SMART

Kecerdasan itu sublim.

CREATIVITY

Menyelinap dan menggetarkan.

INSTRUMENTATION

Efisiensi dan akselarasi.

IDEA

Serba tak terduga.

SOMETHING DIFFERENT AND NEW

Kiat untuk menarik perhatian.

Wednesday, November 12, 2008

Anatomi Koruptor


“OBAMA menang, Obama menang!!!” begitu teriakan masyarakat sejagad. Teriakan itu adalah juga cetusan harapan masyarakat sedunia yang rindu akan adanya perubahan; tepatnya lagi, perbaikan. Perbaikan apa saja. Bahkan salah seorang rekan saya dari Australia, kartunis dan penulis buku anak produktif, Rolf Heimann, berkeyakinan, “Hari ini tanggal 5 November, adalah sebuah hari istimewa, yang akan diingat bertahun-tahun.Saya baru mendengar pidato Obama. Saya harus mengakui, ada air mata di wajahku, tanpa merasa malu. Saya yakin orang itu akan menjadi presiden AS yang paling baik.”
Kemenangan Barack Obama sebagai Presiden Amerika bukan saja menjadi harapan bagi masyarakat Amerika; masyarakat negeri Republik Omong Kosong juga ikut berharap akan adanya perubahan. Perubahan di banyak sektor. Khususnya di mentalitas bangsa. Bangsa ROK (Republik Omong Kosong) memang tergolong bangsa yang bingung. Latah, kadang minder. Seringkali bahkan lebih katrok dari yang kita duga.
Bayangkan saja, diberi mainan yang namanya koran, majalah, radio, televisi dan internet, eh bukannya untuk membantu orang-orang yang buta informasi, atau yang kalah dan sering dibohongi penguasa supaya melek hak sebagai warga negara, tetapi malah buat main-main; main-mainnya bukan sembarang main, tetapi sangat serius; yakni di bidang kriminal, main-main soal caranya membunuh yang pake memotong-motong korban; sampai-sampai seorang wanita yang lugu dan sederhana tiba-tiba jadi pintar dan canggih dalam melakukan aksi pembunuhan dan pemotongan tubuh manusia. Bukan hanya itu, ia juga canggih mendistribusi kantong-kantong mayat suaminya sendiri ke berbagai tempat secara baru dan beda.
Rasanya tak perlu banyak berbantah dalih, kalau ada lembaga riset mau meneliti secara betul, koran-koran atau media elektronik yang mengeksploitasi kriminalitas atau terorisme, kita pasti kaget kalau lihat hasilnya, bayangkan yang baik jadi tampak buruk, yang buruk jadi tampak baik; gila, kan? Konon itu terpaksa dilakukan orang-orang yang bermain di balik isi media karena dia kerap dimarahi bos-nya; karena medianya sulit dijual. Kalau media dibuat terbalik-balik begitu katanya malah laku keras dan bos media tidak marah lagi. Lucu ya, demi satu dua orang, rela membuat kacau balau masyarakat seluruh negeri.
Yah, mau bilang apa lagi? Menurut ahli pencerah jiwa, situasi saat ini kalau diibaratkan bulan atau matahari memang sedang berada di sisi yang gelap; jadi ya pantas lah kalau kita semua seringkali nubruk-nubruk, nabrak-nabrak, disorientasi dan lain sebagainya.

***

PAGI ini, langit agak mendung, maklum bulan November. Sejak tadi saya duduk bengong di depan laptop, tak bisa menulis apa-apa. Pikiran rasanya buntu. Berkali-kali nyeruput kopi hangat dan menyantap sepotong dua potong singkong goreng, tetap saja tak ada ide apa-apa yang bisa saya peras dari kepala saya.
Tiba-tiba pintu depan diketuk orang. Seseorang yang saya sangat mengenalnya berdiri di sana dengan senyum seperti biasanya.
“Dipanggil Bapak, ya?” tanya saya.
Pria itu mengangguk dengan senyum seperti biasanya. Saya pun bergegas berganti pakaian dan masuk ke dalam mobil yang dibawa pria itu.
“Rasanya kita sudah bertemu belasan kali, kok saya belum tahu nama kamu?” tanya saya pada pria yang jelas jauh lebih muda dari saya; maka saya tak sungkan untuk menyapa “kamu”.
“Lha iya, Pak. Saya tak boleh menyebutkan nama asli saya; silakan sebut saja 0011 (kosong-kosong sebelas). Itu sudah sangat cukup bagi saya. O ya, Pak, begini, tadi Bapak Nomor Satu sudah kasih instruksi, saya diminta mengantar Bapak ke tempat yang paling pingin Bapak kunjungi...” kata 0011 sambil tersenyum simpul. Baru sadar saya, kalau tempat itu memang sudah lama saya incar untuk saya kunjungi.
“Benar nih? Kalau begitu kita langsung ke sana saja. Jangan buang waktu, rasanya tiba-tiba saya lalu jadi bergairah dan pingin banget segera sampai ke tempat itu.”
Mobil pun melaju dengan kecepatan penuh; 0011 memang lihai menyetir. Tanpa hambatan berarti, hanya selang kurang dari setengah jam, kami sudah sampai di tempat yang saya idam-idamkan.
“Mengapa Bapak suka tempat seperti ini?” tanya 0011 agak kurang mengerti jalan pikiran saya.
Saya hanya ketawa. Saya katakan padanya bahwa di tempat seperti inilah saya akan mendapatkan banyak jawaban dari sekian pertanyaan yang sekian lama membuntuti kepala saya. Pertanyaan yang bunyinya, “Mengapa begini, mengapa begitu...” sungguh sangat mengganggu hidup saya.
Ya. Inilah tempat yang kalau di negeri tetangga disebut Penjara. Tetapi anehnya, di Republik Omong Kosong yang di penjara di sini bukan kriminal campur tahanan politik campur lagi penjahat perdata, tidak. Di sini khusus tahanan untuk orang-orang yang di negeri seberang disebut: koruptor. Bedanya, di sini, koruptor ada sistematikanya, ada penggolongan, ada kadar intensitas kejahatannya, juga ada varian-variannya yang saya rasa di negeri tetangga belum nyampe untuk mengklasifikasi sedemikian detail dan lengkap.
Salah satu misal, saya masuk ke sel kelas satu, di sana saya dapat berjumpa dan ngobrol-ngobrol dengan koruptor kelas kakap. Bukan lagi jutaan atau milyaran, tetapi triliunan. Modusnya pun sangat rumit dan kompleks, kalau lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi tidak lebih canggih dan cermat, semua kebusukan para koruptor canggih itu bisa lewat. Untunglah di negeri ROK walaupun kadang mengecewakan kinerjanya, ternyata untuk urusan memberantas korupsi canggih juga.
Sel kelas dua, ini kategori ratusan juta atau milyaran. Modusnya agak sama tapi lebih sederhana dan agak untung-untungan; kalau gak ketahuan ya syukurlah, kalau ketahuan ya nasib.
Sel kelas tiga, masuk kategori koruptor kelas teri, ratusan ribu, jutaan, atau paling banter puluhan juta. Tetapi anehnya, dari ekspresi wajah yang ditahan di tempat seperti ini kebanyakan tampak lebih menderita, lebih tertekan dan stres. Mungkin malu sama tetangga atau kenalan, tetapi yang paling tidak dapat saya lupakan dari mereka sepertinya ada penyesalan mendalam; nyesel kenapa kok tidak sekalian korupsi yang milyaran atau triliunan, toh di penjara mereka yang di kelas itu lebih nyaman, lebih terurus dan dapat fasilitas rekreasi yang beda dengan kelas di bawahnya.
Sel keempat, ini hal baru bagi saya. Yang di penjara di sel ini ternyata kalangan birokrat, dari semua tingkat, yang sering suka memancing datangnya pungli. Seharusnya urusan yang ditangani mudah, tetapi di tangan dia lalu dipersulit, supaya pihak yang dipersulit minta tolong, dengan memberi pertolongan maka yang meminta tolong merasa berutang budi; dengan utang budi supaya persoalan menjadi clear dan jernih, maka dia harus mengeluarkan sejumlah dana sebagai pengeluaran ekstra. Setahu saya, di negeri tetangga urusan yang ini agak pelik pembuktiannya karena antara si pemberi dan si penerima tak meninggalkan jejak; apa itu di rekening bank, atau kuitansi apalagi surat perjanjian. Tetapi entah dengan cara bagaimana di negeri ROK kok dapat membuktikan, mungkin menguntit lama lalu menangkap basah kayak metode KPK itu, kali, ya?
Sel kelima, ini juga hal baru bagi saya. Orang yang ditahan di sini adalah para karyawan; baik itu pegawai negeri sipil, militer, maupun swasta yang mangkir waktu jam efektif kerja. Maksudnya mangkir, setelah absen ada yang pulang lalu tidur; kira-kira jam setengah empat sore, datang lagi ke kantor untuk mengisi absen pulang. Mengapa di siang hari harus tidur? Ya, karena malam harinya nonton bola. Dalam hati saya berpikir ya, malam hari rekreasi nonton boila, siang hari dapat tidur, tetapi tiap bulan tetap terima gaji, apa nggak hebat tuh?
Sel keenam, ini juga baru saya ketahui. Yang ditahan di sel ini adalah koruptor yang memalsukan peralatan transaksi; misalnya sopir taksi mengubah argo, pedagang memanipulasi timbangan; peternak menggelonggong sapi, kambing atau ayam supaya terlihat gemuk dan imut. Pendek kata, hal-hal seperti itulah. Tampaknya segala sesuatu yang merugikan masyarakat maupun negara, bila ketahuan langsung dipenjara untuk kemudian menjalani proses pengadilan.
Sel ketujuh, tempatnya orang-orang yang suka memanipulasi bahan makanan; seperti beras dicampur bahan kimia sehingga tampilannya kelihatan putih bersih padahal itu sangat berbahaya bagi kesehatan. Pembuat tahu, mie, bakso dan lain-lain yang pakai boraks atau formalin; temasuk telor palsu yang pakai melamin seperti susu, tempatnya di sel ini.
Sel kedelapan adalah tempatnya orang-orang yang suka mencuri kayu di hutan. Hutan, paru-paru negeri; apalagi yang di hutan lindung. Mereka kadang berkelompok kadang perseorangan. Tetapi operasi mereka memang tidak main-main; artinya bertaruh nyawa. Kadang bertempur dengan polisi hutan. Kadang main tembak-tembakan. Heran juga, bagaimana bisa pencuri kok begitu gagah berani, apa sistem nilai yang ada di kepala kita sudah swak? Kalau mereka ditanya soal itu mereka dengan menjawab, “Kalau para penggede dan penguasa dengan enak merusak dan menjarah harta negara, mengapa kami, minta sedikit saja tidak boleh?” Nah.
Selanjutanya ada sel-sel untuk orang-orang yang suka mencuri kabel listrik atau kawat telepon, ada yang mencuri kayu bantalan jalan kereta api. Dan yang saya tak pernah menduga ada sel untuk istri atau suami yang menghabiskan duit rumah tangga secara ngawur dan berhambur-hambur untuk kesenangan pribadi semata.
Jadi penjara yang saya datangi ini sungguh memberikan gambaran yang nyaris lengkap tentang makna anatomi korupsi atau tepatnya lagi anatomi seorang koruptor; ia ternyata tidak hanya datang dari persoalan angka-angka, tetapi juga benda-benda. Yang lebih dari itu semua ternyata korupsi selalu berkaitan dengan manipulasi dan kecurangan sehingga merugikan pihak lain.
Ada saran untuk memberantas korupsi, koruptor yang telah terbukti bersalah dihukum mati saja gimana? Secara pribadi saya menilai itu pilihan yang sangat mendasar, hanya saja saya khawatir, bila itu diterapkan di negeri tetangga, apa mungkin? Karena nyaris semuanya kena sapu bersih. Artinya birokrasi habis, lembaga-lembaga tinggi juga tinggal satu dua orang yang tersisa; pemerintahan dan jajarannya sami mawon, lalu apa negeri itu harus berhenti?
Saya malah punya usul, supaya mereka yang korupsi itu kapok, beri saja penghargaan setinggi-tingginya. Diekspose ke media sebesar-besarnya bahwa si A atau B, adalah koruptor kaliber kakap, maka dengan ini kami seluruh rakyat memberikan penghargaan pahlawan baginya; kira-kira gimana, malu nggak ya, mereka?

Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.

Saturday, November 01, 2008

Orasi Budaya Presiden


Hari kamis kemarin, saya duduk semeja dengan dua orang presiden dari Republik Kartun dan Republik Omong Kosong. Duduk semeja bukan berarti ada satu meja terus kita bertiga duduk di atasnya, bukan. Tetapi kami duduk di tiga kursi dan bertopangkan satu meja. Duduk semeja juga tidak berarti kami duduk-duduk saja, tidak pakai omong-omong, bukan. Bukan begitu. Kami ya duduk, ya ngomong, ya kadang-kadang sedikit berdiri kalau mau mengambil kue yang agak jauh letaknya. Jadi kita sepakati, bahwa duduk semeja ya seperti yang saya jelaskan di atas tadi.
Lalu apa anehnya tiga manusia duduk satu meja?
Ya ada dong; masak tidak ada yang aneh kok perlu-perlunya kami duduk satu meja. Buang-buang waktu saja. Keperluan itu muncul setelah kami bertiga sama-sama mencermati “Orasi Budaya Presiden” dari negeri tetangga yang berlangsung tanggal 30 Oktober lalu di sebuah Gedung yang tidak begitu luas dan suk-sukan. Tepatnya di sebuah universitas terkenal dari negeri tetangga tersebut.
Apa isi orasi budaya presiden tetangga itu? Lha itulah yang membuat kami bertiga perlu bertemu lalu duduk dalam satu meja.
Presiden tetangga itu tampak tampil apik dan santai, walaupun baru saja didemo oleh mahasiswa dari universitas yang akan diberi orasi, dan kadang-kadang muncul leluconnya yang cukup elegan dan dapat membuat tertawa anak-anak sekolah dan mahasiswa yang menonton orasinya. Apalagi di antara deretan budayawan yang hadir ada sesosok makhluk langka yang bernama Jaya Suprana; konon dalam setahun ia menghabiskan sertifikat hingga ratusan lembar karena kebaikannya selalu memberi peluang pada warga atau kelompok warga yang ingin memecahkan rekor di museumnya. Kasihan benar ya, rekor kok dipecah-pecah melulu. Mudah-mudahan ia bukan termasuk benda dari jenis pecah-belah.
Selain itu, diam-diam ada sekelompok pria yang masuk kategori invisble EO. Sekelompok pria itu berjumlah tiga orang. Penggiat budaya. Ada yang dosen, ada pengusaha ada pula yang peneliti. Tapi dalam organisasi budaya; mereka tampak semangat banget. Mungkin dalam hati mereka berkata, “Rasain lu! Whatever we are, toh akhirnya dapat menggaet sedikit waktu dari agenda presiden yang padat merayap. Jangan salah loh, nyasarnya Presiden ke universitas karena jasa kita-kita orang loh. Nah, hiiiisbat, kan? Makanya, jangan lo ngeremehin kita. Singkong lu lawan; eh, kingkong lu lawan!”
Bukan hanya publik universitas, Rektor Universitas itu saja mengakui, seumur-umur negeri tetangga yang sudah 63 tahun berdiri dan sekian puluh tahun universitas berdiri, baru sekali itulah Presiden mau singgah dan berorasi (kayak demonstran aja) di kampus universitas tersebut. Jadi kalau benar kerja ketiga orang invisible EO sebagai agen yang berhasil menyabot rute presiden memang harus diacungi jempol.
Tetapi persoalannya tidak cukup sampai di situ, mengapa presiden yang ahli bukan budaya, karena ia seorang doktor dari institut pertanian, harus berorasi masalah yang bukan menjadi bidangnya? Pertanyaannya lagi, penulis naskah pidato yang tampak lebih ahli di bidang bukan budaya, makin menambah panjangnya daftar pertanyaan. Pertanyaan makin panjang ini, khususnya datang dari Presiden Republik Kartun dan Omong Kosong.
“Dalam orasinya, rekan presiden tetangga antara lain mengatakan, selama ini budaya hanya dikaitkan dengan kegiatan seni. Padahal budaya merupakan nilai, gagasan, idealisme, dan pemikiran yang membuat bangsa ini bisa bertahan. Dia bilang lebih lanjut, budaya seharusnya dikembangkan untuk menjadi energi dalam membangun bangsa pada masa depan,” kata Presiden Republik Kartun yang kemudian diamini oleh Presiden Republik Omong Kosong.
“Apanya yang aneh dari orasi presiden tetangga itu?” tanya saya.
“Sangat aneh dan mendistorsi citra presiden sendiri.”
“Saya tidak paham logika Anda berdua. Orasi itu sangat bagus dan punya perspektif luas.”
“Itu kata sampeyan. Kata kami, sangat berbahaya; harusnya si pembuat teks pidato itu jauh-jauh waktu meminta ampun pada presiden agar tidak dijebloskan ke penjara.”
“Ah Anda berdua cuma bercanda. Itu tidak mungkin.”
“Tidak mungkin bagaimana? Tahu nasib Amrozi, Imam Samudera dan Muklas?”
“Ya, ketika tulisan ini ditulis sudah ditetapkan, tinggal nunggu eksekusinya.”
“Mereka dieksekusi karena ditetapkan oleh pengadilan membunuh ras, membunuh manusia; tetapi teks pidato kepala negara yang keliru berarti membunuh karakter kepala negara, karakter pemerintahan yang sah. Lebih mengerikan mana? Ingat lho, kami ngomong ini kapasitasnya sebagai kepala negara, kami tahu persis bila pemerintahan yang sah berhamburan citranya, bukankah itu terjadi karena bom teror juga, kan?”
“Gila! Saya tetap tak bisa menerima logika Tuan Presiden berdua. Jujur hati, saya tetap tidak melihat sesuatu yang keliru atau berbahaya dari teks yang kemudian diorasikan oleh presiden tetangga. Anda jangan waton suloyo. Mari kita cermati lagi teks itu: selama ini budaya hanya dikaitkan dengan kegiatan seni. Padahal budaya merupakan nilai, gagasan, idealisme, dan pemikiran yang membuat bangsa ini bisa bertahan; budaya seharusnya dikembangkan untuk menjadi energi dalam membangun bangsa pada masa depan. Nah, mana yang salah dan berbahaya itu? Tunjukkan tolong. Satu persatu, biar masalahnya jadi clear!”.
Dua presiden dari Republik Kartun dan Republik Omong Kosong tampak bermimik serius. Salah seorang dari mereka kemudian mengutip pernyataan presiden tetangga.
“Cermati ini, selama ini budaya hanya dikaitkan dengan kegiatan seni. Padahal budaya merupakan nilai, gagasan, idealisme, dan pemikiran yang membuat bangsa ini bisa bertahan; tahu kan artinya nilai? Nilai itu wewenang guru atau dosen. Itu artinya mewakili departemen pendidikan nasional. Gagasan itu identik dengan departemen iptek; idealisme itu departemen agama dan pemikiran itu departemen hukum. Bertahan atau pertahanan tahu kan departemennya? Bahkan sampai dikatakan budaya seharusnya dikembangkan untuk menjadi energi. Ini kan lebih gila lagi, di mana muka departemen energi dan sumber daya mineral mau ditaruh?”
“Saya tetap belum paham logika Anda?”
“Itu artinya, kalau semua departemen bermuaranya ke budaya, berarti dalam kabinet presiden tetangga itu yang ada hanya departemen kebudayaan. Lainnya tidak ada. Karena energi, nilai, idealisme dan lain-lain itu adalah budaya. Dan memang kenyataannya seperti itu: politik, ekonomi, pertahanan, iptek, pariwisata, perhubungan dan lain-lain semua adalah budaya. Maka kabinet presiden tetangga itu jadi omong kosong. Kalau cuma satu bukan kabinet, bukan dewan menteri, tetapi menteri saja. Berarti arti dari pemerintah yang terdiri dari presiden, wakil presiden dan dewan menteri tidak terpenuhi, karena menterinya hanya satu, yaitu menteri kebudayaan. Paham?”
Saya hampir pingsan. Tetapi setelah ingat, bahwa logika dari dua presiden yang satu meja dengan saya itu dari republik tertentu dan analisa mereka sangat mendasar, lugas, penuh akal bukan okol, maka kesimpulan sementara yang dapat saya catat adalah, kita memang harus berhati-hati saat beretorika. Termasuk dalam meluncurkan terminologi, kata demi kata, kalimat demi kalimat, alinea demi alinea, makalah demi makalah.
Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.