kaya data atau detail. Deskripsinya ruaaarrr biasa. Laporan pandangan matanya juga “ampun”, deh. Ueeenak tenan. Ibarat kata, Pak Haji ini menyelam ke dalam lautan atau masuk ke liang semut, saat kita membaca tulisannya, kita seperti ikut dengannya. Di kemudian hari, pada saat lain kita membaca tulisan Harry Roesli, si Akang badung dari Bandung ini. Pasti terkaget-kaget kita dibuatnya. Kata-katanya langsung, tanpa tedeng aling-aling. Tidak suka muter-muter, lugas, kadang juga ganas, tetapi soal ide-idenya jangan tanya. Semakin gila semakin dia suka. Jangan harap ada SMS gila berseliweran di HP-nya, pasti langsung dia tangkap dan dijadikan bahan tulisan.
Jauh sebelum eranya Kang Harry, ada era yang menjadi milik humoris dan humorolog Arwah Setiawan. Lelucon-lelucon Arwah banyak yang bikin “pegel” hati. Karena jauh sekali dari frame orang waras. Istilah sekarang, Arwah banyak menggunakan kiat atau jurus plesetan; tetapi plesetan tidak sembarang pleseta, melainkan plesetan logika. Misalnya dia sesumbar sanggup menulis kolom hanya kurang dari satu detik. Ini sungguh bikin berang para penulis serius yang biasanya bikin lead saja, stresnya sudah kayak ayam mau bertelur; lha kok berani-beraninya dia nyombong bikin kolom kurang dari satu detik; ternyata setelah kita tantang, dia mengambil kertas dan spidol, lalu menulis huruf-huruf: k o l o m, maka jadilah tulisan kolom itu. Apa ini bukan semprul?
Tulisan-tulisan karya Parakitri T. Simbolon, Romo Sindhu (Sindhunata), Jacob Soemardjo, Arief Budiman, Ariel Heryanto, Suka Hardjana, Remy Sylado, Rocky Gerung, dan banyak lagi orang-orang cerdas yang menyimpan energi humor cukup besar, akan makin lengkap kalau mereka ditemukan dengan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), Gus Mus (KH Mustofa Bisri) dan Jaya Suprana. Dan kekuatan energi budaya berupa rasa humor yang menyelinap ke dalam otak orang seperti Wimar Witoelar, makin menggila ketika dia harus diseret ke gelanggang untuk “bertarung” dengan Jaya Suprana dan dimoderatori pelawak Dono dari Warkop DKI. Debat keduanya yang pernah diujicobakan di sebuah sesi, memang tidak sedang menulis kolom, tetapi secara tersurat, mereka sebenarnya juga sedang menulis namun tidak dengan huruf melainkan dengan bunyi, lewat mulut dan gerak tubuh. Peristiwa itu pernah sengaja diadakan ketika ulang tahun Majalah HumOr di Hotel Indonesia, Jakarta, tahun 1995. Meriah banget dan ger-geran!
Pada kisaran tahun 1990-1992-an, pembaca pernah dikejutkan oleh tulisan seorang penulis kolom yang sebelumnya kurang dikenal namun sekalinya muncul di Majalah Tempo. Gaya tulisannya naif, sederhana namun menyimpan gagasan-gagasan yang selalu mengejutkan. Penulis yang tenang dan pendiam seperti gunung itu tiada lain selain Mohamad Sobary. Foto yang menyertai artikelnya pun tampaknya seperti memakai baju anak seragam sekaolah. Tetapi gunungnya Sobary ternyata di dalamnya menyimpan magma kreativitas yang tak kunjung kering ditambang. Hanya belakangan gaya tulisan Sobary tidak lagi mengingatkan kita pada pelabuhan alam atau pemandangan sawah yang asri di Bantul, Yogyakarta; kita sudah melihat Sobary yang sangat pintar, yang orang tidak berani lagi memanggil “Pak Lik” tetapi “Oom”; tidak berani memanggil “Kang” tetapi “Mas” atau “Abang”.
Itulah sekelumit kenangan tentang para penulis kolom atau artikel atau opini atau esai yang menyimpan rasa humor di kedalaman instrinsiknya; yang tulisan-tulisannya cukup menggelitik perasaan intelektual pembacanya (ya, minimal saya); yang pura-puranya dijuduli “evaluasi” agar tampak kompak memberi isi pada ujung tahun 2008 ini. Sebagai kenangan pula di bawah akan diposting tulisan saya dengan nama samaran Atin Supriyatin berjudul “Kontemplasi Kolom” yang pernah dimuat di KOMPAS, pada Selasa, 17 Mei 1994.

Catatan: Nama-nama Art Buchwald, Simon Carmiggelt, MAW Brouwer, Mahbub Djunaidi, Arwah Setiawan, Dono Warkop dan Harry Roesli sudah almarhum, namun karya-karya mereka tetap dapat dinikmati dan hidup sepanjang masa.

Kontemplasi Kolom

SEBUAH artikel seyogianya juga memiliki kekuatan untuk berkontemplasi. Ketika penalaran dan asumsi menemui jalan buntu, maka artikel bergaya kontemplatif (selanjutnya kita sebut: kolom) dapat mengambil bagian di antaranya. Tak selalu sebuah masalah cukup diisyarati dengan sejumlah solusi praktis dan ilmiah. Karena, mungkin saja masih ada sejumlah kendala yang tak tertangkap oleh perangkat ilmu yang bersifat wadag atau materiel-matematis.
Kolom adalah artikel yang memiliki kekuatan menyelinap. Ia mampu menjenguk ke dalam inti perenungan manusia. Tidak menggurui, lepas dari berbagai beban praktis yang kadangkala acap “menjerumuskan” pembaca ke dalam ego dan anarki persepsi. Pada kasus-kasus yang amat sublim dan krusial, kehadiran kolom memberi semacam isyarat-isyarat awal tentang sebuah risiko maupun peluang.

***

TANPA disadari, negeri kita memiliki sejumlah kolomnis yang rajin menyumbangkan pemikirannya ke berbagai media. Mereka terdiri atas berbagai figur dengan berbagai disiplin ilmu. Dengan tulisan bergaya kolom, sejumlah kolomnis terkesan lebih mampu menjenguk persoalan dengan pendekatan yang segar dan lancar. Pada saat demikian, mereka tampak lebih leluasa menampilkan peranannya tanpa dirisaukan oleh kaidah-kaidah ilmiah (kendati bergaya populer). Adakalanya, bahkan, dari isyarat-isyarat kecil yang ditampilkan, pembaca dapat menangkap muatan substansi tajam dan memiliki implikasi luas.
Kolomnis almarhum M. A. W. Brouwer, misalnya, betapapun terkenal tulisan-tulisannya sulit dipahami bagi sejumlah pembaca, namun tetap mempesona dari sudut pandang kekayaan khasanah dan referensi. Di saat lain juga menantang ketajaman daya tangkap pembacanya. Mungkin ia berbeda dengan Gus Dur atau Emha Ainun Nadjib. Namun dalam bunga rampai peta kolomnis Indonesia, M. A. W. Brouwer memiliki tempat tersendiri dan belum tergantikan.
Selain tampil dengan berbagai kejelian, acapkali artikel kolom terasa lebih basah. Sarat kritik dan humor segar. Wajar, jika kolom lebih menggoda pembaca daripada artikel yang “kering”, padat dan dikepung terminologi-terminologi teknis. Tanpa mengurangi penghargaan pada artikel atau opini umumnya, dalam situasi keseharian yang serba sibuk dan sempit waktu, artikel kolom setidaknya menempati prioritas yang lebih bisa bersaing.

***

KOLOMNIS Art Buchwald dari Amerika Serikat, mungkin sebuah kekecualian. Selain ia beruntung secara geografis, juga diuntungkan oleh sistem politik yang memberi peluang baginya untuk mengkritik tanpa risiko “diamankan”. Telah beratus-ratus kolom dihasilkan olehnya. Bahkan kolomnya juga diterbitkan oleh berbagai media di seluruh dunia dalam bahasa negara masing-masing.
Ini membuktikan sebuah kolom betapapun sangat lokal dan tipikalnya, tetap memiliki daya pikat bagi negeri-negeri lain. Selain ia merefleksikan kondisi sosial politik pada suatu konteks, ternyata kolom juga memuat nilai-nilai universal yang menarik bagi umat manusia di atas bumi ini.
Art Buchwald, selain pintar membidik dalam gaya humor yang penuh satire, juga memiliki kepiawaian dalam mengolah logika. Ia acapkali membalik-balikkan logika sedemikian frontalnya sehingga saraf pembaca diaduk-aduk. Sementara itu, plot demi plot konstruksi cerita yang dibangunnya menggiring benak pembaca ke dalam suasana bisosiatif yang kian meruncing dan kemudian berakhir dalam sebuah persinggungan arus plus dan minus, sehingga tercapailah sebuah titik ledak yang menghenyakkan pembaca ke dalam perenungan-perenungan penuh gelitik.

***

APAKAH Buchwald berarti lebih hebat dari kolomnis kita? Tidak selalu. Emha Ainun Nadjib, contohnya. Hemat saya, ia bintang kolomnis kita saat ini. Emha memiliki strategi yang unik dalam mengolah masalah yang krusial dan penuh ranjau garis singgung sekalipun. Cara membidiknya tidak sefrontal Buchwald. Namun, ia telah menemukan strategi khusus. Mengambil analogi perumpamaan orang Jawa, maka kata yang paling tepat untuk strateginya adalah “nyolu”.
Ia angkat dan junjung setinggi-tingginya orang yang dia kritik. Dia bela mati-matian. Kemudian, seolah-olah ia menyalahkan orang yang acapkali mengkritik dan mengecam si tokoh. Dan pada titik yang sangat halus dan santun, ia mendudukkan masalah pada porsi dan proporsinya. Di sinilah, pembaca dibuat kaget secara dadakan: atau paling tidak “ketawa” atau “mengumpat” dalam hati, karena merasa terkecoh dan dipermainkan oleh gaya retorikanya yang unik dan genuine.
Demikian, untuk sekadar menyebut beberapa kemungkinan melongok bagian-bagian di balik proses penciptaan artikel kolom: yang bila terpublikasi, dapat merangsang timbulnya jaring-jaring kontemplasi dan dialog yang tak kunjung habis daya tariknya.

Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor; tinggal di Semarang, bekerja di Jakarta.

"Project" Goes Forever, Karya GM Sudarta


Thursday, December 04, 2008

Wawancara dengan Pramono R. Pramoedjo: Sedang Mengejar Umur

DI luar urusan kartun dan humor, pria yang kebapakan dan lahir di Magelang, Jawa Tengah, 5 Desember 1942, ini adalah benar-benar menjadi “bapak” bagi banyak kartunis muda. Pembawaannya yang kalem dan banyak senyum membuat banyak kartunis muda merasa nyaman berada di dekatnya. Bahkan tak jarang ia menjadi tempat curhat bagi mereka. Bukan curhat sembarang curhat, tetapi sampai pada persoalan yang sangat pribadi; yakni mengenai urusan rumah tangga atau yang sejenisnya.
Pramono memang berjiwa akomodatif; dengan telaten dan sabar ia membantu teman-teman mudanya. Ia jarang memberikan nasihat atau saran secara eksplisit, namun dari ungkapan-ungkapan yang ia sampaikan menyelinap sebuah pesan penting yang menjadi bahan renungan bagi para kartunis yang lebih muda.
Ternyata urusan mengakomodasi persoalan tidak hanya datang dari kalangan lebih muda saja, ia juga dikerubuti berbagai permintaan “pertolongan” dari kawan-kawan atau koleganya yang kadang terlihat dari SMS di telepon selulernya yang tak henti berdering.
Ketika hal itu dikonfirmasikan padanya, ia hanya tersenyum dan mengatakan semua itu dia lakukan dengan senang hati. Sampai akhirnya, ia tak sadar bahwa waktu telah berlalu begitu cepat. Secepat kepindahannya dari Jakarta ke Salatiga, Jawa Tengah. Sampai akhirnya ia kaget setelah menyadari bahwa umurnya telah membentuk angka yang lumayan mantap, sementara berbagai kewajiban masih menanti sentuhannya. Menanti campur tangannya.
Sejak pindah dari Jakarta ke Salatiga, tahun 1995, kesan-kesan penting apa saja yang Anda dapatkan di kota ini, dan mengapa sudah enak-enak di Jakarta lalu pindah ke Salatiga?
Keputusan untuk pindah dari Jakarta ke kola kecil, Satatiga, bukannya tanpa alasan dan pertimbangan-petimbangan tertentu. Bayangkan, sejak masih lajang, kawin, punya anak, dan kamudian maningkat punya cucu, hampir selama 40 tahun tinggal, hidup dan bekerja di kota besar yang makin lama mekin pengap itu.
Aku sudah merasa cukup berjuang untuk hidup dan mencari arti diri habis-habisan seperti yang kuproklamirkan waktu masih muda dulu (1966): “Inilah aku! Akan kutaklukkan engkau Jakarta, dengan kemampuan dan tanganku!”
Empat puluh tahun telah berlalu. Aku tidak menjadi kaya hidup di kota metropolitan, meskipun demikian, kalaupun ada yang memandangku kaya, aku memang kaya dengan sahabat dari berbagai macam suku. Ukuran lain, apa? Rumah? Tabungan? Aku memang ada, sebagai hasil jerih payah kami. Aku dan isteriku menyisihkan dari yang sedikit, tetapi untuk anak-anakku kelak. Agar mereka tidak seperti aku dulu (1966), harus berjalan kaki dari Rawamangun ke Kota pulang-pergi hanya untuk mengambil pesanan gambar ilustrasi Majalah Mingguan Star Weekly atau Harian Umum Sinar Harapan edisi mingguan yang honornya tak seberapa banyak.
Umurku sudah kepala enam plus dan kami bertekad agar anak-anak hidup mandiri dengan kelurganya di rumahnya masing-masing. Istriku bukan tak sayang, tetapi anak-anak dari anakku, cucuku, adalah tanggungjawab dari orang tuanya. Karenanya ia menasihati, nenek bukanlah tempat penitipan cucu. Mereka mau mengerti.
Salatiga memang kota kecil, tapi sejuk. Konon pada zaman Belanda, kota di bawah bayang Gunung Merbabu ini merupakan “Puncak”-nya Jawa Tengah. Bila pagi cuaca cerah. Berdiri di bukit Salib Putih memandang ke arah Rawa Pening, duh teringat ketika aku masih SMP. Naik bus dari Magelang ke Salatiga hanya untuk melihat kebun binatang di Tamansari. Atau ketika di SMA, mengantarkan beberapa ratus kartu ucapan yang kugambar sebisanya pesanan seorang Tionghoa di Jalan Diponegoro.
Kesanku waktu itu, Salatiga kota yang muram. Jam sepuluh pagi kok mash berkabut. Sebentar lagi gerimis; terkadang, sampai sore. Aku jajan bakso dengan uang hasil menggambar kartu di pojok Tamansari mengusir lapar dan dingin sebelum pulang ke Magelang.
Apa kepindahan itu juga menyangkut konsekuensi sebagai warga masyarakat yang salah satu kewajibannya di komunitas tempat tinggal harus melaksanakan tugas siskamling atau jaga malam?
Aku, terutama istriku sadar benar risikonya apabila benar-benar tinggal di kota kecil setelah sakian lama tinggal di kota besar. Tetapi kami memang lahir dan dibesarkan di kampung. Tinggal menyesuaikan perilaku yang sudah telanjur terbentuk sebagai manusia-manusia berkelakuan kota besar: elu-elu, gue-gue!
Lalu kami lepaskan baju dan atribut kota besar. Aku ikut ronda malam dan mangambil jimpitan uang receh di tengah malam. Rapat RT, menengok tetangga yang sedang sakit, atau melayat mereka yang ditinggal mati keluarganya. lbu-ibu ikutan rapat PKK. Ikut kerja bakti bersama, yang selama ini ketika hidup di Jakarta cukup menyorongkan uang ribuan ke Pak RT, dan selebihnya kerja bakti dilakukan orang lain.
"Hidup itu enak, yang membuat susah itu kan orangnya,” seloroh pelawak Tjokrodjio almarhum, yang ternyata selalu aku ingat sebagai salah satu pegangan hidup.
Apakah itu berarti Anda pindah permanen sampai dengan pindah KTP segala?
Kami benar-benar pindah penduduk Salatiga. KTP-nya ya seumur hidup, wong berumur enam puluh tahun lebihh. Untuk melengkapi diri agar tetap boleh tinggal dan bekerja di kantor Jakarta tanpa takut kena operasi justisi, dibuatlah kartu lapor diri laksana KTP DKI Jakarta, yang tiap tahun harus diperpanjang sendiri di Jakarta.
Bagaimana Anda memulai semua itu, harus menyesuaikan diri di tempat yang sama sekali baru dan mungkin tidak pernah Anda bayangkan sebelumnya?
(Pramono memiliki tiga putera; dua orang tinggal di Jakarta bersama istri dan anak-anaknya; sementara seorang tinggal di Kuta, Bali. Dengan tinggal terpisah di Salatiga, situasi akan menjadi seru, karena ada banyak alasan untuk acara bepergian).
“Nggak apa-apa, sambil tengok cucu. Zaman memang sudah berubah. Anak-anak tidak lagi “sowan” ke orang tuanya kalau kangen, tetapi orang tuanyalah yang dirayu untuk menyambangi mereka dengan jurus sang cucu sudah kangen.
Lalu kegiatan Anda sebagai kartunis “Sinar Harapan”, bagaimana Anda memenuhi jadwal dan dead line dari koran tersebut?
Dan zaman memang sudah berteknologi tinggi, serba canggih. Pekerjaanku lancar-lancar saja. Kalau pas di luar kota dulu, mengandalkan pos titipan kilat, atau titip seseorang agar naskah gambar dapat diterima pada waktunya. Sekarang beres dengan jasa internet , Cuma beberapa detik sampai di redaksi koran Sinar Harapan, Jakarta, tempat di mana aku bekerja sebagai karikaturis tetap meski status kontrak.
Selain itu, tampaknya Anda juga belum atau tidak mungkin dapat lepas dari efek domino “Kedai Senyum” Ancol sebagai kartunis yang ahli menggambar wajah klien secara deformatif atau karikatural, apakah hingga kini Anda masih dikejar-kejar para peminat dan fans fanatik Anda itu? Berapa volume tiap bulannya rata-rata?
Aku memang senang bekerja. Apa saja, terutama yang bersentuhan dengan seni. Ketika itu (1989) aku berkesempatan “ngamen” di Pasar Seni Ancol, menggambar wajah kariktural pengunjung. Yang berminat lumayan banyak. Bahkan termasuk orang-orang asing juga. Naluri bisnisku kadang menyeruak dalam benakku, dengan berprinsip pesanan harus sebaik dan sekreatif mungkin, melayani dengan ramah, tepat waktu, dan ongkos gambar bersaing. Yang penting murah tapi tidak murahan.
Beberapa tahun kemudian aku mengundurkan diri sebagai “pengamen” di Pasar Seni Ancol, karena alasan kepindahan ke Salatiga itu (1995). Namun pesanan gambar karikatur itu tetap saja ada. Bahkan beberapa pesanan terpaksa ditolak dengan berbagai alas an, karena pingin istirahat. Mati kutulah aku, bila si pemesan entah dari bank atau kedutaan asing, jauh-jauh datang dari luar kota ke rumahku di Salatiga, langsung memesan tanpa mau mengerti kerepotanku. Sebenarnya bukan soal berapa uang yang aku dapatkan, tetapi jujur saja ada kepuasan batin karyaku diterima dan dipercaya orang. Itu saja…..
Selain begitu padatnya agenda pribadi, komunitas gereja, jaga malam, menggambar untuk SH, menggambar karikatur wajah, urusan keluarga, Anda juga menjadi salah seorang pilar utama Dewan Museum untuk penyiapan dan keberlangsungan Museum Kartun Indonesia Bali, konsep apa saja yang Anda agendakan agar museum kartun ini dapat berperan penting dan menjadi prioritas sasaran tengok para pelancong (domestik maupun asing) yang berkunjung ke Bali?
Repot banget sih, tidak. Artinya tidak serepot waktu sebelum pensiun dulu. Ada saja yang tiba-tiba ingin kukerjakan. Bila lagi bosan mencari ide untuk karikatur, biasanya aku pamit istri untuk ke “kebon”. Maksudnya, ke perkebunan tanaman keras di Salib Putih, sekitar dua kilometer dari rumahku naik ke arah Kopeng. Biasa, cari kenalan baru yang bisa diajak ngobrol dan bercanda. Dari mandor kebun, para karyawan, manajer hingga direkturnya. Beruntung aku kenal baik dengan mereka sekarang ini.
Kalau sudah begitu, tidak sulit mengusulkan ide-ide yang mungkin bisa mereka manfaatkan; misalnya, ketika Pemda Salatiga menyelenggarakan pameran potensi industri, perkebunan Salib Putih itu pun mau memakai desainku untuk diterapkan di stand yang mereka sewa. Lalu agar anak-anak sekolah Salatiga dan sekitarnya mengenal jenis tanaman keras apa saja yang ada di perkebunan, diadakanlah lomba menggambar alam dan pelestariannya dengan hadiah piala Walikota. Tapi Salatiga memang bukan Jakarta. Di Jakarta, belum mengajukan angka sudah ditanya berapa harga sebuah gambar atau desain. Di Salatiga, kebanyakan “pitusetengah”, maksudnya pitulungan setengah meksa, alias gratisan. Tetapi ada juga yang menyorongkan amplop, yang isinya tak seberapa. Tetapi entahlah, tiba-tiba aku menjadi tidak banyak menuntut dalam hidup ini. Harga sebuah persahabatan lebih daripada uang berapa pun banyaknya, hiburku dalam hati. Gusti ora sare! (Tuhan tidak tidur).
Demikian pula ketika aku harus ikut mengurusi Museum Kartun Indonesia Bali yang umurnya belum sampai satu tahun itu, bersama-sama kartunis senior lainnya macam Priyanto S, GM Sudarta, Praba Pangripta dan Darminto MS. Lalu ditambah Istio Adi yang tidak keberatan kusebut “gila” karena mencetuskan ide bikin museum kartun dengan uangnya sendiri.
Ternyata belum sampai setahun Museum Kartun diluncurkan di Bali (medio Maret 08), konon di Sleman, Yogyakarta, juga tengah disiapkan sejenis Galeri Lukisan Kartun, yang menjadi titik poros Yogyakarta – Bali baik untuk base communication/administration maupun untuk segala keperluan yang bersifat men-drive dan mendorong meruaknya wacana tentang kartun (lukisan kartun) di negeri ini; apa kiat-kiat yang tengah disiapkan oleh Dewan Museum agar semuanya dapat berjalan sesuai rencana?
Enjoy saja. Karena aku punya prinsip seperti yang diajarkan orang tuaku dulu, “Urip kuwi, aja dienggo dhewe. Eling marang liyan.” (Hidup itu jangan dinikmati sendiri. Ingat sama yang lain).
Apa yang dapat kupikirkan dan kukerjakan untuk museum kartun pertama di Asia Tenggara tersebut adalah adonan dari pengalaman, penglihatan, bacaan, seminar-seminar, olah kreatif, kerjasama, naluri dagang campur artistik dan ambisi. Untung pikiranku sejalan dengan rekan yang kusebutkan tadi.
Bikin museum jangan seperti membuat gudang barang-barang kuno. Dinding bau lumut, sumpek dan singup (menyeramkan). Sudah begitu penjaganya orang yang sudah tua dan lusuh, yang memberi penjelasan kepada pengunjung seadanya. Kesan tersebut akan tidak ada di museum kartun itu. Prinsip-prinsip museumologi dan museumografi harus diterapkan semaksimal mungkin.
Museum kartun harus menjadi tujuan wisata pendidikan, terutama bagi generasi muda, karena materi dan karya-karya kartun yang ada di museum tersebut memiliki nilai sejarah, ikut mewarnai sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Museum kartun juga harus mampu memberi hiburan edukatif kepada pengunjung dengan memanfaatkan teknologi tinggi untuk kreasi dan inovasi yang tidak ada hentinya. Tapi itu semua membutuhkan dana yang tidak sedikit; padahal sumbernya hanya dari satu kocek. Mana mungkin terwujud dalam setahun dua tahun ini. Mungkin lima sampai sepuluh tahun lagi. Sudah begitu dalam keadaan yang apa adanya sekarang ini pun sudah dikunjungi lembaga-lembaga asing dari Belanda, Australia dan Jepang, dan mereka mengajak bekerjasama. Syukurlah! Artinya pekerjaan tidak sia-sia, berjalan di jalur yang benar; selalu ada harapan ke depan.
Pada tahun 1970-an, wacana tentang seni lukis, masih sama senyapnya dengan persepsi atau apresiasi orang tentang kartun saat ini (dulu hingga 2008-an), tetapi di tahun 1985-an ke atas, tanda-tanda booming lukisan mulai tampak; menurut Anda, mungkinkah di negeri ini akan terjadi booming lukisan kartun/gambar kartun? Kalau mungkin, strategi dan kiat seperti apa yang harus di-drive supaya terciptanya kondisi ke arah sana dapat tercapai?
(Pramono tidak menjawab langsung pertanyaan tersebut. Ia tampak berhenti sejenak; berpikir cukup serius. Ia mengambil jarak dengan tema pertanyaan di atas, lalu mencoba mengarahkan wacana ke kondisi standar).
Optimisme selalu ada dan berkembang; apalagi, bila bertemu dengan kelompoknya para kartunis, macam Pakyo, Kokkang, Karamba, Karaeng dan lain-lain. Bukankah sebagai kartunis, mereka juga menginginkan suatu kemajuan dalam profesinya, ah, jangan profesi, tetapi hobinya mengartun kemudian menjadi profesional kartunis.
Karya-karyanya pun punya nilai seni yang tidak kalah dengan bidang seni lainnya. Siapa yang akan memperjuangkan semua keinginan itu kalau bukan kartunisnya sendiri? Seorang kartunis berkarier secara sendiri-sendiri dapat saja, tetapi berkelompok pun lebih baik. Masalahnya memang terletak pada kemauan keras dan disiplin diri untuk mencapai masa depan yang lebih baik tersebut.
Jika kemudian direalisasikan sebuah museum kartun di Indonesia, siapa pun yang membuat adalah suatu berkat bahwa ada seseorang yang peduli terhadap masa depan kartun dan kartunis Indonesia. Harus segera dimulai. Dan tidak cukup puas dengan itu, harus dibuat suatu sistem dan network yang baik agar dapat menampung, mengapresiasikan dan merealisasikan secepat mungkin cita-cita bersama, mengangkat derajat dan martabat seni kartun dan kartunis Indonesia.
Ternyata belum sampai setahun Museum Kartun diluncurkan di Bali (medio Maret 08), konon di Sleman, Yogyakarta, juga tengah disiapkan sejenis Galeri Lukisan Kartun, yang menjadi titik poros Yogyakarta – Bali baik untuk base communication/administration maupun untuk segala keperluan yang bersifat men-drive dan mendorong meruaknya wacana tentang kartun (lukisan kartun) di negeri ini; apa kiat-kiat yang tengah disiapkan oleh Dewan Museum agar semuanya dapat berjalan sesuai rencana?
Pada akhir tahun 2008 ini kemudian diluncurkan sebuah gedung yang direncanakan untuk cabang, biro, atau galeri baru kepanjangan tangan dari Museum Kartun Indonesia Bali, di kilometer 14 dari Yogyakarta arah Magelang, adalah realisasi dari sebagian network yang sudah didesain sejak semula. Agar para kartunis Jawa Tengah mempunyai “pintu samping” menuju Bali; dengan demikian mereka merasa memiliki dan menjadi bagian dari museum kartun yang ada di Bali. Siapa tahu kelak, bisa jadi galeri baru tersebut meningkat dan menjadi museum kartun baru: Museum Kartun Indonesia Yogyakarta. Dan semua itu tidak tergantung semata pada satu dua orang operator, tetapi merupakan tantangan nyata di depan mata yang harus dihadapi. Sekali lagi semua tergantung pada kemauan keras dan kerjasama penuh disiplin dari para kartunisnya; mau maju atau tidak, kita ini?
Mungkin Anda ada uneg-uneg tentang kartun atau kartunis atau pemerintah atau tetangga atau kawan atau orang di sekitar Anda dan ingin memberi komentar atau guyonan atau membuat karikaturnya, silakan memanfaatkan ruang yang tersedia ini....arigato gozaematzu!
Sebagai akhir dari wawancara ini, saya selalu berpesan kepada rekan-rekan kartunis muda, bahwa jika mereka itu harus mengejar waktu, maka saya justru sedang mengejar umur!
(Darminto M. Sudarmo)

Monday, December 01, 2008

Augustin Sibarani, di Mata Tiga Kartunis Senior Indonesia


Tanggal 25 Oktober 2008 lalu, kartunis kawakan Augustin Sibarani resmi mendapat anugerah maestro yang diberikan oleh Museum Kartun Indonesia Bali. Bagi peminat kartun berusia muda banyak yang bertanya-tanya, siapa itu Sibarani sehingga namanya tiba-tiba saja muncul dan mendapatkan anugerah yang luar biasa bergengsi: maestro. Gelar yang bukan main-main. Seperti sebuah proses stilisasi yang mencapai puncak, mencapai titik kesempurnaan; padahal, kalangan muda itu belum habis mengerti dan terjawab pertanyaannya, siapa gerangan Augustin Sibarani itu?
Secara singkat dapat dijelaskan, kartunis asal Pematangsiantar, Sumatera Utara ini lahir pada tahun 1925. Selebihnya dapat kita simak sebagaimana dijelaskan oleh kartunis Priyanto Sunarto berikut ini: Masa kecilnya dilalui di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Kemudian masih pada zaman Belanda masuk sekolah pertanian Bogor, dan semula ia bekerja sebagai pegawai pertanian (sebagai sinder perkebunan karet di Merbuh, Boja, Kendal, Jawa Tengah dan di perkebunan karet di Jawa Timur – dms). Setelah gambarnya mulai menjanjikan masa depan lebih baik, ia memusatkan perhatian pada kartun dan karikatur. Dia juga menulis artikel tentang karikatur di koran. Karikaturis politik yang menonjol masa itu selain Sibarani, antara lain Ramelan di Suluh Indonesia dan S. Soeharto (bukan presiden) di Indonesia Raya. Dan rata-rata kartunis masa itu memang lebih berani, terbuka dan tajam dibanding pada masa matangnya Orde Baru.
Sejak tahun 1955 Sibarani mulai menjadi karikatuis tetap di koran Bintang Timur yang berhaluan kiri, hingga koran tersebut ditutup tahun 1965. Di koran itulah makin menonjol kepiawaiannya dalam gambar sindir karikatur. Meskipun Bintang Timur berhaluan kiri, karikaturnya tak menunjukkan ciri realisme sosialis dogmatis seperti pada koran Harian Rakjat yang juga sangat kiri. Karikatur Sibarani lebih nakal, liar dan lincah bermain metafora: Kuda Troya, nenek sihir, penjinak cobra, kartun babi Disney dan berbagai ungkapan masyarakat global lain. Karikaturnya membuat Bintang Timur jadi terlihat cerdas dalam berungkap.
Karena perubahan iklim politik, pada masa Orde Baru Sibarani tak mendapat tempat di media massa. Baru sekitar tahun 1998 ia membuat karikatur lagi yang disebarkan “di bawah tangan” melalui fotokopi di kalangan teman baik di Indonesia, di Perancis dan Amerika. Begitu Orde Baru jatuh barulah ia dapat bernafas lagi menerbitkan bukunya “Karikatur dan Politik” (2001). Dalam buku itu dimuat pula karikatur bawah tanahnya. Kadang ia masih membuat karikatur di majalah Pantau (ketika masih berkantor di Utan Kayu, Jakarta-dms), dan menyelenggarakan pameran lukisan.
Demikianlah riwayat singkat Augustin Sibarani, tokoh Tapianauli yang berhasil menjadi karikaturis terkemuka di negeri ini…
Sementara itu, kartunis GM Sudarta berpendapat: SRANI, adalah tanda-tangan suatu kartun di sebuah surat kabar yang saya ketahui pertama kali di tahun 65-an, setiba saya di Jakarta. Waktu itu, yang sangat menarik bagi saya adalah garis yang kuat dengan ide komentar peristiwa yang terjadi dengan lugas tanpa basa-basi. Kritiknya tajam dan kadang sangat menusuk jantung saya. Seperti misalnya dalam sebuah risalah yang ditulis oleh Ben Anderson di sebuah penerbitan, di mana di situ dimuat kartun Srani, yang menggambarkan Amerika menyedot Indonesia, kemudian pejabat Indonesia menyedot tinja yang dikeluarkan Amerika dan rakyat kecil menyedot tinja yang dikeluarkan oleh pejabat.
Baru kemudian saya mengenal ia adalah Augustin Sibarani, setelah saya mulai bekerja di koran, menjadi ilustrator dan kartunis. Karya-karyanya yang masih muncul, bertubi-tubi menggedor hati saya, sehingga ada pergolakan batin saya dalam tahun-tahun berikutnya setelah saya mulai benar-benar menjadi kartunis. Terutama setelah menginjak masa-masa Orde Baru, di mana polusi serba berbau G30S, masih manguasai negara kita.
Suatu peristiwa yang membuat saya gerah dengan keadaan, adalah ketika saya mulai terjun di PWI, Persatuan Wartawan Indonesia, seksi karikatur. Dalam suatu acara pameran kartun saya ingin mengajak beliau untuk berperan serta, tetapi dilarang oleh Menteri Penerangan pada waktu itu, dengan alasan tidak jelas.
Dalam pemeran kartun yang diselenggarakannya sendiri di Balai Budaya, Jakarta, di tahun 70-an, kami, kaum kartunis sangat mendukung. Ia juga pernah berpameran lukisan yang fenomenal di tempat yang sama. Semua lukisan tak lepas dari kritik sosial. Beberapa karikatur dan lukisannya kini tersimpan sebagai koleksi surat kabar Kompas.
Di masa Orde Soeharto itu, memang kondisi dan situasi kehidupan pers sangat berubah. Karya-karya yang lugas, tajam, seperti karyanya yang telah menguasai kekaguman saya, sangatlah sulit saya terapkan. Kita maklum akan adanya SIUPP, SIT dan pembreidelan koran. Sehingga mungkin apa yang dinamakan kartun “Indonesian Style”, menjadi semacam apologia saya dalam menyampaikan kritik lewat kartun. Dan kemudian pula, Ben Anderson mengatakan bahwa kartun saya kritik lewat lucu-lucuan.
Memang! Meskipun demikian, karya Sibarani yang muncul di luar negeri atau pernah di majalah SWA pimpinan Arwah Setiawan, tetaplah seperti semula, tajam dan lugas, dengan humor yang lebih mengesankan tragis. Sikap berpendiran teguh seperti batu karang dalam karya-karya yang menyoroti kebobrokan Orde Baru, tanpa tedeng aling-aling manggambarkan Soeharto dan para pejabat serta kroninya, adalah yang kemdian Ben Anderson menyebutnya pula sebagai kartunis “single fighter” di tengah dunia basa-basi Indonesia. Augustin Sibarani, memang maestro sejati!
Pramono R. Pramoedjo salah seorang kartunis seangkatan GM Sudarta, Priyanto Sunarto, juga memiliki pendapat tentang kartunis Sibarani. Pramono berpendapat: Sebenarnya saya tidak begitu mengenal Augustin Sibarani secara pribadi; kecuali, mengenalnya sebagai seorang karikaturis kawakan yang sudah berkiprah dan malang melintang di bidang karikatur sejak zaman Bung Karno, presiden pertama negeri ini.
Para karikaturis yang kemudian “lahir” sejak era pemerintahan Presiden Soeharto, termasuk saya, yang merasa memiliki gaya penggambaran kartun dan cara menyampaikan pesan yang agak berbeda, berhasil tumbuh dan selamat (...atau menyelematkan diri dari “mata elang” pemerintah saat itu yang membatasi kebebasan mengemukakan pendapat) sampai sekarang, tidak begitu berusaha menyimak gaya karikatur Sibarani tersebut. Apalagi kemudian ia kena breidel pemerintah; tidak boleh lagi membuat karikatur untuk dimuat di media massa Indonesia. Cap yang dikenakan padanya konon ia seorang komunis; menyerahkah Sibarani pada vonis tersebut? Tidak. Ia berganti kegiatan dan menekuni kembali kemampuannya melukis. Saya juga tidak tahu apakah ia juga diam-diam membuat karikatur meski disimpan untuk koleksi pribadinya.
Pertemuan dengan Sibarani yang agak mengesankan adalah ketika ia datang ke Redaksi Suara Pembaruan tahun 1980-an dengan membawa buku Sisingamangaraja karangannya. Ia memberi pesan agar terus berkarya dan berjuang melawan ketidakbenaran melalui media karikatur.
Pertemuan kedua adalah ketika ia dating ke pameran tunggal karikatur karya saya di Taman Ismail Marzuki, bulan Mei 2007, meski saya lupa mengundangnya. Tetapi justru ia ikut memberi sambutan dengan bersemangat. Ketika beranjak pulang dari ruang pameran yang dijejali dengan 250 karya karikatur, ia dengan didampingi Gorky, anaknya, sempat mengacungi jempol dan mengatakan, “Cukup berani, teruskan!”
Pertemuan ketiga, bulan Juni 2008 yang lalu, di rumah tinggalnya di kompleks perumahan bilangan Jalan Fatmawati, ia berseru, “Ah, Pramono!” sambutnya sambil merangkul akrab. Ia sudah kelihatan sangat sepuh. Jalan pun dengan susah payah; untung segera dituntun Gorky untuk duduk di kursinya. Tidak lagi terlihat seorang Sibarani yang berjalan dengan gagah dengan memakai baret merah di kepalanya. Tetapi sorot matanya masih setajam dulu. Ia mencoba bicara, tetapi sudah sangat lemah. Melalui Gorky, penerjemah suaranya, ia mengatakan bahwa yang ditinggali sekarang pun bukan rumahnya. Tetapi ia tetap konsisten sebagai karikaturis. Ia “bergerilya” mengirim karikaturnya ke luar negeri; mengkritik tajam pemimpin Indonesia yang menyelewengkan kekuasaan dan jabatannya.
Dari namanya orang sudah tahu bahwa ia seorang putera Batak. Maka tak heran bila kita melihat karyanya, akan terkesan keras, lugas, dan pesan yang ingin disampaikannya pun sangat langsung menohok ke masalah dan sekaligus menuding ke tokoh-tokoh di belakang masalah tersebut. Langsung, verbal, dan saya tidak merasakan ada humornya sama sekali. Tetapi memang itulah ciri khasnya; gayanya!
Demikian pandangan tiga orang kartunis senior Indonesia atas kiprah dan sikap kesenian kartunis Sibarani yang menurut penuturannya sendiri pernah berkali-kali dibujuk untuk dijanjikan hidup enak di negeri Paman Sam dan semua karya lukisnya akan dibeli mahal oleh orang-orang utusan Amerika Serikat asalkan dia mau berhenti membuat karikatur. Berhenti menggambar karikatur! Tetapi Sibarani menolak bujuk rayu itu.
Satu hal yang orang jarang tahu, di kampung halamannya, Siantar, di masa kecil Sibarani (1930-an) ternyata ia anak orang yang sangat berada. Sedikitnya, secara kehormatan maupun kekayaan berada di lapis kedua setelah Raja Siantar dan Raja Simalungun.
Ada yang berteori setengah bercanda kaitannya dengan stigma komunis yang pernah diterimanya, mana mungkin orang berlatar belakang borjuis-elitis lalu dengan mudah berubah menjadi beringas dan menjadi penganut realisme sosialis dogmatis. Tetapi begitulah, sejarah hidup Augustin Sibarani mungkin harus terjadi seperti yang selama ini dialaminya. Seperti komedian Charlie Chaplin yang pada suatu ketika diburu-buru dan akhirnya “diusir” dari Amerika karena stigma komunis, tetapi pada ketika yang lain, ia diburu-buru juga untuk diajak pulang ke Amerika; bukan untuk diadili dan dipenajara; tetapi justru untuk diberi penghargaan!

Darminto M. Sudarmo, Penulis dan pengamat humor.